16 September 2012
Saat Windy tak tahu harus mulai dari mana untuk mencintai dirinya sendiri, ucapan Michael datang seperti angin yang menggerakkan layar hati yang lama diam. Ia ingin berubah, ingin menjadi lebih baik, namun langkah pertama terasa begitu asing dan membingungkan.
Ia tersesat di dalam pikirannya sendiri, terasa seperti berdiri di persimpangan jalan yang bercabang tanpa satupun petunjuk arah. Di sekelilingnya hanya ada bayang-bayang cemoohan yang pernah dilontarkan orang lain, serta bisik-bisik keraguan dari dalam dirinya sendiri.
Windy sadar betul bahwa dirinya bukan tipe yang pandai menyembunyikan perasaan. Ia transparan, terbaca seperti halaman pertama buku harian yang terbuka lebar, meski disembunyikan dalam laci.
Selama beberapa bulan terakhir, ia mencoba membangun pertahanan diri, menata ekspresi, melatih poker face, menyembunyikan gejolak rasa setiap kali berada di dekat Marcell. Tapi ia tahu, tetap saja ada yang bocor. Ada emosi yang merembes keluar dan terbaca oleh Marcell, orang yang telah mengenalnya bahkan sebelum ia mengenal dirinya sendiri.
Yang paling sulit ia tutupi adalah rasa sepinya.
Bukan karena tak ada yang menemani, tapi karena dalam upayanya mencintai diri sendiri, ia sengaja menjaga jarak. Ia perlu ruang untuk mengenal dirinya lebih dalam, tanpa bias rasa, tanpa pengaruh dari bayangan Marcell. Tapi ruang itu justru berubah menjadi ruang hampa. Ruang yang dinginnya merambat perlahan ke seluruh penjuru hatinya. Ruang yang tak bisa ia isi dengan perasaan lain, tapi juga terlalu sunyi untuk dibiarkan begitu saja. Ia takut, suatu hari rasa dingin itu akan membekukan segalanya.
Marcell masih di sana.
Menemaninya dalam proses yang pelik itu, mendukung pilihan-pilihannya, memperhatikan pertumbuhan kecil yang ia capai tiap hari. Tapi Windy tahu, semakin Marcell dekat, semakin rapuh pertahanannya.
Hatinya terlalu mudah goyah. Dan jika ia kembali jatuh, ia takut luka yang sama akan menganga lebih dalam dari sebelumnya.
Awalnya, semua itu hanya coba-coba.
Michael terasa begitu jauh, mereka jarang bertemu, dan jelas tak ada hubungan spesial di antara mereka. Namun setiap kali Windy mengingat ucapan-ucapannya, hatinya terasa lebih tenang, pikirannya lebih kuat. Kalimat-kalimat itu menjadi jangkar yang menahannya dari hanyut terlalu dalam oleh rasa tidak berharga. Menjadi pegangan dalam usahanya mencintai diri sendiri.
Dan tanpa ia sadari, Michael mulai mengisi ruang kosong itu, pelan-pelan, diam-diam.
Hadir tanpa mengetuk, menaruh potongan-potongan kecil dirinya dalam bentuk perhatian, tawa ringan, dan kata-kata sederhana yang menenangkan. Windy membiarkannya. Karena baginya, Michael tak berbahaya.
Meskipun yang berdiri di sampingnya adalah Marcell, justru kepada Michael-lah Windy ingin bercerita. Tentang hari-harinya, tentang langkah-langkah kecil mengenal diri, tentang betapa sulitnya menyembunyikan perasaannya di hadapan Marcell, dengan cara terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya sedang belajar fokus pada kebahagiaannya sendiri.
Dan pada suatu malam, ia memberanikan diri mengirimkan sepenggal cerita lewat chat. Hanya sekadar ingin berbagi. Tak disangka, percakapan itu menjadi kebiasaan. Rutinitas kecil mereka di tiap malam sunyi.
