20 Februari 2012
Di bawah naungan pohon ketapang yang rimbun, dengan daun-daunnya yang lebar membentuk langit-langit hijau alami, Windy duduk membiarkan dirinya berlindung dari sengatan mentari siang yang kejam. Wajahnya tampak tenang, bibirnya terkunci tanpa suara, namun di dalam benaknya, badai kecil tengah menggulung tanpa henti. Ia hanya ingin menjadi remaja biasa, siswi SMA yang cukup dipusingkan oleh rumus-rumus pelajaran, bukan oleh gelisah yang tak bernama, bukan oleh desakan perasaan yang beratnya tak terlihat, ataupun ucapan orang-orang yang terasa seperti desau angin tajam menusuk dada.
Saat ini, yang ia inginkan hanya segera pulang. Bukan berlama-lama menunggu Marcell bermain basket di pinggir lapangan seperti sekarang. Karena, semakin lama ia terlihat menanti Marcell di tempat umum, semakin banyak pula pasang mata yang memperhatikannya. Dan ia tahu, semakin tajam pula komentar miring yang akan timbul keesokan hari.
Beberapa kalimat itu bahkan tak lagi disampaikan sembunyi-sembunyi.
Ucapan-ucapan kasar itu sekarang terdengar semakin jelas, makin lugas, dan makin lantang, seolah terang-terangan dikatakan agar dia mendengar, agar dia terluka.
Kalau saja bisa, Windy ingin kabur diam-diam tanpa sepengetahuan Marcell, pulang sendiri. Menghindari masalah yang ia takutkan itu. Namun kenyataannya, ia tidak bisa.
Setibanya di rumah, Tante Donita pasti akan merengek, menuntut penjelasan mengapa Windy meninggalkan Marcell di sekolah. Ibunya pun hampir pasti akan ikut menegur karena ia dianggap melanggar janji. Begini salah, begitu juga salah. Windy hanya bisa menggaruk kepalanya frustasi, sambil bersumpah serapah dalam hati. Mengapa Marcell semakin hari semakin menyebalkan? Sampai-sampai Windy harus duduk di pinggir lapangan hanya untuk menunggunya selesai bermain.
Windy sebenarnya berada di ambang rasa, antara syukur dan nelangsa.
Sejauh ini, tampaknya ia berhasil menyembunyikan seluruh perasaannya kepada Marcell, cinta yang kerap mengintip diam-diam, dan keresahan yang sering singgah tanpa diundang.
Dengan rasa malu, Windy mengakui, ia bersyukur Marcell belum tahu semua itu.
Namun syukur itu bagaikan pisau bermata dua.
Ketidaktahuan Marcell justru membuatnya bersikap semaunya. Tak menyadari, bahwa tindakannya menjerumuskan Windy lebih dalam ke jurang perundungan. Tak mengetahui, bahwa di balik setiap keluhan Windy yang diusahakan terdengar santai, ada nelangsa dari tekanan yang ia terima.
Windy mengira kebohongannya sudah cukup untuk menyelamatkan dirinya.
Setelah dia bilang, menyukai laki-laki lain, Marcell menjaga jarak. Untuk pertama kali dalam hidup, Windy merasa Marcell memberinya ruang untuk bergerak tanpa kehadirannya. Di rumah dia tak muncul, di sekolah dia tak ada, yang kedengaran hanya cerita-cerita tentangnya, namun sosoknya seperti menghilang dari peredaran.
Omongan-omongan miring yang biasa mengitari Windy pun sempat mereda. Bahkan Devina menyadari, empat hari terakhir Windy kelihatan lebih tenang. Ia bisa makan di kantin tanpa buru-buru, pergi dan pulang sekolah sendirian tanpa teguran dari Tante Donita atau ibunya. Maka sebenarnya hatinya rindu, ingin bercanda dan berbicara dengan Marcell seperti dulu, tapi ia memutuskan untuk menikmati masa hening itu.
Barangkali, dengan waktu, perasaan cintanya akan memudar.
Barangkali orang-orang akan lupa soal hubungannya dengan Marcell, dan mereka bisa kembali terlihat bersama tanpa menimbulkan omongan.
Namun harapan tetaplah harapan. Itu adalah ketenangan sebelum badai.
Windy lupa kalau Marcell adalah orang yang tak mudah menyerah. Keras kepala, penuh rasa ingin tahu, dan selalu berusaha menyelesaikan sesuatu sampai tuntas. Keputusan Windy untuk memberi kebohongan kecil itu malah jadi umpan, dan Marcell yang menelannya bulat-bulat, jelas penasaran.
Setelah empat hari menghilang, cowok itu tiba-tiba muncul lagi.
Tepat di depan kelas Windy, sesaat setelah bel terakhir berbunyi, ketika semua orang bersiap meninggalkan ruangan, dia berseru lantang. "Windy, ayo pulang bareng!" menyapu bersih perhatian seluruh siswa yang masih berada di sekitar.
Tak tahu bahwa ucapan itu adalah bahan bakar baru untuk api gunjingan yang mulai padam.