Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #19

19. Cinta Tanpa Pamrih, Akhir yang Dingin

16 April 2013


“Windy, mau nanya dong!” ujar Dita, teman sebangkunya yang kepribadiannya jauh lebih pendiam dan tertutup dari Windy. Mereka jarang ngobrol bahkan untuk basa-basi padahal sudah berbulan-bulan selalu bersebelahan.

Jadi Windy sedikit kaget tiba-tiba dia menanyakan sesuatu yang nampak dari sorot matanya bukanlah masalah pelajaran, tapi hal bersifat pribadi.

“Apa?” tanya Windy, menghentikan gerakannya sejenak. Membiarkan buku-buku yang hendak dia masukkan ke tas, sementara tetap di atas meja.

Dita berdehem kikuk, mendekatkan badannya dan berbisik di telinga Windy. “Kamu emang beneran putus sama Kak Michael?” tanyanya. “Maaf,” ia kemudian bergerak mundur dengan sungkan. “Orang-orang ngomongin kamu terus dari kemarin,” jelasnya hati-hati. “Tapi menurut aku kalau penasaran lebih baik tanya langsung ke kamu.”

“Kalau penasaran tanya langsung orangnya!”

Ucapan Dita terdengar familiar. Membuatnya teringat kata-kata dari Michael itu pernah menyentuh hatinya dan membuat dirinya larut dalam keinginan untuk selalu dihargai dan ditemani.

Kini kata-kata itu hanya sekedar kenangan.

Kenangan penuh manis getir yang Windy simpan rapat-rapat di hati.

Windy melemparkan senyum mafhum ke Dita, ia tahu betul apa yang gadis ini maksud. Dirinya sadar bagaimana orang-orang itu, tak pernah melepaskan pandangan darinya. Sejak ia ketahuan dekat dengan Marcell, lalu menjalin hubungan dengan Michael, mereka nampak tak pernah bosan mencari-cari kesalahan atau kekurangannya.

Dan beberapa hari ini suara-suara mereka lebih lantang dari sebelumnya. Tak lagi berhati-hati karena takut dimarahi Michael, seperti yang sudah-sudah. Walau menyebalkan, Windy tak bisa menyalahkan. Bisa dibilang dirinya sendiri yang memberi mereka bahan gunjingan. Meskipun sebenarnya akan lebih lega jika semua orang bertanya langsung padanya seperti yang barusan Dita lakukan.

“Em.” Angguk Windy kemudian.

Dita terkesiap. Sebenarnya, ia masih menyimpan secercah harapan bahwa kabar yang beredar selama beberapa hari terakhir hanyalah desas-desus tanpa dasar. Ia berharap Windy akan menepis semuanya, memberi jawaban yang menenangkan, bahwa hubungan mereka masih bertahan.

Namun, nyatanya, hanya sebuah anggukan pelan yang Windy berikan. Diam, namun cukup untuk meruntuhkan seluruh harapan Dita. Sebuah anggukan yang menandai berakhirnya kisah yang diam-diam ia teladani selama ini.

Bagi Dita, hubungan Windy dan Michael bukan sekadar kisah cinta biasa. Itu adalah bukti bahwa dua manusia bisa saling menemukan dalam dunia yang serba rumit dan penuh dengan penghakiman sepihak. Tapi kini, semuanya hanya tinggal jejak.

Sementara itu, Windy menunduk dalam diam. Mungkin karena tak ada kata yang cukup untuk menjelaskan beratnya perpisahan itu. Mungkin karena hatinya masih terlalu lelah untuk membuka luka yang belum benar-benar sembuh. Yang jelas, keputusan itu bukan hal yang mudah, dan itu terpancar jelas dari sorot matanya yang redup, kepayahan diguyur badai yang tak berhenti-henti.


Semua dimulai beberapa minggu lalu.

Di hari senin yang cerah, setelah upacara bendera, Devina menyambanginya.

