Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #4

4. Bingung di Antara Degup

11 November 2011


Perasaan itu muncul begitu saja, seperti ada sesuatu yang menggelitik di dada, membuat jantung berdebar kencang, dan pipi memerah meski berdiri di bawah kipas angin besar yang baling-balingnya bisa menopang televisi tiga puluh dua inci. Rasanya seperti menonton adegan favorit dalam drama romansa, ketika dua tokoh utama akhirnya saling mengungkapkan perasaan, lalu berciuman di taman yang dipenuhi bunga pastel bermekaran. Kebahagiaan itu sulit diungkapkan kata-kata, seperti energi yang meledak-ledak di dalam diri. Seolah semua emosi yang selama ini hanya ia saksikan di layar, kini benar-benar hadir dan menyelimuti hatinya sendiri.

Jika harus dijelaskan, kurang lebih begitulah perasaan Windy saat ini.

Saat melihat Marcell keluar dari kamar dengan setelan jas rapi dan senyum merekah di wajahnya, dunia seolah berhenti sesaat.

Ada getar aneh di dalam dada, perasaan yang ganjil, tak biasa, mengusik, mengganggu, walau di sisi lain sebenarnya terasa cukup menyenangkan untuk langsung disingkirkan.

Selama ini, Windy selalu melihat Marcell sebagai bagian dari keluarganya, teman dekat yang seperti saudara sendiri. Jadi, meski Marcell tumbuh menjadi laki-laki dewasa nan menawan, tak pernah terlintas di benaknya untuk menaruh rasa yang ia anggap tak pantas. Namun kini, sesuatu berbeda muncul saat memandangnya. Matanya sulit lepas, dan tiba-tiba Marcell berhasil membuatnya terpana.

Apa ini? Sekadar kekaguman? Ataukah sesuatu yang lebih?

Sejak kapan rahangnya se-tegas itu?

Sejak kapan otot-otot di lengannya membentuk garis yang begitu jelas?

Marcell berbicara padanya, namun Windy tak benar-benar mendengar kalimat yang diucapkannya. Yang ia tangkap hanyalah suara, lembut, hangat, namun begitu maskulin. Dan bibirnya, mengapa terlihat begitu indah saat tersenyum?

Pikiran Windy berkelana, kehilangan arah.

Ada yang salah, atau mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta?

Mungkin benar, hal-hal besar kerap terabaikan karena terlalu sering ada di depan mata. Mungkin selama ini yang tak pernah ia perhatikan sebenarnya sudah jelas bagi orang lain. Kini Windy mulai mengerti mengapa Marcell begitu populer, dibicarakan dari murid, guru, pegawai tata usaha, hingga petugas kebersihan. Mengapa ia selalu menjadi sosok idola di mana pun berada.

Namun mengapa semua itu baru terasa nyata sekarang? Apakah karena sering mendengar bisik-bisik di sekolah? Atau karena akhir-akhir ini ia terlalu sering memperhatikan Marcell?

Mungkin karena jas rapi yang mengingatkannya pada tokoh drama romantis? Atau mungkin karena hormon yang sedang naik turun menjelang menstruasi?

Windy tak tahu. Ia benar-benar kehilangan arah.

“Win! Win!” panggil Marcell agak nyaring, membangunkan Windy yang kesadarannya sempat hilang dan hanya tersisa beberapa persen tadi.

“Ah, kenapa?” sahut Windy dengan pandangan linglung.

“Lu kenapa sih? Gak enak badan?” Sambil cemas Marcell mengulurkan punggung tangannya hendak menyentuh pipi Windy yang tampak kemerahan, namun Windy buru-buru menghindar dan melangkah mundur satu langkah.

“Nggak apa-apa,” elaknya cepat, tatapannya goyah.

Marcell mengawasi dengan seksama, “Lu istirahat aja, gak usah ikutan pesta. Nanti gue bilang Mama.”

Suara Marcell mengalun indah di telinganya, membuat Windy merinding tanpa alasan yang jelas. Ia bergidik, merasa geli pada dirinya sendiri. Kenapa bisa sampai seperti ini padahal cuma sedang berinteraksi biasa dengan sahabat dekat? Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, padahal suhu ruangan tak terlalu panas.

“Gue balik dulu ke rumah bentar,” ucapnya buru-buru, masih menghindari tatapan Marcell. Tanpa menunggu respons, ia langsung berbalik, melangkah cepat meninggalkan tempat yang selama ini ia sebut sebagai rumah kedua. Meski langkahnya agak tersendat karena gaun rajut yang ia kenakan cukup ketat di bagian paha, Windy tetap memaksakan diri. Ia hanya ingin segera menjauh sebelum rasa aneh ini makin menjadi-jadi.

Ia terus berjalan dengan langkah cepat yang nyaris seperti lari kecil, melewati tembok pembatas di antara rumah mereka, lalu membuka pintu gerbang rumahnya sendiri dengan keras hingga terdengar bunyi berdebum yang memecah ketenangan siang. Tanpa memperdulikan sekitar, ia langsung merangsek masuk ke dalam rumah.

Langkahnya tak berhenti meskipun sempat menabrak bahu Willy yang sedang berdiri di depan pintu. Anak itu langsung merengek sambil memegangi bahunya, protes sambil melebih-lebihkan rasa sakitnya, tapi Windy tak menggubris sedikit pun. Ia hanya terus berjalan, seperti sedang dikejar sesuatu yang tak kasatmata.

Baru saat tiba di dapur, Windy berhenti. Ia membuka pintu lemari es dan berdiri diam di depannya. Hawa dingin yang menyembur keluar disambut oleh wajahnya yang memerah dan nafasnya yang belum teratur. Dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka, ia menghembuskan napas panjang, berusaha menurunkan suhu tubuhnya yang entah mengapa terasa begitu panas, padahal semua itu berasal dari dalam dirinya sendiri.

Melihat tingkah aneh kakaknya, Willy mengurungkan niat untuk menyusul orang tuanya ke rumah Marcell, tempat perayaan pernikahan perunggu akan dilangsungkan. Ia memutar langkah, berjalan pelan mendekati Windy yang tengah berdiri di dapur dengan wajah kemerahan yang masih bertahan.

“Kenapa, Kak?” tanyanya sambil mengernyit, melihat Windy menenggak sebotol air dingin dalam satu tarikan nafas.

“Gerah!” sahut Windy cepat, lalu menghembuskan napas panjang lewat mulutnya setelah botol itu kosong, seolah hawa panas dalam tubuhnya ikut menguap bersamaan.

Willy memicingkan mata, lalu melirik ke sekitar sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. Beberapa detik kemudian ia berseru dengan semangat, “Beli es krim, yok! Panas-panas gini paling enak makan es krim.”

Biasanya, Windy akan langsung memaki atau menyebut Willy sebagai tukang makan. Ia pasti juga akan menanyakan akan dibeli dengan uang siapa, karena sudah jadi kebiasaannya menolak membelikan apapun untuk adiknya itu.

Namun kali ini berbeda. Windy justru langsung mengangguk dan mengiyakan tanpa banyak pikir.

Bukan karena cuaca yang panas, dan bukan pula karena ia sedang ingin makan es krim. Ia hanya merasa, ide Willy terdengar sangat bagus. Dengan pergi membeli es krim bersama adiknya, ia punya alasan untuk mengulur waktu sebelum kembali ke rumah Marcell. Barangkali, udara luar dan waktu sejenak itu bisa menenangkan kepanikan yang tadi sempat membuatnya bingung tak karuan.

Lihat selengkapnya