20 Desember 2013
Selalu ada kekhawatiran dari sekitar, ketika seseorang tiba-tiba berubah drastis, seolah berbalik seratus delapan puluh derajat dari dirinya yang dulu.
Sikapnya terasa asing, keputusannya sulit dipahami, dan langkah-langkahnya tak lagi bisa dikenali. Itulah yang terjadi pada Windy, sejak ia kembali dari ‘liburan pengasingan’ yang dijalaninya.
Ia telah memutuskan untuk menjadi versi terkuat dari dirinya, lebih kuat dari siapapun yang pernah ia kenal dalam dirinya sendiri. Namun, ketegasannya terhadap diri sendiri itu ternyata berdampak pada orang-orang di sekitarnya. Sebuah perubahan yang mungkin menyelamatkan dirinya, tapi tak selalu mudah diterima oleh dunia di sekelilingnya.
Bagi orangtuanya, Windy mendadak berubah menjadi anak yang terlalu tangguh. Keputusan-keputusan yang ia ambil begitu mengejutkan, bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Gak ada jalan lain!” ucapnya lantang di tengah ruang keluarga. “Satu-satunya cara adalah jual rumah ini. Willy pindah sekolah, Mama jaga Papa, dan aku yang kerja.”
Melanie terpaku. Ucapan putrinya begitu cepat dan tegas, nyaris tak memberi ruang untuk mencerna maksudnya. “Tapi, Win… kamu belum lulus sekolah. Kamu mau kerja apa? Biar Mama yang kerja. Kita masih bisa bertahan…” ucapnya mencoba meyakinkan, meski suara hatinya sendiri penuh keraguan.
Windy menggeleng keras. “Nggak bisa, Ma. Rumah ini terlalu besar, kita nggak butuh rumah besar. Kita jual aja, uangnya bisa dipakai untuk bayar utang.” Suaranya meninggi, penuh desakan dan keyakinan. Ia berdiri tegak di depan ibunya dan Willy yang hanya terdiam di sofa. Sementara sang ayah, duduk lemah di kursi roda, hanya bisa menyimak tanpa ekspresi karena kondisi fisiknya yang terbatas.
“Aku udah ngobrol sama Om Chandra waktu di rumahnya kemarin,” lanjut Windy, nada suaranya mulai menurun tapi tetap penuh tekad. “Aku bisa kerja di kliniknya. Willy bisa sekolah di sana, deket dari rumah Nenek yang bisa kita tempati. Mama bisa fokus jagain Papa. Aku bakal ikut paket C nanti, habis itu cari kerjaan tambahan lainnya.” Matanya menyala. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya ketegasan dan keberanian. Menjelaskan bahwa semua ucapannya itu adalah hasil dari perhitungan dan perencanaannya yang matang.
Perdebatan itu tak berhenti dalam sehari.
Dua bulan lamanya Melanie dan Windy saling mempertahankan argumen mereka sendiri. Namun pada akhirnya, ketika kontrak kerja Melanie tak diperpanjang dan semua jalan seolah buntu, ia tak punya pilihan lain. Dengan berat hati, harus mengikuti saran Windy, keputusan yang selama ini paling ia tolak.
Rumah itu pun mulai dipasarkan, dan perlahan-lahan mereka mulai bersiap melakukan kepindahan. Meski tetap dengan satu syarat: Jika rumah belum terjual sampai mendekati waktu ujian, maka Windy harus menyelesaikan sekolahnya di tempat saat ini, tak peduli apapun. Dan mereka sepakat akan hal itu. Meski pikirannya ingin rumahnya buru-buru laku, hatinya sedikit memohon agar punya kesempatan lebih lama di sekolah bersama Marcell.
Di mata Willy, kakaknya berubah berisik.
Windy kini hampir seperti alarm yang tak henti berbunyi. Terlalu waspada, terlalu banyak bicara, dan selalu mengatur segalanya. Setiap sudut rumah seakan berada di bawah pengawasannya. Ia memantau nilai-nilai sekolah Willy, memeriksa PR, bahkan menghitung berapa lama adiknya itu menatap layar ponsel.
