Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #12

12. Batas yang Tak Ingin Ada

28 April 2012


Sesaat setelah keluar rumah, Marcell buru-buru masuk lagi ke dalam, panik mencari kacamata hitamnya. Donita yang sedang merapikan ruang tamu sampai melongo keheranan melihat anaknya tiba-tiba mencari benda yang paling enggan ia pakai.

“Silau!” sahut Marcell waktu ditanya.

Padahal hari mendung.

Nyata memang bukan sinar matahari yang Marcell hindari, melainkan Windy yang sedang berdiri di depan pagar rumahnya.

Gadis itu mengenakan dress selutut lengan pendek berwarna lemon, rambut digerai dan tas putih di selempang. Meski penampilannya terbilang biasa saja entah mengapa hari ini ia terlihat begitu bersinar. Hingga membuat Marcell takut tak bisa menahan untuk terus memandangnya. Jadi dia pakai kacamata hitam sebagai pertahanan diri, atau mungkin senjata untuk memandang sesuka hati.

Tumben ini anak pakai dress, pikir Marcell sambil tangannya diulurkan untuk mengambil keripik kentang di genggaman Windy. Biasanya Windy hanya menggunakan dress di hari-hari spesial, tapi apa spesialnya hari ini, mereka hanya sedang menuju ke acara Persami yang sebenarnya enggan Marcell datangi kalau saja bukan karena Windy ikut. 

“Cell!” panggil Windy kemudian. “Lu nggak ngomong apa-apaan kan ke Willy?”

“Hm?” Marcell menengok, mengulurkan tangannya, menyelipkan rambut Windy yang menghalangi wajahnya ke belakang telinga. Melancarkan siasatnya lagi seperti biasa, berharap hati Windy tergerak dengan sentuhannya.

Selama sebulan ini dia berusaha keras untuk menunjukkan ke Windy kalau dia adalah laki-laki, dan caranya memperlakukan Windy bukanlah sekedar sahabat.

“Apaan?” tanyanya kemudian.

“Tentang Kak Michael,” sahut Windy sembunyi-sembunyi.

Seketika Marcell merasa kesal.

Pikirannya melompat jauh ke kesimpulan yang enggan ia buat tadi. Lagi-lagi Michael, lagi-lagi namanya yang disebut. Jadi karena dia juga Windy memakai gaun secantik ini? Karena dia ada di sana Windy bersemangat untuk ikut acara Persami?

“Nggak,” sahut Marcell ketus, tak bisa menahan kesal.

Tangannya otomatis turun ke samping badan, merasa gagal melancarkan godaan.

“Nggak penting juga,” tambahnya kemudian, sambil bergerak membuka pintu mobil dan masuk duduk di kursi belakang.


Mungkin ini awal mula dari semua perasaan tak karuan Marcell hari ini.

Sepanjang jalan di dalam mobil ia hanya membuang pandangannya ke luar jendela. Tak ingin menatap Windy, tak ingin lepas kendali. Ia kesal dan terbakar panas hati namun terpaksa harus memendamnya agar perasaannya tak timbul ke permukaan.

Sayangnya emosinya hari ini benar-benar diuji.

Begitu sampai di tempat acara dan turun dari mobil, Michael sudah ada berdiri menyambut, sepertinya memang sejak awal menunggu kedatangan Windy.

“Pagi, Om!” Ia melemparkan senyum sapanya yang ramah.

Membuat Marcell merasa dengki. Tiba-tiba menyesal habis-habisan karena pernah menjadikan cowok ini sebagai idolanya.

“Sini saya bantuin, Om!” Michael mengulurkan tangannya mengambil tas pakaian Windy dari tangan Om Wilbert dan mengabaikan tas Marcell yang tergeletak di tanah.

“Caper!” gumam Marcell tanpa suara, sambil melemparkan tatapan sinis dari balik kacamata hitamnya saat mengambil tasnya.

Ia melirik Windy yang tertawa sambil bergeleng kepala. Menatap tingkah Michael dengan wajah ceria yang akhir-akhir ini tak pernah ditunjukkan di hadapannya.

Marcell resah berselimut prasangka. Ingin menjauh dari keadaan menjemukan ini namun tak ingin membiarkan Michael mengambil seluruh perhatian dari Om Wilbert yang biasanya adalah miliknya.

“Om…” ucap Marcell, suaranya menguap di udara seakan tak ada yang sempat mendengar selain telinganya sendiri. Mulutnya langsung terkatup, matanya memancarkan cahaya nestapa saat melihat Om Wilbert merangkul bahu Michael sambil menepuk lengan atasnya dan mengatakan, “Titip Windy, ya,” dengan ramah.

Untuk apa? Ada dirinya di sini, sudah hampir enam belas tahun dia selalu menjaga Windy. Dia jelas-jelas orang yang paling dekat dan paling bisa dipercaya. Orang yang tidak akan bertindak macam-macam karena ikatan seluruh anggota keluarga. Kenapa harus menitipkan Windy ke Michael?

Tangannya mengepal kencang, dadanya bergejolak kesal. Tanpa salam ia berbalik badan dan menjauh. Terlalu emosi sampai-sampai tak peduli kalau Om Wilbert merasa dirinya tak sopan hari ini.

Selesai menaruh barang-barangnya, di depan tenda Marcell berdiri menonton dari kejauhan. Tatapan Marcell mengeras, merasa sesuatu menusuk dadanya sedikit demi sedikit. Ia menjaga jarak, berusaha untuk tak melihat. Namun kedekatan Michael dan Windy benar-benar memancing perhatian, bahkan bukan hanya dirinya, tapi orang-orang lain di sekitar. Michael sangat terang-terangan ada di samping Windy, melakukan ini dan itu seperti sengaja ingin semua orang melihat.

Belum lagi hari ini Windy kelihatan sangat mempesona, di bawah sinar matahari yang terbiaskan oleh rerumputan hijau subur di bawah kakinya, Windy kelihatan jauh lebih cantik dari biasanya. Mata Marcell benar-benar tak bisa beralih dan otaknya menjadi tak fokus mengerjakan hal lainnya.

Lihat selengkapnya