2 Mei 2012
Marcell menurunkan headphone-nya, mendengarkan dengan seksama apakah benar pintu kamarnya sedang diketuk dari luar atau hanya perasaannya saja. Ia menunggu beberapa detik, hingga ketukan yang tadi samar-samar ia dengar, terdengar lagi lebih jelas, baru bergerak dari meja belajarnya, kemudian berjalan ke arah pintu sambil menimbang-nimbang siapa yang ada di baliknya.
Tidak mungkin ibunya. Buat apa ibunya mengetuk dan menunggu pintu dibuka padahal jelas-jelas pintu tak dikunci.
Tak mungkin juga Willy. Sekarang sudah lewat jam sembilan malam, dan anak itu tak akan bisa keluar rumah. Sisa satu orang yang mungkin.
Dan benar saja saat membuka pintu, Marcell langsung mendapati Windy dengan baju piyamanya berdiri dengan senyum hambar.
“Ngapain?” tanya Marcell sinis.
“Mau bagi kue,” ucap Windy sambil mengangkat sepiring brownies yang ada di tangannya.
Wajah Marcell menekuk sebal, ia tahu brownies itu adalah brownies buatan ibunya yang ada di dalam kulkas, dan baru saja ia makan dua jam lalu. Meski tak bermaksud terang-terangan menunjukkan kekesalan tapi ekspresi wajahnya pasti terbaca jelas oleh Windy.
Hatinya masih diliputi kesal dan kecewa atas kejadian di perkemahan. Dirinya dan Windy bahkan sama sekali tidak mengobrol pada hari kedua dan bahkan pulang terpisah. Tak ada kontak atau pertemuan, keesokan harinya sampai hari ini Marcell disibukkan dengan kompetisi Olimpiade Sains. Windy juga tak mengirimkan chat atau menanyakan kabar.
Dan hari ini, saat ia benar-benar lelah dan tak ingin berdebat, Windy malah muncul begitu saja dengan ekspresi tak berdosa. Gelagatnya seperti menyiratkan kejadian yang sebelumnya tak perlu dijadikan masalah. Seakan penyebab pertengkaran mereka sudah selesai dibahas, dan dianggap sebagai salah satu, dari sekian banyak, perdebatan tak berarti yang mereka lakukan sejak kecil.
Tapi Marcell tak bisa melakukannya, semua masalah itu masih mengganjal di hati. Belum lagi setelah apa yang sudah ia katakan, di hari kedua Windy dan Michael malah makin lengket. Bagaimana dirinya tak kesal? Memikirkan Windy berarti sungguh-sungguh saat mengatakan mereka harus urusan masing-masing.
Jadi sekarang Marcell kini sanggup menunjukkan respon pura-pura. Segala usaha untuk tampak tenang luruh bersama napas berat yang tak bisa dia sembunyikan.
“Lu mau ngapain?” ulangnya lagi, terang-terangan menunjukkan ketidaknyamanannya dan menyudutkan kehadiran Windy.
Lagi-lagi juga, Windy mengangkat sepiring brownies di tangannya dan mengatakan, “Mau makan kue,” dengan suara bergetar.
Marcell menegaskan tatapan, sepertinya karena sejak tadi terlalu fokus pada perasaannya sendiri, ada yang luput dari perhatiannya.
Mata Windy kelihatan seperti permukaan air yang tenang tapi dalamnya penuh pusaran gejolak. Ekspresi kasar Marcell pun mulai melembut, ia menundukkan sedikit kepalanya agar tatapannya berada di level yang sama dengan Windy, meneliti wajah Windy lekat-lekat, tak membiarkan ada satupun gerakan kecil yang terlewat.
“Kenapa?” tanyanya lagi, kali ini nada suaranya berubah seratus delapan puluh derajat, dari yang sebelumnya sinis menjadi rendah dan menenangkan.
Kedua mata Windy berkedip lambat, bibirnya mulai bergetar dan rahangnya mengejang. Nafasnya mulai kelihatan tak beraturan.
Marcell sadar ada yang tak beres, dan ia tahu ini bukan waktunya untuk membahas masalah kemarin apalagi membahas perasaannya. Windy sedang tak baik-baik saja dan ia harus tahu ada apa.
Tangannya terulur, menarik tangan Windy, membawanya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan tangan satunya. Ia menggandeng Windy sampai ke tempat tidur, mendudukkannya di ujung kasur, kemudian mengambil kursi belajarnya dan menariknya agar mereka duduk berhadapan.
“Kenapa?” tanya Marcell lagi dengan kelembutan yang paling lembut yang pernah ia tunjukkan.
Di balik bulu mata Windy yang bergetar, tersimpan air mata yang berusaha mengalir.