Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #6

6. Tersingkir Sebelum Mengendap

10 Februari 2012


Termenung dengan dagu bertumpu di atas kedua tangan, Windy duduk diam menatap kosong ke arah meja. Perutnya kosong seharian, tapi rasa lapar seakan lenyap ditelan pikirannya sendiri. Apa yang terjadi barusan cukup untuk menghapus seluruh nafsu makan.

Selama tiga bulan terakhir, ia berusaha sekuat tenaga menepis rasa yang semakin hari semakin tak bisa dianggap biasa. Setiap kali melihat Marcell, ada dorongan untuk menyentuh wajahnya. Setiap kali cowok itu berbicara, keinginannya untuk menyentuh bibirnya muncul begitu saja. Dan saat Marcell tertawa, entah mengapa, Windy ingin memeluknya erat-erat.

Ia tak tahu ke mana perginya perasaan-perasaan lama yang dulu begitu jelas ada batasnya. Pandangan tentang Marcell sebagai sahabat, teman masa kecil, tempat berbagi rahasia dan tawa telah menguap, pelan-pelan lenyap. Windy sudah mencoba berulang kali, untuk menempatkan dirinya kembali garis itu, tapi usahanya sia-sia. Yang ada justru perasaan asing yang kini terasa begitu dalam dan nyata. Ia menyadari dirinya telah terperosok jauh ke dalam jurang pikiran yang tak biasa, jurang yang dipenuhi harap dan takut dalam waktu yang bersamaan.

Perasaan itu datang perlahan-lahan, sedikit-sedikit, hingga tanpa sadar, telah memenuhi setiap sudut hatinya. Pikiran dan hatinya tak lagi sejalan. Dia tahu tak seharusnya membiarkan hubungan biasa mereka menjelma jadi sesuatu yang rumit, tapi hatinya tak bisa dikendalikan, terus membuat gejolak di dalam dada. Gejolak itu akhirnya menyelinap keluar dari sikapnya, dan sekuat apa pun ia mencoba menutupi, kebingungan itu tetap sampai ke mata Marcell. Makin ia berusaha menyembunyikannya, makin ia kehilangan pijakan. Ia terombang-ambing dalam kegalauan yang tak bisa didefinisikan.

“Gue? Suka sama Marcell? Mana mungkin!” menjadi mantra yang Windy ulang setiap hari, untuk meyakinkan diri. Berharap jantungnya berhenti berdegup kencang saat di hadapan Marcell, berharap matanya kehilangan kemampuan untuk menangkap pesona yang tak ingin dijeratnya.

Tapi semakin sering mantra itu terucap, semakin jelas pula kenyataan yang tak ingin ia akui.

Perasaan itu bukan ilusi. Ia nyata. Tiba-tiba saja sudah menetap.

Sudah menemukan rumahnya di sana, di relung hati yang tak pernah ia persiapkan untuk tempati siapapun. Dan sekarang, perasaan itu semakin keras kepala, makin tak bisa diusir, tak bisa juga diabaikan.

Hanya bisa diterima, perlahan-lahan atau mematahkan prinsipnya sendiri.

Ia makin kesulitan membedakan harapan dan kenyataan. Terlebih saat malam tahun baru itu. Saat dirinya diminta oleh Tante Donita untuk menjaga Marcell di rumah sakit, dan dia menurut tanpa berpikir panjang. Malam itu, nampaknya ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang membingungkan.

Separuh dirinya yakin itu bukan mimpi, tapi separuh lain ragu, berpikir itu mungkin saja ilusi.

Saat itu Windy memang setengah tertidur, ia terjaga karena tiba-tiba merasakan kandung kemihnya penuh, namun ia enggan bangun. Diiringi kantuk dan rasa malas, Windy mencoba untuk kembali pulas. Namun dentuman kembang api di langit dan nyaringnya suara terompet membuatnya tak bisa langsung terlelap. Matanya memang terpejam, tapi seluruh inderanya aktif merasa Lalu disaat itu, samar-samar ia merasakan Marcell mendekatkan wajahnya, dalam hitungan detik ia merasa bibirnya tersentuh sesuatu.

Deg! Jantungnya mendentum kencang, hingga terasa hampir melompat dari rongga dada. “Marcell? Nyium gue?” Pekik Windy dalam hati. Tak berani bergerak atau bersuara.

Ia ingin membuka mata, ingin mengecek kebenarannya, ingin bertanya. Tapi dia sendiri ragu dengan pemahamannya.

Bagaimana kalau ternyata bukan seperti apa yang dia pikirkan?

Bagaimana kalau ternyata wajahnya hanya tersentuh lengan Marcell dan bibirnya terkena kulit tangannya?

Kalau dia menanyakan hal aneh seperti itu, yang ada hanya membuat malu diri sendiri. Lagi pula mana mungkin Marcell menciumnya!

Benar, masalahnya ada di otaknya. Dia yang sudah terlalu terpikat dan susah berpikir dengan akal sehat. Ia menyadarkan dirinya, apapun yang dilakukan Marcell barusan, benar atau tidak pikirannya. Tak akan berpengaruh pada apapun. Ia tak siap menerima kenyataan, pun tak berani menghadapi keadaaan. Jadi Windy memilih untuk menepis jauh-jauh apa yang ada dipikirannya. Kedua tangannya mengepal erat, matanya dipejamkan makin lekat.

Marcell tak boleh menangkap gelagat anehnya lagi. Sudah beberapa kali cowok itu bertanya ada apa dengannya, apa yang sedang mengganggu pikirannya, apa cerita yang masih belum dia bagikan. Tak boleh, Marcell tak boleh tahu pikiran kotornya yang memalukan tadi.


Tapi sudah tentu, menepis rasa yang meletup-letup itu sama sekali tak mudah.

Tiap hari setelah semester dua dimulai, mereka harus mulai pulang sekolah bersama. Tante Donita menekankan permintaannya berkali-kali, ingin Windy mengawasi Marcell dan menyeretnya segera setelah kegiatan sekolah selesai. Anaknya itu tak boleh ikut bermacam kegiatan klub lagi, tak boleh kelelahan lagi. Jangan sampai masuk rumah sakit lagi.

Tiap hari sepulang sekolah, Windy melihat Marcell berdiri di samping gerbang. Kadang ia sedang mengobrol dan tertawa dengan beberapa kakak kelas, kadang ia diskusi serius dengan teman seangkatan, kadang sedang meminta saran dari guru, dan seringkali, sedang menyapa balik cewek yang menyapanya ketika melewati gerbang. Tiap hari, Windy mengambil jeda beberapa detik di tengah jarak antara lobi sekolah dan gerbang. Memandang ke arah Marcell dan menanyakan hatinya.

Apakah perasaannya masih sama?

Apakah yang ia rasa benar-benar cinta?

Lihat selengkapnya