16 September 2012
Marcell berdiri terdiam di samping pohon, memandang ke tempat yang familiar. Tempat yang pernah jadi saksi bisu antara dirinya dan Windy, tempat mereka pernah saling melempar kata penuh ego tak mau mengalah.
Di tempat itu, pernah tumpah segala kekhawatiran yang menumpuk, cinta yang tak bisa diungkap dan luka yang diam-diam mengendap.
Marcell mengira tempat itu akan selamanya menjadi kenangan buruk bagi dia dan Windy, tapi kenapa sekarang Windy berdiri di sana, saling bertatapan dengan pria yang jelas bukan dirinya.
Mata mereka saling memandang dengan ketulusan yang tak dibuat-buat, mulut mereka mengucapkan kata-kata dengan lambat, kata-kata yang tak bisa Marcell dengar. Ia yang paling tahu kenapa, ia paham bagaimana gemericik sungai dan desiran pohon di sekitar mampu menelan suara manusia di tempat itu. Dia sendiri yang dulu datang kesitu dengan niat yang sama, ingin berbicara tanpa di dengar seorang pun selain orang di hadapannya.
Tangan Marcell mengepal kuat, matanya tak sanggup melihat Windy sekarang bergerak ke pelukan Michael. Ia ingin menerjang, memukul wajah Michael yang sedang tersenyum senang, tapi kakinya malah terpaku di tempat. Sebesar apapun keinginannya, ia ditahan kenyataan, dirinya tak punya cukup alasan untuk melakukan.
Windy memang berubah.
Hari pertama masuk sekolah setelah liburan kenaikan kelas, ia mengagetkan Marcell dengan kebiasaan barunya yang diluar dugaan.
Hari itu, dia tak kunjung turun meski sudah dipanggil beberapa kali dari lantai bawah. Jadi Marcell memilih naik ke atas, menyambangi kamar Windy yang tertutup rapat. Tapi begitu dia mendekat, dahinya langsung berkerut heran. Suara musik menggelegar tipis-tipis keluar dalam kamar. Sosok Windy yang biasa menjaga ketenangan dengan memakai headphone untuk mendengarkan lagu kesukaan, entah mengapa hari itu sangat berbeda.
Ia memutar lagu We Found Love dari Rihanna dan Calvin Harris. Getaran bass-nya bahkan terasa sampai di permukaan pintu yang Marcell sentuh.
Berkali-kali Marcell mengetuk pintu, Windy tak menyahut. Suara bising di dalam kamarnya jelas membuat panggilan Marcell tak terdengar.
“Gue masuk ya!” teriak Marcell memperingatkan sebelum menekan kenop pintu dan mendorongnya terbuka.
Di ambang pintu, Marcell tertegun. Ia nyaris tak percaya pada apa yang dilihat oleh matanya.
Di dalam kamar itu, gadis yang dikenalnya sejak kecil kini duduk di depan cermin, sibuk menata rambut dengan alat yang mengeluarkan asap tipis. Wajahnya berseri, menyunggingkan senyum cerah saat menyadari keberadaan Marcell. Meja di hadapannya penuh dengan alat make-up, nama-nama yang bahkan tak pernah Marcell dengar, apalagi pahami.
Padahal Windy bukan tipe yang gemar berdandan. Sisir saja seperti benda asing di kamarnya, dan rambutnya nyaris selalu terikat. Ia hanya membiarkannya tergerai saat keramas. Make up pun hanya muncul di wajahnya ketika ibunya memaksa ke salon untuk acara keluarga. Tapi kini, sesuatu telah berubah.
Sejak hari itu, perlahan-lahan Marcell menyadari, Windy sedang tumbuh. Ia mulai mencintai dirinya sendiri dengan cara yang baru, dan Marcell, meski sempat bingung, memilih menerima perubahan itu. Bahkan ia mulai menikmati kebiasaan baru mereka: pergi ke toko kosmetik sepulang sekolah, menemani Windy memilih pewarna bibir, mendengarkan dengan seksama saat gadis itu bertanya, “Yang ini cocok nggak, Cell?”
Perubahan Windy tidak drastis, tapi perlahan dan menawan. Ia jadi lebih bersinar, lebih sering tertawa, lebih bebas mengekspresikan diri. Marcell sempat khawatir Windy akan merasa sepi di kelas barunya, karena Devina sekarang malah ada di kelasnya bukan di kelas Windy lagi.
Namun kekhawatiran itu perlahan memudar. Windy terlihat baik-baik saja. Bahkan setiap kali Marcell dan Devina datang mengunjunginya saat istirahat, Windy selalu antusias menceritakan hal-hal kecil yang ia pelajari, dari teknik shading hingga warna foundation yang cocok untuk kulitnya. Marcell sadar kalau semua yang Windy lakukan itu tak lain adalah bentuk dari dirinya yang sedang belajar lebih mengenal dan mencintai dirinya sendiri.
Tapi beberapa waktu kemudian, Marcell meragukan pemahamannya.
Apa jangan-jangan Windy memang sedang berusaha terlihat cantik demi seseorang?
Dalam perjalanan ke kantin, di sela-sela obrolan, Marcell melihat langkah Windy melambat. Matanya tertuju ke suatu tempat, dan ketika Marcell mengikuti arahnya memandang, ia melihat Michael dan Tamara berdiri di depan kelas. Keduanya saling berhadapan, seperti membahas sesuatu dengan serius. Entah apa yang Tamara lakukan di situ padahal dirinya sudah lulus. Tapi bukan itu yang mengganggu Marcell, yang menyita perhatiannya justru ekspresi yang Windy buat di wajahnya.
Ekspresi itu. Ekspresi khas Windy, yang begitu dikenalnya. Persis seperti saat Willy diam-diam mengambil jatah makan malamnya di hadapan kedua orang tua mereka. Sebuah campuran getir antara tak rela dan kehilangan, namun disembunyikan rapat-rapat demi menjaga harga diri. Ia tak membantah, tak mengadu. Hanya menahan kesal dalam diam, menelan kecewa dengan elegan.
Dan kini, Marcell melihat ekspresi yang sama. Begitulah wajah Windy ketika matanya terpaku ke Michael yang ada beberapa meter di hadapan mereka.