Malam sebelumnya, setelah sekian lama menjaga jarak, Windy memang menghubungi Devina lebih dulu, bukan untuk menanyakan kabar, apalagi meminta maaf karena selama beberapa bulan terakhir telah menempatkan Devina seperti antagonis di dalam hatinya, hanya karena kedekatannya dengan Marcell yang makin erat, sejak mereka kembali sekelas, tapi karena Windy ingin meminta informasi. Kalau-kalau Devina punya kanal lowongan kerja paruh waktu yang bisa ia lamar.

Sebenarnya bukan hal spesial. Karena dia juga melakukan hal itu ke beberapa teman SMP dan kenalannya yang lain. Yang sekiranya tak mudah menyebarkan berita asal.

Namun, malam itu Devina tak menjawab apa pun.

Dan justru esok paginya, di tengah keramaian lapangan, gadis itu menatapnya lurus-lurus dan bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Lu sebel sama gue, kan, Win?”

Pertanyaan itu membekukan langkah Windy. Terlalu mendadak. Terlalu jujur.

Ia menggeleng cepat. Bisa dibilang, itu bukan sepenuhnya dusta. Ketimbang membenci Devina, Windy lebih sering benci pada dirinya sendiri, karena menyimpan perasaan negatif pada seseorang yang, sejauh pengamatannya, tak pernah benar-benar memberinya alasan untuk dibenci.


“Mana ada, sih. Ngapain gue sebel sama lu?” sahutnya, diselingi tawa canggung yang terdengar terlalu dipaksakan untuk bisa meyakinkan siapapun.

Devina meneliti wajahnya dengan sorot mata yang tajam tapi tenang. Lalu, tanpa banyak bicara, menarik tangan Windy.

“Ikut gue,” katanya singkat, membelah kerumunan yang mulai menipis, dan membawa Windy masuk ke ruang klub fotografi, tempat yang biasanya sunyi di Senin pagi.


Sebelum duduk di hadapan Windy, Devina memastikan pintu ruang klub tertutup dan terkunci dengan benar. Ia tampak begitu serius untuk sekedar hendak ngobrol dengan mantan teman sekelas yang sedang mencari kerja. Windy juga tahu, bukan itu alasan Devina membawanya bicara empat mata di tempat sepi ini.

“Waktu kita sedikit, sebentar lagi kelas dimulai dan guru pasti mulai absen,” ujar Devina tegas. “Jadi gue gak mau lu kebanyakan berkelit, gue mau lu jawab yang jujur.” Ia menatap lurus ke mata Windy. “Kenapa lu jadian sama Michael?”

Windy menanggapi dengan datar, dia tak mengerti apa mendesaknya pertanyaan Devina barusan. Kenapa bukan membahas masalah pekerjaan dia malah membahas masalah percintaan? Lagi pula hubungannya dengan Michael bukan tempat dimana Devina bisa terlibat. Mereka sudah tak sekelas saat Windy mulai dekat dengan Michael, jelas banyak hal yang tak akan Devina mengerti sekalipun Windy ceritakan sekarang. Jadi dia memilih tak menjawab, karena menurutnya tak perlu menyampaikan alasan dari keputusan yang sudah lama dia buat.

Tapi Windy lupa, seberapa peka dan paham Devina terhadap dirinya. Setelah mengamati setiap perubahan ekspresi di wajah Windy, dan mengintip jauh ke dalam pikirannya. Devina telah membuat hipotesa, ia pun menguji kebenaran dari teori yang ia yakini.

“Lu sukanya sama Marcell,” ia baru menyebutkan variabel pertama tapi Windy sudah melotot kaget, tak percaya yang didengarnya.

“Marcell suka sama lu,” lanjut Devina, seperti menjatuhkan serangan bom dari udara. Variabel keduanya sontak membuat mata Windy hampir melompat keluar, saking kagetnya.

“Jadi kenapa kalian bukannya jadian malah, lu..” tunjuknya ke Windy, “jadian sama dia,” tunjuknya ke foto Michael yang terpampang di salah satu sudut dinding ruangan klub.

Lihat selengkapnya