24 Februari 2012
Marcell tahu, belakangan ini dia memang menyebalkan. Tingkahnya kekanak-kanakan, reaksinya berlebihan, dan ia dengan sengaja mengabaikan permintaan Windy.
Waktu Windy bilang dia menyukai cowok lain, Marcell sempat jatuh. Terpuruk selama beberapa jam, berpikir seharian penuh, dan empat hari berikutnya dia hanya diam, mengamati, mencocokkan, memperhatikan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia menetapkan jarak antara dirinya dan Windy. Dan dari semua yang ia lihat, ia sampai pada satu kesimpulan: besar kemungkinan Windy berbohong.
Cowok itu mungkin tak pernah ada.
Tapi kalau memang begitu, apa alasannya? Kenapa harus berbohong?
Alih-alih merasa lega, Marcell justru semakin pusing. Beberapa hari lalu, ia akhirnya memanggil Devina lagi. Berharap gadis itu tahu lebih banyak tentang Windy belakangan ini, dan bisa memahami kegusarannya tanpa perlu penjelasan rinci. Seperti yang dia lakukan pada pertemuan mereka sebelumnya.
Beruntung, meski sempat menolak, Devina tetap datang ke kantin. Meski begitu, ekspresi wajahnya nyinyir sejak awal duduk.
“Lu OCD, ya?” tanya Devina tiba-tiba. “Makanan lu sama persis kayak waktu itu.” Ia menunjuk sepiring kentang goreng dan segelas jus tomat di hadapan Marcell.
“Nggak lah, ngaco!” Marcell menepis cepat, langsung mencondongkan badan ke meja. “Eh, serius, gue mau nanya sama lu!”
Devina mengerucutkan bibir. “Apaan sih? Gak bisa chat aja, ya? Males banget gue dipanggil-panggil mulu begini!” Matanya sibuk mengawasi sekeliling kantin, jelas risih diperhatikan orang-orang yang mungkin mulai bertanya-tanya soal kebersamaan mereka.
“Lu beneran nggak tau siapa cowok yang Windy suka?” tekan Marcell. Sebenarnya sudah menanyakan hal yang sama berkali-kali lewat chat, tapi dia tak percaya tiap kali Devina menyahut tak tahu. Makanya hari ini dia ingin bertanya langsung, ingin melihat sendiri gerak-gerik Devina dan menilai kejujurannya.
Devina mengerang pelan, matanya melotot kesal. “Gue udah bilang, kaaan! gue nggak tahu!”
Setelah melihat langsung, Marcell mulai percaya kalau Devina mungkin memang jujur. Ekspresinya tak mengada-ada. Alih-alih terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, Devina justru tampak frustasi karena terus dicecar pertanyaan yang sama, padahal ia tak punya jawaban lain.
Marcell mendengus, mengakui kesalahannya sendiri.
“Siapa ya?” tanyanya pada Devina. “Gue udah perhatiin beberapa hari ini, tapi gak ada tuh cowok di dekat Windy,” tambahnya, tanpa rasa malu.
Devina bergidik jijik, dengan gerakan tubuh yang dilebih-lebihkan. Ia melemparkan tatapan merendahkan.
“Lu stalking? Obsessed banget, lu!” cemoohnya tanpa tedeng aling-aling.
Alis Marcell langsung turun, kelopak matanya mengendur sambil menatap tajam, bibirnya tertarik lurus dalam garis tegang. Ekspresinya memperlihatkan kekesalan atas tanggapan Devina yang masih sempat bercanda, padahal dirinya sedang serius.
Melihat wajah Marcell yang ekspresinya mirip emoticon chat, Devina menahan tawa. Sekali lagi, ia tak habis pikir kenapa cowok ini digilai banyak cewek sejak SMP. Ia sendiri tak pernah melihat pesona apa pun dari Marcell yang layak dijadikan idola. Di matanya, Marcell hanyalah cowok kekanakan dan naif, jauh dari kesan karismatik.
Seorang anak laki-laki biasa, yang masih jauh dari kata dewasa.
“Kali ini gue gak bisa kasih info apa-apa, karena gue memang gak tahu,” ujarnya kemudian, sambil kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin.
“Ketimbang itu, mendingan lu mikirin hal lain yang lagi gangguin Windy,” tambahnya tanpa pikir panjang.
Ekspresi Marcell langsung berubah jauh lebih serius dari sebelumnya.
“Apaan? Apa yang ganggu Windy?” tanyanya penasaran, sama sekali tak punya bayangan tentang apa yang Devina maksud.
Devina sempat membuka mulut, namun buru-buru mengatupkannya kembali. Ia urung bicara karena teringat janji pada Windy. Ia hampir memutuskan untuk menyelesaikan percakapan dan segera pergi, tapi satu pertanyaan menggantung di pikirannya, membuatnya enggan melangkah sebelum mendapat jawaban.
“Gue mau nanya deh sama lu,” ucapnya, memasukkan kedua tangan ke saku rok.