12 Januari 2013
Benar-benar bukan hal yang mudah menerima kenyataan bahwa pemilik hati justru memberikan hatinya kepada orang lain. Setelah Windy memutuskan untuk bersama Michael, perasaan Marcell campur aduk. Dia sempat kewalahan, kehilangan kemampuan untuk menerima kenyataan. Dunia Marcell seolah berhenti sejenak. Siang dan malam, yang menyelimuti hanya perasaan cemburu, kecewa, dan kehilangan sampai dadanya terasa sesak.
Kenyataan bahwa dia tak pernah jadi seorang pria di mata Windy menyerang mentalnya habis-habisan. Selama beberapa waktu Marcell hilang fokus, sulit belajar, dan bahkan sampai ke titik enggan berangkat ke sekolah. Ia tak tahu cara melepas Windy yang sudah terlalu lama menjadi bagian dari kebiasaannya.
Meski tentu saja, ia sadar kalau cepat atau lambat hal itu tetap harus dilakukannya.
Di sekolah, perlahan-lahan dan penuh penyesuaian, Marcell akhirnya mulai menerima kenyataan bahwa kebersamaan Windy dan Michael kini telah diketahui banyak orang.
Meskipun begitu, tiap kali melihat Michael ada di samping Windy dengan mata kepalanya sendiri, hatinya tetap terasa seperti diremas. Ia masih merasa canggung untuk berhadapan langsung dengan mereka. Tak punya nyali untuk menjadi saksi bagaimana hubungan itu tumbuh dan berkembang. Tapi Marcell terus berusaha menempatkan diri. Dia paham, sekarang semua bukan lagi tentang perasaan dan harapannya, tapi tentang kebahagiaan Windy yang ternyata memang tak datang dari dirinya.
Di rumah ada kecanggungan yang tak bisa dihindarkan.
Ada rasa kesepian meski Windy sedang duduk di sebelahnya.
Padahal mereka ngobrol dan bercanda seperti biasa, tapi selalu terasa ada jarak antara mereka. Ada sesuatu yang kosong dan hilang, padahal mungkin sebenarnya dari awal memang tak pernah ada di sana. Hanya sekedar harapannya saja.
Kadang ada terbesit keinginan untuk bertindak gegabah, untuk merebut Windy dari Michael. Kadang dia juga ingin mempertanyakan keputusan Windy, memintanya berpikir sekali lagi. Berharap, mungkin masih ada kesempatan bagi dirinya jika lebih berusaha.
Setiap kali perasaan itu datang, Marcell menahan nafas dan menenangkan diri. Berpikir baik-baik kalau tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang.
Pada akhirnya, Marcell sadar walaupun tak bisa mengubah keadaan, ia punya kemampuan untuk belajar merelakan.
Meski tak yakin waktu akan menyembuhkan luka, ia mencoba berdamai dengan situasi, pelan-pelan mengembalikan fokus diri. Sembari tetap ada di samping Windy, sebagaimana yang biasa ia lakukan. Memberi perhatian, pengertian, dan bantuan, meski kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya, ia tak akan melakukannya jika tak ada permintaan. Sebagai bentuk dirinya menghargai keputusan Windy dan belajar proses kedewasaan.
Ia tak menyangka, hari ini, setelah sekian lama, akhirnya Windy menggenggam tangannya untuk meminta bantuan. Tapi sayangnya hari ini justru bisa dibilang hari terberat dalam hidup Windy.
Om Wilbert, ayah Windy, setelah berbulan-bulan berjuang dengan segenap tenaga dan pikirannya untuk memperbaiki keuangan perusahaan dan keluarganya, dikalahkan oleh takdir. Hari ini dia harus menjalani operasi darurat akibat pendarahan di otak. Sebuah pukulan tak terduga yang mengguncang segalanya.
“Please anterin gue ke rumah sakit, Cell!” ujar Windy, suaranya hampir tenggelam dalam gemetar tubuhnya. Air matanya mengalir deras, wajahnya pucat pasi dan penuh kecemasan.
Melihat betapa terguncangnya Windy, hati Marcell serasa remuk redam.
“Iya, iya,” jawab Marcell dengan suara serak, merangkul Windy dan mengusap-usap bahunya lembut. “Gue panggil taksi sekarang.” Ia berusaha tetap tenang meskipun sebenarnya sama paniknya dengan Windy.
Saat menerima telepon dari ibunya dia sedang mengerjakan tugas fisika, tanpa alas kaki ia langsung berlari keluar rumah. Namun langkahnya terhenti oleh keraguan, membuatnya berdiri cukup lama di depan rumah Windy karena tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Sampai beberapa saat kemudian, Windy yang tampaknya juga baru menerima telepon dari ibunya, berlari keluar dengan terhuyung-huyung. Merangsek ke hadapan Marcell dan menggenggam tangannya erat.
Mereka tiba di depan ruang operasi setengah jam kemudian.
Cahaya lampu rumah sakit menyinari lorong yang sunyi, hanya menyisakan gemuruh kecemasan di dada masing-masing. Di bangku panjang yang dingin, Ibunya dan Tante Melanie duduk terdiam, mata mereka kosong, memandang ke arah yang bahkan tak mereka sadari. Di samping mereka, Willy terisak lirih. Bocah itu menangis tanpa suara, matanya berlari kesana kemari, seperti mencari jawaban dari pertanyaan yang tak bisa ia utarakan.
Melihat keadaan itu, kakinya Windy terkulai lemas, tubuhnya jatuh pelan ke sisi bangku, duduk di sebelah adiknya. memeluk adiknya yang selama ini hampir tak pernah ia peluk. Mereka menangis dalam diam, tanpa kata, hanya dengan air mata yang berbicara lebih lantang dari apa pun yang bisa terucap.
Marcell berdiri beberapa langkah di belakang mereka, diam-diam menahan napas. Di hadapannya, gadis yang ia cintai tampak remuk, pecah dalam derita yang tak bisa ia selamatkan. Ia ingin mendekap Windy, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi tangannya bahkan tak bergerak dari samping tubuhnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menahan diri.
Jadi ia memilih diam, berdiri sebagai penjaga yang siap menjadi sandaran kapan pun diminta. Menjadi kehadiran yang tak mencolok, namun tak pernah benar-benar pergi. Sebab terkadang, cinta terbesar adalah yang tahu kapan harus menepi.