31 Mei 2013
Marcell bergeming di tempat, tak seperti anggota klub lain yang menyampaikan salam perpisahan ke Michael, dirinya memilih untuk berdiri menyendiri di pojok ruangan. Bukan karena terang-terangan ingin menunjukkan ketidaksukaannya pada Michael, tapi karena tak tahu harus bersikap bagaimana di hadapannya.
Meski enggan mengakui, sampai detik ini di bidang fotografi amatir, Michael tetap panutannya. Tak peduli seberapa Marcell membencinya karena sudah merebut Windy, ia tetap tak bisa berhenti hormat pada Michael di klub. Walau sudah tak menjadi ketua lagi sejak naik kelas dua belas, Michael banyak bersumbangsih ke klub, dan Marcell mengakuinya.
Hari ini hari terakhir ujian kenaikan kelas, dan Michael yang kelas dua belas, sudah lulus, diterima di kampus ternama untuk jurusan jurnalistik. Ia mengadakan acara perpisahan untuk seluruh anggota klub. Jadi walaupun dirinya sudah menduga akan kebingungan harus bersikap bagaimana, Marcell tetap datang, tak etis kalau dia satu-satunya yang tak ada.
Anton menyambangi, ketua klub pengganti Michael yang juga teman sebangkunya di kelas itu menepuk bahunya bersahabat. Berdiri di samping Marcell sembari melihat ke arah yang sama. “Kapan ya gue bisa sekeren dia,” gumamnya, terlalu kencang untuk disebut bicara sendiri, terlalu pelan untuk dibilang mengajak Marcell bicara.
Melirik tak kentara, Marcell memilih tetap diam seperti yang sedang ia lakukan. Kembali menatap lurus ke depan, mengamati Devina yang sedang berbicara begitu serius dengan Michael. Matanya memicing curiga, tentang hal apa yang sebenarnya sedang dibahas kedua orang itu. Di sampingnya, Anton juga melihat ke arah yang sama, bedanya ia menatap sendu. Terdengar helaan nafas berat dari mulutnya. Membuat Marcell penasaran dan menengok mengawasinya.
“Kenapa lu?” tanya Marcell, tak benar-benar penasaran.
Matanya berkelebat, Anton kemudian menatap bolak-balik Devina dan Marcell, sebelum akhirnya memiringkan tubuhnya menghadap ke Marcell. “Lu kan tau gue suka sama Devina,” ucapnya, entah kenapa kelihatan berat.
Marcell mengangkat alis, suaranya datar. “Terus?”
“Ya lu kan deket sama dia, lu nggak tahu.. sebenernya Devina itu suka sama Michael apa nggak?!” bisik Anton gregetan.
“Ha?” Marcell tercengang. Melepaskan lipatan tangannya di depan dada, mengangkat punggungnya dari dinding. Berdiri tegak menghadap lurus ke Anton. “Gue deket sama Devina?”
Dahi Anton berkerut heran, “Lah emang iya kan, seluruh orang di sekolah juga mikir gitu, bahkan semua pada mikir kalau kalian pacaran!” serunya sambil melayangkan tinju ringan ke lengan Marcell. “Kalau gue gak sebangku sama lu juga gue bakal ngira hal yang sama!” gerutunya.
Tercengang tak habis pikir dengan apa yang didengarnya, Marcell hanya bisa menatap Anton tanpa suara. Sungguh, selama ini orang-orang mengira seperti itu? Rahangnya mengeras, dan untuk sesaat, pikirannya seakan macet di tengah lalu lintas rasa bingung, jengkel, dan entah apa lagi.
“Lu serius?” gumamnya akhirnya, suaranya terdengar cukup keras untuk percakapan mereka yang sembunyi-sembunyi.
“Iya!” Anton memutar tubuh Marcell ke posisi semula, takut pembicaraan mereka memancing perhatian dan rahasianya terbongkar. “Udah intinya sekarang, lu tau nggak, Devina suka Michael apa nggak?” tekannya, ikut kembali menyandarkan punggungnya di dinding. Keduanya sama-sama kembali menatap lurus ke Devina dan Michael yang ada sekitar lima meter di depan.
“Devina suka Michael apa nggak juga gak masalah, kan!” sahut Marcell malas-malasan, “Orang Michael dah punya pacar!” lanjutnya ketus, tak mau menyebut nama Windy sebagai pengganti kata ‘pacar’.