Tak ada lagi waktu bersantai. Bagi Windy, semua harus efisien, semua harus berguna. Sedikit saja Willy terlihat bermalas-malasan, Windy langsung datang dengan ceramahnya, tentang tanggung jawab, tentang masa depan, tentang jadi laki-laki yang bisa diandalkan.
Ada perasaan dalam hati Willy yang keberatan, bahkan merindukan sikap acuh tak acuh Windy yang dulu. Tapi ia mengerti, meski belum sedewasa Windy ia juga paham apa yang tengah terjadi. Tak ada waktu untuk meratapi perubahan, Willy bahkan mulai menjadi lebih dewasa diam-diam.
Di mata Devina, Windy mendadak menjadi lebih berani.
Sejak kembali sekelas, Devina memang sudah memutuskan untuk selalu berada di sisi Windy, melindunginya dari para perundung yang suka seenaknya bicara. Ironisnya, mereka justru harus sekelas dengan Riri, orang yang paling lantang menggunjing Windy sejak kelas sepuluh. Hal itu membuat Devina selalu siaga, siap pasang badan kapan saja jika Windy kembali menjadi sasaran.
Tapi hari itu, Windy berbeda.
Saat jam istirahat, Riri dan teman-temannya terang-terangan menyindir. Suara keras penuh tawa menghantam udara kelas. “Udah ditinggal Michael, gak ditemenin Marcell lagi, kesian banget si sok populer!” ejeknya.
Devina langsung bersiap berdiri. Tapi Windy menahan lengannya. Menahan agar Devina tetap di tempat. Dengan tatapan tajam lurus ke depan, kepala tegak dan rahang mengatup kencang. Windy bangkit dari bangkunya. Kakinya melangkah mantap menuju arah suara.
“Lu tau gue?” tanyanya lantang. “LU KENAL GUE?!” suaranya meledak, membuyarkan ketenangan, seisi kelas yang kini terpaku padanya.
Riri dan teman-temannya terdiam. Saking kagetnya, tak ada satupun yang bisa menyahut.
“Lu cuma lihat dari luar. Lu pikir lu ngerti apa yang gue alamin?” lanjut Windy. “Lu nggak tau gue. Lu nggak tau gimana rasanya selalu denger ocehan lu, berusaha sabar waktu dihina, difitnah, disalahin.” Tatapannya menyala, penuh amarah yang lama disimpan. Suaranya nyaring, tapi tak gemetar.
“Selama ini gue diem bukan karena gue takut, tapi karena menurut gue, nggak ada gunanya nyautin orang iri kayak lu!” Ia menekankan setiap kata seperti anak panah yang dilontarkan satu per satu. “Lu sama sekali nggak tau apapun! Jadi daripada kelihatan bego dan iri, nyebarin semua berita salah. Mending lu diem!” bentaknya.
Kelas terdiam. Tak ada tawa.
Hanya keheningan dan beberapa pandangan yang berubah arah, mencoba berpura-pura tak mendengar apa-apa.
Mulut Devina terbuka lebar, nyaris tak percaya. Matanya berkaca-kaca, yang dilihatnya barusan bukan hanya keberanian, tapi kemarahan tertahan yang akhirnya dikeluarkan. Untuk pertama kalinya, Devina melihat Windy bukan sebagai gadis yang butuh perlindungan, melainkan gadis yang mulai benar-benar berdiri melindungi dirinya sendiri.
Mulut Windy memang berkata lantang, tapi hatinya sebenarnya tak setangguh itu.
Ada luka yang masih bernanah, ada rasa takut yang belum sepenuhnya pergi, dan ada keraguan terhadap dirinya sendiri. Tapi dia merasa waktunya di sekolah ini sudah tak lama lagi. Dia bisa saja diam, membiarkan semua berlalu seperti biasa, tapi dia memilih untuk tidak. Hari itu dia ingin menunjukkan versi dirinya yang berbeda, versi yang tak sempurna, tapi lebih berani. Versi yang akan dikenang, bukan karena kelemahannya, melainkan karena caranya membela diri, meski masih gemetar di dalam.