7 Maret 2012
Windy duduk termenung di bangku beton depan kelas, menatap taman sekolah yang rumputnya masih basah oleh hujan yang turun sebentar tadi pagi. Matahari belum juga muncul, menyisakan tanah lembab dan dedaunan yang belum mengering.
Dalam diam, ia mencoba merapikan isi kepalanya yang terasa sesak oleh hal-hal yang sulit ia uraikan.
Ia tahu dirinya bukan tipe yang mudah bicara. Tapi akhir-akhir ini, ia bahkan merasa asing dengan dirinya sendiri. Ia jadi lebih diam dari biasanya, dan itu bukan keinginannya, ia hanya merasa seolah tak punya tenaga lagi untuk menjelaskan apapun, bahkan pada dirinya sendiri.
Kadang ia ingin bercerita ke Devina, tanpa harus menyaring kata, tanpa perlu menyusun kalimat. Tapi tiap kali mulut hendak terbuka, pikirannya selalu lebih dulu mundur. Ia paham tidak semua hal harus diungkap, tapi menyimpan terlalu banyak pun ternyata bisa melelahkan.
Dan sekarang, Windy sedang lelah.
Ia mulai bertanya-tanya, benarkah ini yang ia inginkan? Setelah berhasil mengelabui Marcell dengan ketertarikan palsu pada sosok Michael yang ia ucap, yang terasa bukan kemenangan tapi malah kehilangan arah. Bukan Marcell yang ia bohongi, melainkan dirinya sendiri.
Hubungannya dengan Marcell tetap terasa ringan, tetap sederhana seperti biasanya. Omongan miring pun masih sama, dekat atau jauh dari Marcell, orang-orang tetap saja sibuk mencari celah untuk mengomentari. Tak ada yang berubah. Semuanya masih di tempat yang sama.
Lalu kenapa sekarang ia merasa begitu kesepian? Kenapa ia justru merasa kewalahan? Ia bingung dengan pikirannya. Makin hari makin tak mengerti dirinya.
“Win, nggak ke kantin?”
Suara Marcell terdengar di telinganya. Windy memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia sempat mengira itu cuma bayang-bayang suaranya yang terus berputar di kepala. Efek terlalu sering memikirkan cowok itu belakangan ini.
“Woi! Windy!” seru Marcell lagi, kali ini lebih keras.
Windy terperanjat, langsung berdiri dengan gerakan refleks. Ternyata bukan bayangan, Marcell benar-benar berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Ia menatap Windy dengan alis sedikit terangkat, mungkin bingung karena responnya yang agak heboh.
Ia merasa kikuk, menggaruk hidung yang mendadak terasa gatal, lalu melempar pandangan ke sana kemari seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah.
“Woi!” ulang Marcell sekali lagi, nada suaranya kini terdengar seperti menahan tawa. “Nggak ke kantin?”
“Ke kantin,” sahut Windy buru-buru, lalu melangkahi bangku beton yang tadi ia duduki. “Ayo bareng,” tambahnya sambil berdiri di samping Marcell, gerak tubuhnya terlihat sedikit canggung dan grogi.
Marcell mengangguk, sempat menoleh ke kiri dan kanan, lalu menahan bahu Windy ringan. “Ke ruang klub gue dulu ya, ada yang mau gue ambil,” katanya, mendadak.
Windy mengangguk pelan, meski pikirannya mulai bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba Marcell muncul di depan kelasnya, mengajaknya ke kantin, tapi malah mengarah ke ruang klub fotografi yang letaknya berlawanan? Ia tak sempat bertanya, karena detik berikutnya pertanyaannya seperti langsung dijawab oleh kenyataan di depan mata.
Di depan ruang klub, Michael sudah berdiri, dan begitu melihat mereka datang, senyum ramah langsung mengembang di wajahnya. “Hai,” sapanya hangat, langsung mengarah ke Windy.
“Windy, ya? temen Marcell?” tanya Michael sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Dari sudut matanya, Windy menangkap sosok Marcell yang berdiri membisu, tak bergerak, tak bersuara, menyaksikan segalanya. Menyaksikan Michael, lelaki yang sempat ia sebutkan dalam obrolan mereka, kini berdiri di hadapannya, mengulurkan tangan seolah takdir sedang diperkenalkan secara resmi.
Dalam diam, pandangan Windy membesar, matanya berkedip cepat, seperti hendak menepis kenyataan yang terasa menyesakkan.
Ada luka yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, menghantam dadanya dengan getir yang dalam.
Benarkah pertemuan ini disengaja? Benarkah Marcell mengatur semuanya hanya untuk menjodohkannya dengan Michael?
Bibirnya terbuka, ingin bersuara, tapi tak satupun kata berhasil lolos dari kerongkongannya. Suaranya tercekat, tertahan oleh rasa perih yang tak punya nama.
Inikah alasan Marcell tak berkata sepatah pun saat kebohongan itu terbongkar? Inikah sebab ia tetap diam meski tahu Windy mulai tertarik pada orang lain?
Karena ternyata Marcell memilih mendukung. Memilih membantu, bukan menggenggam, atau menghalau.
Saat ia menyebut nama Michael, bukan ini yang ia harapkan.