Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #3

3. Lembut Tanpa Saksi

13 Januari 2012


Aneh, ada yang aneh dengan Windy.

Terlebih sejak saat itu.

Apa jangan-jangan dia tahu kejadian malam itu?

Marcell berpikir keras. Semakin ia berpikir semakin kuat khawatirnya, takut dugaannya benar. Tapi kalau tahu, kenapa selama ini Windy diam? Tak menunjukkan tanda-tanda apapun. Tak ada gelagat yang menyiratkan kecurigaan.


Beberapa minggu lalu, tepat sehari sebelum malam tahun baru, tubuh Marcell akhirnya tumbang. Setelah berhari-hari menahan sakit, takut membuat ibunya khawatir, ia tak mampu lagi berdiri tegak. Ia menghabiskan malam pergantian tahun di rumah sakit.

Entah harus disebut petaka atau justru berkah, sakitnya malam itu membuka jalan bagi sebuah kesempatan yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi. Sebuah kejadian yang, dalam versinya sendiri, telah mengubahnya menjadi laki-laki sejati, setidaknya menurut klaim pribadinya yang mungkin terdengar sedikit berlebihan.

Tapi siapa peduli? Bagi seseorang yang memendam cinta bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun, momen itu terasa seperti pencapaian terbesar dalam hidupnya.

Sayangnya, meskipun begitu membahagiakan, ini bukanlah sesuatu yang bisa ia bagikan dengan bangga. Ia memilih diam, karena dari sudut pandang orang lain, apa yang terjadi mungkin justru dianggap memalukan.

Malam itu, Marcell terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Tangannya di infus, tubuhnya tertutup selimut, dan kepalanya masih terasa sedikit pusing. Di sampingnya, Windy tertidur pulas sambil duduk. Kepalanya bersandar di atas kedua lengan yang dilipat di sisi kasur, wajahnya menghadap ke arah Marcell, dengan mata terpejam rapat setelah berkali-kali menguap dan mengeluhkan kantuk.

Saat itu jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah sewajarnya bagi Windy untuk tertidur. Baginya, tak ada bedanya malam tahun baru atau malam-malam spesial lainnya. Begitu malam tiba, kantuk pasti mendera, dan ia tak pernah berusaha melawan keinginan tubuhnya untuk tidur.


Sementara di ranjangnya yang cukup terlalu kecil untuk menahan tubuh yang jangkung, Marcell sama sekali tak bisa tidur.

Waktu itu, Marcell membujuk kedua orang tuanya untuk pulang dan menikmati malam tahun baru di rumah berdua. Momen seperti ini jarang terjadi, karena ayahnya nyaris tak pernah punya waktu luang. Ia tak ingin ibunya menghabiskan malam spesial itu dengan berjaga di rumah sakit, padahal seharusnya bisa bersenang-senang.

Ia benar-benar tidak berniat apa-apa, apalagi menduga bahwa ibunya akan meminta Windy untuk berjaga menggantikan mereka.

Ia tak tahu, bahwa itu adalah bentuk kecil dari kasih sayang seorang ibu, usaha diam-diam untuk menyenangkan hati anak semata wayangnya.

Dengan Windy tertidur di sampingnya, detak jantung Marcell berdegup kencang. Nafasnya menderu pelan, tertahan dalam rongga dada. Tubuhnya terasa panas hingga ia harus menyingkirkan selimut, dan tenggorokannya terus-menerus kering karena gugup, membuatnya berulang kali duduk hanya untuk meneguk air.

Ia mencoba memejamkan mata, tetapi selalu gagal.

Makin ia berusaha tidur, makin sulit pula ia berhenti menatap wajah Windy.

Katanya, cinta pertama adalah yang paling murni dan meluap-luap. Dan Windy adalah cinta pertama Marcell, lebih dari itu, Windy adalah cinta pertamanya setiap hari. Tak pernah ada satu hari pun berlalu tanpa ia jatuh cinta lagi dan lagi setiap kali melihat Windy. Kadang Marcell sendiri takut, membayangkan akan sebesar apa perasaannya di masa depan. Semakin lama, cintanya seolah terus tumbuh tanpa batas, hingga kini terasa nyaris tak masuk akal.

Setiap hari, ia selalu menyukai Windy lebih dari hari sebelumnya.

Bagi Marcell, Windy adalah hal terindah yang pernah hadir dalam hidupnya. Keinginannya untuk memiliki Windy begitu besar, begitu kuat, sampai-sampai membuatnya selalu waspada terhadap dirinya sendiri. Sebab, selalu ada saat-saat di mana ia harus bergulat dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Meski selama ini ia berusaha menahan dan menyimpan segalanya rapat-rapat, memendam rasa selama bertahun-tahun, tetap saja ada waktu di mana kendali itu goyah.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia berada di ambang batas antara desakan batin dan akal sehat, berjuang keras menahan luapan hasrat yang selama ini berusaha ia sembunyikan.

Tepat pukul dua belas malam, saat sayup-sayup suara terompet menyambut tahun baru terdengar di kejauhan, dan langit gelap tanpa bintang dipenuhi percikan kembang api berwarna-warni, di dalam bilik kamar rumah sakit yang dingin dan berbau obat, akal sehat Marcell akhirnya kalah.

Perasaan yang selama ini ia pendam tak lagi bisa dibendung. Seberapa keras pun ia mencoba, gejolak itu semakin kuat. Asmara yang membara dalam dirinya meronta, menuntut ruang untuk disalurkan, meskipun ia tahu, seharusnya tidak.

Lihat selengkapnya