1 Juli 2013
Di tepi sawah yang hijau dan subur, Windy duduk diam.
Celananya kotor karena tanah kering yang menjadi alas duduknya. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, bersuara lembut seperti hanya bisa didengar oleh hati yang sunyi. Kepalanya terangkat, wajahnya menengadah ke langit. Matanya terpejam, tapi bola matanya bergerak pelan, tetap menatap sinar matahari yang menyelinap lewat kelopak mata. Entah bagaimana warna kulitnya nanti, setelah terbakar sinar matahari puncak musim kemarau yang terik sejak pagi hingga menjelang senja begini. Ia memilih tak peduli.
Kakinya yang menggantung, bergoyang bergantian. Telapak tangannya menyentuh tanah, sementara jemarinya bergerak ringan dan riang. Mulutnya ingin bersenandung, namun tak ada lagu yang terlintas di kepala. Dan itu bukan masalah, karena hatinya terasa sangat tenang. Suasana di sekitar begitu nyaman dan damai. Untuk saat ini tak ingin merencanakan atau memikirkan apapun. Hanya ingin duduk diam, seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
“Akkkk!”
Teriakan Devina memecah ketenangan.
Windy membuka matanya, refleks menoleh ke arah suara. Pandangannya langsung tertuju pada Devina yang tampak baru saja bangkit dari posisi jongkok di jalan setapak kecil di tengah sawah.
“Ada cacing gede banget!” seru Devina dengan antusias dan matanya berbinar. Ia sama sekali tak merasa takut, atau malah malu, meski kehebohannya bisa saja terdengar sampai ke ujung pematang.
Melihat tingkahnya, Windy tertawa pelan. Gadis itu benar-benar mempunyai karakter yang cerah, seperti matahari kecil yang selalu tahu bagaimana cara bersinar. Berbanding terbalik dengan dirinya, yang lebih menyukai hal-hal tenang dan sendu. Dalam diam Windy berpikir. Andai saja tak ada perkara cinta atau keluarga, mungkin ia bisa menjalani hidupnya dengan santai tanpa banyak pertimbangan, seperti Devina.
Atau, dalam bentuk yang lebih sederhana, mungkin dia tak akan pernah menyimpan secuil pun rasa benci pada gadis itu. Gadis yang bahkan jauh-jauh datang menyusul kesini, untuk menghiburnya. Maka mungkin, mereka akan punya lebih banyak kenangan manis bersama. Kenangan yang tak perlu diselimuti rasa sesal.
Windy memang menyesali pilihannya, mempertanyakan apakah selama ini ia pernah benar-benar mengikuti kata hati. Dia pun tak tahu. Dia hanya gadis yang bahkan usianya belum genap tujuh belas tahun. Tapi hidup telah lebih dulu mengujinya. Diterpa berbagai badai, dari yang mampu ia hadapi, hingga yang membuatnya ingin undur diri dari segalanya. Bukan untuk benar-benar meninggalkan dunia, hanya ingin rehat sejenak. Memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk pulih. Seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
Devina tampak kerepotan menjaga pijakannya tetap aman. Ia berjalan sambil sedikit berjinjit, sesekali melompat kecil, berusaha menghindari tanah becek yang ada di jalur pijakannya. Sandal putihnya yang sejak tadi nyaris penuh noda kini sudah mulai kehilangan warna aslinya. Tapi itu nampak sama sekali tak menyurutkan semangatnya.
Begitu mencapai jalan setapak yang lebih lebar, ia mempercepat langkah, lalu berlari kecil sambil tertawa lepas. "Bagus banget di sini!" serunya berkali-kali, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya sejak tiba siang tadi.
Dua hari sebelumnya, Devina menghubungi, menanyakan kabar Windy: bagaimana liburan kenaikan kelasnya, apa yang sedang dilakukan. Dan Windy, yang merasa tak lagi punya alasan untuk menyembunyikan apapun dari gadis yang diam-diam selalu tahu segalanya itu, hanya menjawab singkat: “Gue lagi kabur.”
Semua yang terjadi belakangan ini membuat kepalanya penat, tubuhnya pun terasa lelah tak karuan. Ia tahu di rumah ada tanggung jawab yang menunggu. Membimbing Willy, mengerjakan pekerjaan rumah, menjaga ayahnya, dan memastikan semua berjalan baik karena sekarang ibunya kembali bekerja. Tapi untuk pertama kali dalam hidupnya, Windy membuat keputusan yang tanpa mempertimbangkan siapapun selain dirinya sendiri. Ia memberanikan diri menyuarakan pikirannya ke ibunya.
Dirinya kelelahan, pikirannya kacau, dan jika dipaksakan mungkin dia akan meledak.
“Kamu liburan dulu ke rumah Om kamu, ke rumah nenek. Udah lama kita nggak pernah kesana,” ujar Melanie hangat, menanggapi keluh kesah Windy yang dia pahami sepenuh hati.
“Kamu selalu seneng kalau di sana,” sambungnya sambil membelai rambut putrinya. Ada genangan air mata yang ia tahan agar tak keluar. “Terserah kamu mau berapa hari, Mama bisa cuti dulu,” tambahnya, coba meyakinkan. Kemudian menoleh ke Willy, “William juga udah bisa jaga rumah, jaga papa juga. Ya, kan, Will?”
Willy mengangguk penuh percaya diri, menepuk dadanya dengan bangga.
“Serahin semuanya sama aku!” ucapnya sombong, seolah sedang mendapat tugas penting dari negara.
Windy hanya bisa tersenyum tipis, perasaannya campur aduk, antara bangga karena adiknya kini terlihat lebih dewasa, dan sedih karena tahu betul bahwa kedewasaan itu muncul terlalu cepat. Karena keadaan yang terlalu berat untuk anak seumuran Willy.
Dengan semua beban yang ditinggalkan, tanpa ada jaminan kalau semua akan baik-baik saja. Windy memilih untuk pergi.
Kabur ke Sukabumi.