Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #13

13. Langkah dengan Maksud

15 Maret 2012


Sebagai orang yang tertutup dengan orang asing, pilihan Windy untuk bertemu Michael hari ini bisa terbilang nekat. 

Dirinya dan Michael sebenarnya tak sebegitu dekatnya seperti apa yang dipikirkan Willy, anak itu selalu memancing dan mencari tahu tentang cowok yang chatting atau telepon dengan Windy padahal bisa saja itu teman sekelas yang menanyakan tugas, atau Marcell yang seakan tiba-tiba mulai overprotektif mengetahui dirinya yang kini dekat dengan kakak kelas laki-laki.

Sejak dirinya dengan tak tahu malu tiba-tiba meminta nomor telepon Michael, mereka hanya beberapa kali chatting dan sekali bicara lewat telepon. Sayangnya itu ketahuan Willy dan dia langsung ribut-ribut kesana kemari mengatakan Windy sudah punya pacar.

Walau demikian sebenarnya ada satu hal yang membuat Windy nyaman waktu ngobrol dengan Michael: ketertarikannya tentang film sama besarnya seperti Windy. Sekalinya membicarakan film, mereka bahkan bisa chatting hampir-tanpa-berhenti selama dua hari berturut-turut.

Itu alasan pertama yang membawa Windy saat ini berdiri di bawah pohon di samping gedung Taman Ismail Marzuki menunggu kedatang Michael. Dirinya tidak ingin kehilangan pengalaman berharga untuk menyaksikan film yang diputar di Kineforum, pada hari pertama program Bulan Film Nasional dimulai ini.

Pada jam lima sore nanti mereka akan menonton film Postcards from the Zoo yang dibintangi Nicholas Saputra. Sinopsis dan penampilan Nicholas Saputra membuat Windy merasa rugi untuk melewatkannya.

Alasan kedua yang membuatnya datang sebenarnya hanya alasan pendukung saja. Yaitu Michael ingin bertemu hari ini, karena mau menyampaikan sesuatu yang lebih bersifat sebagai permintaan tolong padanya.

Windy menimbang-nimbang.

Jika dia tidak datang hari ini maka secara tak langsung dia sudah menolak permintaan Michael, yang belum pernah ia dengar. Dan kemudian ia bisa membayangkan dirinya merasa penasaran sampai tak bisa tidur jika dia tak tahu permintaan apa yang sebenarnya dia tolak. Jadi ketimbang terus dihantui tanda tanya, lebih baik mendengar dulu dan menolak kemudian. Begitulah dia memutuskan.

Tak berapa lama Michael datang dengan t-shirt hitam dan celana krem, sederhana namun mengejutkan karena pakaiannya senada dengan Windy yang menggunakan jumpsuit krem dengan t-shirt hitam di dalamnya. Padahal mereka tidak membuat janji sebelumnya dan akhirnya saat berhadapan keduanya reflek tertawa sambil saling menunjuk.

Satu hal lain yang menjadi bisa menjadi alasan Windy merasa nyaman dengan Michael, cowok ini sepertinya memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepribadian, gaya bicara dan selera humor lawan bicaranya. Sehingga Windy tak merasa terbebani dan bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut malu atau minder saat bersama Michael.

“Yok kita masuk! Sini tas-nya aku bawain.” Michael mengulurkan tangannya untuk membawakan tote bag Windy yang cukup besar. Dan jelas Windy menolak dengan sopan karena sungkan.

Lagi pula ia mampu membawa tas nya sendiri yang meski kelihatan besar sebenarnya hanya berisi ponsel dan dompet di dalamnya.

Sepanjang film diputar Michael hanya fokus menonton.

Windy yang sempat berpikiran kesana kemari sampai berprasangka buruk kalau-kalau Michael tiba-tiba akan memegang tangannya atau melakukan hal lain yang menjurus ke pelecehan seksual, saat sedang mempertimbangkan untuk menerima undangan Michael menonton film hari ini, seketika merasa malu dengan pikirannya sendiri. Sampai film selesai Michael tetap menjadi dirinya yang sopan dan berbudi luhur.

Begitu mereka keluar dari studio yang dia bahas juga masih tentang film. Matanya berbinar dan senyumnya merekah, dia benar-benar memiliki ketertarikan mendalam tentang film dan jelas tak pura-pura.

Saat sejak saat itu Windy bersumpah tidak akan pernah berprasangka buruk lagi ke Michael, atau dirinya akan menjadi orang jahat dalam pikirannya sendiri.

Begitu meninggalkan Taman Ismail Marzuki dengan membawa beberapa merchandise acara yang mereka beli, tepat jam delapan malam mereka memasuki sebuah restoran di area Cikini.

Restoran yang membuat Windy terperangah.

Ia tak pernah makan di restoran fine dining seperti ini, untuk anak SMA yang uang sakunya pas-pasan, tak pernah terpikirkan untuk datang ke restoran elegan seperti ini tanpa orang tua. Bahkan bersama orang tuanya pun ia tak pernah.

Lihat selengkapnya