10 Maret 2012
Willy menerjang masuk ke rumah Marcell tanpa permisi. Ia menyeberangi ruang tamu dengan langkah terburu-buru, lalu melesat naik ke lantai atas sambil terus berteriak.
“Bang Marcell, Bang! Bang!” berkali-kali.
Suaranya menggema, memecah keheningan rumah.
Donita, yang sedang sibuk di dapur, refleks menoleh. Wajahnya tercengang, spatula di tangannya menggantung di udara. Ia memandangi bocah laki-laki yang berlarian tanpa salam dan sapa, mengacak-acak ketenangan rumah seperti angin ribut yang datang tiba-tiba.
Sementara itu, di lantai atas, Willy menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu kamar Marcell, mengetuk dua kali dengan cepat dan tak sabar, sebelum menerobos masuk.
“Bang!”
Ia langsung menghampiri Marcell yang tengah berbaring miring di tempat tidur, tak sedikit pun tergerak oleh kedatangan Willy.
“Bang, Kak Windy punya pacar?” tanyanya heboh, sambil mengguncang-guncang bahu Marcell.
Marcell hanya melirik sekilas, tak tergesa menjawab. “Kenapa emangnya?” ucapnya datar, nyaris dingin.
Willy duduk bersila di atas kasur, seperti siap melakukan sesi meditasi. “Tadi dia telponan sama cowok!” katanya penuh semangat. “Aku tanya itu siapa, dia malah melotot.” Ia pun menirukan ekspresi Windy dengan dramatis, matanya membesar konyol.
Namun Marcell tetap diam. Tak ada senyum, tak ada respon berarti. Ia tetap mematung, seolah tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya entah mengembara ke mana. Bagi Willy, Marcell mungkin tampak tak peduli, tapi di dalam dirinya, sesuatu tengah mendidih perlahan. Rasa panas itu merayap dari dada, menjalar ke sekujur tubuh, membakar pelan-pelan. Bahkan suhu dingin kamar tak sanggup memadamkan bara yang kini menyala dalam diamnya.
Willy merengut. Di belakang punggungnya Willy mulai merasa janggal, ia mengamati respon Marcell yang ganjil, tak menyenangkan seperti yang sempat ia kira.
“Bang Marcell kenapa? Lagi berantem sama Kak Windy?” tanyanya pelan, seperti takut menyentuh luka terbuka dan tepat sasaran.
Kali ini, Marcell menoleh. Gerakannya cepat, mendadak. Ia duduk tegak menghadap Willy. Wajahnya kusut, kantung hitam membayang di bawah matanya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Willy ingin mundur sejengkal. Aura yang selama ini dipenuhi karisma kini berubah jadi bayangan kelam yang menyeruak dari dalam diri Marcell.
“Kenapa, Bang?” ulang Willy, separuh takut, separuh penasaran.
Marcell hampir membuka mulut. Ia ingin bercerita, ingin mengalirkan semua yang menyesakkan dadanya. Tapi dengan cepat ia sadar, ini Willy. Bocah yang polos. Adik Windy. Ia tak bisa menjatuhkan semua luka di hadapan anak kecil yang bahkan belum tahu rasanya patah hati.
Jadi, daripada terlihat semakin kacau dengan bertanya siapa yang menelepon Windy, tapi tak bisa menjelaskan kenapa itu penting, Marcell memilih diam. Ia kembali merebahkan tubuhnya, membelakangi Willy seperti semula. Membungkam mulut dan memenjara perasaannya.
Willy menghela napas kecewa. Merasa ditolak, ia berdiri perlahan dari kasur. Sebelum keluar, ia sempat menoleh ke arah Marcell sekali lagi. Lalu, dengan langkah pelan dan hati-hati, berbanding terbalik dari cara ia masuk tadi, ia menutup pintu kamar.
Tepat di depan pintu, langkahnya terhenti. Matanya membelalak. Donita berdiri di sana, tiba-tiba, dan langsung mendekap mulutnya lembut dengan satu tangan.
Tanpa sepatah kata pun, Donita menggandeng Willy turun ke bawah, langkahnya mantap namun tenang. Begitu mereka tiba di bawah tangga, barulah ia berbicara dengan suara nyaris berbisik.
“Ada apa?” tanyanya. “Marcell sama Windy berantem?”
Donita sudah lama mencium gelagat aneh dari putranya. Beberapa hari terakhir, Marcell kelihatan tak biasa. Ada sesuatu yang berubah, terlalu nyata untuk diabaikan. Dan meskipun Marcell menutup rapat-rapat mulutnya setiap kali ditanya, Donita tahu. Ia bisa menduga, tak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa mengguncang Marcell sedalam itu kecuali satu. Windy. Anak gadis sahabatnya sendiri.
“Kayaknya gitu!” sahut Willy sok yakin. “Kayaknya Kak Windy punya pacar!” lidahnya meluncurkan gosip itu dengan lancar, seperti orang dewasa yang baru saja menyaksikan berita hiburan.
Donita membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Mulutnya terbuka, dan tangan refleks menutupi. “Serius?” tanyanya tak percaya.
Willy mengangguk-angguk mantap. “Tapi Bang Marcell nggak mau diajak ngobrol,” tambahnya, menurunkan nada suaranya sedikit, seperti sedang menyampaikan rahasia besar.
Donita melirik ke arah lantai dua lagi, Marcell masih bertahan di dalam kamarnya yang tertutup rapat tanpa mau membagikan cerita tentang apa yang mengganggu hatinya. Akan tetapi meski peduli, Donita memutuskan tak ikut campur. Anak remajanya itu sedang bertumbuh dan mengalami berbagai perasaan untuk pertama kali. Jadi ketimbang mengganggu, ia lebih baik mengawasi dari jauh. Meskipun diam-diam ia akan tetap berdiskusi dengan Melanie.
Ia kembali menatap Willy, sadar tak boleh menempatkan anak ini ke dalam urusan ‘kedua kakaknya’ lebih jauh.
“Yaudah baiknya kamu jangan gangguin mereka berdua dulu, ya.” Donita menepuk pundak Willy pelan, “Nanti kamu kena marah sama mereka, lagi sensitif dua-duanya.” Ia menambahkan, memberi pengertian agar Willy tak banyak-banyak bertanya seperti yang ia lakukan ke Marcell tadi, demi kebaikannya sendiri.
Tahu betul apa yang Donita maksud, Willy mengangguk. Ia pamit pulang sembari terus menekan rasa penasarannya agar tak salah bertindak, dan malah kena semprot Windy atau Marcell.
Sementara itu, di dalam kamar, Marcell masih terbaring di posisi yang sama. Namun kini tubuhnya tak lagi diam, ia mulai mengerang kesal, menendang udara kosong, seperti ingin menghajar semesta yang tak berpihak padanya.
“Sialan! Sialan! Bener-bener sialan!” umpatnya, tertahan tapi meletup-letup.