28 April 2012
Windy berdiri di depan pagar rumahnya, tangan kanannya menggenggam sebungkus keripik kentang dan tangan kiri menyuap isinya satu per satu. Matanya menatap langit, mengamati bias cahaya matahari yang berusaha menembus awan tipis. Hari ini terasa lebih cerah dibanding beberapa hari sebelumnya. Meski tak terlalu terik, hangatnya cukup untuk mengusir dingin yang biasa tinggal di kulit setelah udara beberapa hari terakhir selalu lembab karena hujan.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang menarik perhatiannya.
Ia menoleh, sekilas matanya melihat Marcell. Cowok itu sempat keluar dari rumahnya, tapi malah buru-buru masuk lagi. Alis Windy otomatis bertaut. Ada apa lagi dengan cowok itu?
Sebulan terakhir, Marcell makin sulit ditebak. Selalu saja ada tingkah atau ucapannya yang membuat Windy bertanya-tanya. Membuat Windy menduga-duga apa yang sebenarnya ada di hati dan pikirannya, tapi enggan bertanya langsung karena dirinya sendiri punya rahasia, pun akhir-akhir ini seringkali tak mampu untuk mengerti dirinya sendiri.
Ia bersembunyi dalam cerita karangannya, menyelusup di balik sosok yang hanya ia gunakan sebagai alasan.
“Kenapa sih lu suka sama Michael?”
Beberapa hari lalu. Di tengah suasana santai rutinitas Jumat malam mereka. Tiba-tiba saja Marcell bertanya begitu.
Windy tak langsung menjawab. Ia menoleh sekilas, sambil mengambil mangkuk es krim dari tangan Marcell, ia melongok ke sisi lain sofa, mengecek kalau-kalau Willy sempat mendengar pertanyaan tadi. Bocah itu terlalu sensitif perihal kedekatan Windy dengan cowok manapun selain Marcell. Ia akan dengan mudah berkoar-koar, menyebarkan berita ke orang tuanya, kalau kakaknya, kini bukan belajar, malah pacaran.
Tapi Willy kelihatan sedang fokus menonton film animasi yang diputar di layar, tak terganggu sedikitpun oleh ucapan Marcell barusan. Entah memang tak mendengar, atau pura-pura tak dengar, yang jelas Windy harus lebih berhati-hati agar obrolan mereka tak sampai ke telinga adiknya itu.
“Kenapa emang?” tanya Windy, serupa bisikan, lalu menyuap sesendok es krim.
Dalam hati menduga-duga alasan Marcell tiba-tiba menanyakan hal ini setelah cukup lama diam tak memberi tanggapan.
Satu sisi hatinya berharap Marcell tak rela jika dirinya suka dengan cowok lain, sisi lain merasa curiga kalau Marcell mau bertindak lebih jauh menjodohkannya dengan Michael.
Alih-alih menjawab, Marcell bergerak mendekat. Tangannya tiba-tiba terulur, mengusap ujung bibir Windy dengan ibu jarinya. “Belepotan,” ujarnya singkat.
Tak tahu kalau perbuatannya membuat dada Windy langsung mengencang.
Gugup dan setengah kelabakan, Windy memutar otak. “Cakep, keren, berwibawa, baik, ramah, gak macem-macem,” ujarnya cepat dalam satu tarikan nafas tanpa jeda. Tak sadar kalau suaranya terlalu lantang.
Matanya menatap lurus ke televisi, tapi sama sekali tak menonton film di layar. Jantungnya berdegup kencang, tiap kali Marcell melakukan kontak fisik, Windy langsung panik dan hilang kendali.
“Berisik ih!” protes Willy memecah fokus.
“Sorry, sorry!” sahut Marcell sambil tertawa kecil, kemudian membelai rambut Willy dan merangkul bahunya.
Ia tak merespon jawaban Windy, pun melihat ke arahnya. Entah apa maksud dirinya bertanya tadi, tapi setelah membuat Windy kalang kabut dia malah terus menonton film dengan santai.
Dalam diam Windy terhenyak. Melihat Marcell memperlakukan Willy ia sadar. Tampaknya bagi Marcell dirinya memang tak lebih dari sekedar saudara. Bagaimana dia membelai bibir Windy tadi, tak jauh beda baginya dengan membelai rambut Willy. Betapa bodoh dirinya, jantungnya berdegup-degup karena tindakan Marcell yang nyata tak ada maksud tersembunyi di baliknya.
Selama ini berarti juga sama.
Sebelumnya Marcell juga sempat tiba-tiba muncul di dapur rumah Windy. Berdiri di bawah tangga ketika Windy sedang mengambil mangkuk di lemari bagian atas. Matanya menatap lurus ke Windy, tangannya terulur menunggu di sambut. Kemudian menggenggam jemari Windy dengan erat sambil membantunya menuruni tangga dengan hati-hati. Memperlakukan Windy seperti tuan puteri yang turun dari kereta kudanya.
Pernah juga, saat Windy sedang berbaring di karpet di ruang keluarga rumahnya sambil menonton acara komedi di televisi. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan Marcell yang datang tiba-tiba merebahkan tubuhnya di samping Windy, menaruh kepalanya di bantal yang sama. Lalu menertawakan lelucon yang dilihatnya.
Padahal di sampingnya Windy langsung kaku, tak bisa bergeser, hampir gagal bernafas. Tapi dia kelihatan biasa-biasa saja.
Mungkin harapan kecil yang terjaga tetap menyala di lubuk hati Windy membuatnya melihat semua tindakan itu seperti sesuatu yang istimewa, padahal bagi Marcell itu tak ada artinya. Windy sahabatnya, lebih dekat bahkan daripada sekedar keluarga. Mereka waktu masih balita bahkan pernah mandi bersama. Bagaimana Windy lupa dengan kenyataan itu? Kemana keyakinannya yang kemarin bilang: dirinya pasti mampu menepis perasaannya ke Marcell?
Sejak malam itu, Windy memaksa dirinya untuk lebih waras. Untuk selalu melihat semua ucapan dan tindakan Marcell dengan cara yang biasa, mengedepankan logika, berusaha tak terhanyut, berusaha tak terpesona. Dan ketika sekarang, Marcell berjalan mendekat. Windy menarik nafas dalam-dalam, mengukuhkan hatinya agar tak lagi lemah di hadapan pria itu.
Marcell mengenakan t-shirt putih polos berlapis kemeja lengan pendek warna biru langit yang tak dikancing, celana berwarna khaki yang hanya sepanjang lutut, juga tas selempang hitam andalannya tersampir di bahu. Semuanya normal, terlihat tak terlalu berusaha dan apik karena digunakan oleh seseorang yang perawakannya macam model sampul majalah.
Satu-satunya yang aneh memang kacamata hitamnya.