Ruang kosong yang tercipta karena kesunyian dalam proses mengenal diri sendiri, perlahan berubah menjadi ruangan nyaman bernama Michael. Ruangan yang tak sesak oleh kenangan atau ekspektasi. Ruangan yang terasa ringan, menyenangkan, dan damai.
Ia tak pernah benar-benar melupakan Marcell.
Tempat Marcell di hatinya terlalu dalam, terlalu luas, tak terukur batasnya. Tapi justru karena itulah, rasa sakit itu begitu nyata saat ia melihat Marcell dan Devina kembali sekelas. Ketika semua orang mulai menyebut mereka pasangan siswa terbaik, pemenang Olimpiade Sains Provinsi yang kini dikirim ke tingkat nasional, ada sesuatu dalam dada Windy yang meremas.
Sakit, tapi ia berusaha tak menunjukkannya.
Setiap kali rasa resah datang menyelinap, Windy membuka obrolannya bersama Michael di ponselnya. Kadang tak dibaca, hanya dilihat saja. Kadang hanya menertawakan ulang satu dua lelucon lama. Tapi entah kenapa, itu cukup untuk membuat hatinya terasa lebih ringan.
Michael, dalam diam, menjadi semacam penawar bagi luka-luka yang belum sembuh. Obat penawar untuk penyakit cinta yang tak bersambut. Yang diam-diam masih kambuh, meski tak diakui.
Tapi hari itu, Windy tahu, ada yang berbeda.
Ada sesuatu yang perlahan tumbuh di hatinya, bukan sekadar kenyamanan atau kekaguman semata. Ia mengakui, perasaannya pada Michael ada yang berubah. Bukan hanya karena kado yang diam-diam ia siapkan, sebotol parfum pria yang dibungkus rapi dan disimpan dalam tas karton selama beberapa hari, bukan juga karena ia tetap ingin memberikannya meski tahu ulang tahun Michael sudah lama lewat. Tapi karena hari itu, untuk pertama kalinya, ia merasakan keinginan untuk memperjuangkan seseorang.
Hari itu sebenarnya sama saja seperti hari lainnya, ia berjalan menuju kantin bersama Marcell dan Devina. Mungkin bagi keduanya, menjemput Windy saat istirahat adalah bentuk perhatian, sebuah rutinitas biasa. Tapi bagi Windy, itu adalah siksaan yang harus ia telan setiap hari.
Marcell dan Devina selalu tampak sempurna, pasangan favorit sekolah, disorot oleh tatapan kagum kemanapun mereka pergi. Dan setiap kali mereka datang menghampiri Windy, tatapan itu orang-orang berubah, kekaguman itu bercampur sorot mata sinis, seolah Windy hanyalah bayangan tak penting yang mengganggu kesempurnaan mereka.
Meski begitu, ia tetap tertawa, tetap bercerita tentang kelas make-up yang ia ikuti selama liburan, dan diam-diam berkata dalam hati, “Nggak apa-apa, nanti malam ceritakan ke Michael.”
Namun realita ternyata lebih kejam dari sekadar rasa iri yang bisa ia sembunyikan.
Hari itu ia melihat Michael bersama Tamara di depan kelas. Tamara yang katanya sudah berlalu, yang katanya sudah tidak ada di hatinya. Tapi mereka berdiri terlalu dekat. Terlalu akrab. Terlalu nyaman untuk dua orang yang mengaku telah selesai.
Seketika, ada rasa gelisah yang mencubit. Ada ketidakrelaan yang muncul tanpa aba-aba. Ia tak bisa menyembunyikan ekspresi kecewanya, tak bisa menahan sorot mata yang terbuka terlalu jujur. Dan ketika Michael menoleh ke arahnya, bahkan meninggalkan Tamara untuk menghampirinya, Windy tahu, ia tak bisa mengabaikan gelombang rasa senang yang mendadak muncul di dalam dirinya.