Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #5

5. Bisik Jarak, Luka Tak Terucap

14 Februari 2012


Marcell selalu tertarik pada segala hal yang terjadi di dunia. Setiap berita, peristiwa, atau kejadian di belahan bumi manapun selalu mampu memancing rasa ingin tahunya.

Di hadapannya kini terhidang sepiring nasi goreng, namun matanya hanya terpaku pada layar televisi. Sebuah berita menyiarkan tentang wabah penyakit misterius yang telah merenggut lebih dari dua puluh empat ribu nyawa di El Salvador dan Nikaragua sejak tahun 2000. Kini, pemerintah kedua negara itu meminta bantuan internasional untuk mengatasi epidemi yang kian meluas.

Gambar-gambar yang ditampilkan, rekaman video dan foto-foto dokumenter, membuat Marcell terpana. Dari semua minat dan ketertarikan yang pernah datang silih berganti, ada satu yang selalu tinggal dan tak pernah benar-benar pergi: keinginan untuk menjadi jurnalis, khususnya pembuat dokumenter yang mampu menangkap wajah dunia lewat lensa kamera.

Dan hari ini, setelah pencarian panjang, mencoba berbagai klub baik di sekolah maupun di luar, akhirnya ia menemukan yang paling tepat.

"Aku bakal keluar dari semua klub, kecuali fotografi," ucapnya mantap kepada ibunya yang duduk di seberang meja.

Sambil menyuap sarapannya, Donita tersenyum. Perasaannya sedikit lega.

Sebagai seorang ibu, Donita selalu berusaha mendukung apapun yang membuat Marcell bahagia, selama itu hal yang positif. Namun sejak anak semata wayangnya jatuh sakit akibat kelelahan karena terlalu banyak kegiatan, hingga harus dirawat di rumah sakit selama libur semester, Donita mengambil sikap. Ia melarang Marcell mengikuti kegiatan apapun sepulang sekolah. Bahkan ia meminta bantuan Windy untuk pulang sekolah bersama Marcell setiap hari, agar anak itu tak sempat mencuri waktu untuk kegiatan klub dan langsung pulang ke rumah.

“Bagus kalau begitu, Mama nggak perlu repot-repot minta tolong Windy lagi.”

Donita sumringah.

Sambil mengunyah nasi goreng, bola matanya berputar, mengikuti lintasan pikirannya sendiri yang tiba-tiba saja menemukan ide.

“Windy nggak bilang apa-apa ke kamu?” tanyanya, datar tapi penuh makna.


Marcell menghentikan gerakan sendoknya, meletakkannya di tepi piring putih bergaris kuning keemasan, piring favorit ibunya yang hampir selalu dipakai saat sarapan.

“Tentang apa?” tanyanya, bingung.

“Mama sebenarnya merasa nggak enak hati sudah minta Windy buat selalu pulang bareng kamu.”

Begitu tahu itu hanya soal sepele, Marcell kembali menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, kali ini dengan santai.

“Ya lagi Mama, ngapain nyuruh Windy jagain aku, yang ada aku yang jagain dia!” gerutunya. Sejak kecil ia memang tak pernah suka ketika dianggap butuh dilindungi, hanya karena Windy lahir tiga bulan lebih dulu darinya.

“Tapi kayaknya sih Windy juga nggak keberatan pulang bareng,” lanjut Marcell. “Mumpung masih satu sekolah juga, kan.” Kemudian menenggak air mineral di gelasnya.

Donita meliriknya sekilas, lalu menyunggingkan senyum iseng. “Beneran? Emangnya pacarnya Windy nggak marah?”

Marcell tersedak. Air hampir menyembur dari mulutnya. Ia buru-buru menurunkan gelas yang digenggamnya, tapi karena gugup, cengkeramannya goyah dan gelas itu sedikit tergelincir sebelum mendarat dengan suara cukup nyaring di atas meja.

Wajahnya langsung memerah. “Windy punya pacar?”

Tawa Donita pecah. Ia sama sekali tak menyangka reaksi anaknya akan seheboh itu.

“Nggak, Mama cuma iseng aja. Namanya juga kalian udah SMA, siapa tahu kan punya pacar diam-diam,” katanya sambil terkikik. “Kamu sendiri punya pacar nggak?”

Merengut, Marcell mengelap mulutnya dengan tisu, lalu berdiri tanpa menjawab.

“Aku berangkat!” pamitnya cepat, meninggalkan sisa sarapan di piring.

Begitu bayangannya tak terlihat lagi, Donita hanya bisa menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Dugaan lamanya seolah mendapat konfirmasi: anaknya memang menyimpan rasa pada Windy. Lucunya, baru kali ini ia melihat reaksi menggemaskan itu dengan mata kepala sendiri.

Tanpa bisa menahan diri, Donita pun mengambil tudung saji, menutup semua makanan di meja, lalu bersiap keluar rumah. Ia tahu ke mana harus pergi, ke rumah sahabatnya, Melanie.

Atau sudah bisa dibilang, calon besan?


Sementara itu, Marcell, yang baru saja sampai di sekolah, menghabiskan sepanjang pagi berusaha memusatkan pikirannya pada berita tentang penyakit misterius di El Salvador dan Nikaragua. Ia menelusuri foto-foto dokumentasi, menilai nilai estetikanya, membayangkan bagaimana sebuah gambar bisa bercerita tentang dunia. Namun, sekeras apapun ia mencoba mengalihkan perhatian, kata-kata iseng ibunya masih saja terngiang, mengusik pikirannya seperti lagu lama yang tak bisa dihentikan.

Akhirnya, saat bel istirahat berbunyi, ia tak tahan lagi. Tanpa pikir panjang, Marcell mengirim pesan singkat ke Devina, meminta gadis itu segera menemuinya di kantin. Tak ada salam pembuka, tak ada basa-basi.

Lihat selengkapnya