Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #23

23. Layaknya Teras Terjauh

21 Desember 2013


Semalam hujan mengguyur deras sampai pagi. Suara petir, suara air jatuh ke tanah, suara tiupan angin yang bersahut-sahutan, semua begitu ribut, tapi tak ada yang lebih gaduh dari pikiran Marcell. Ia terjaga sepanjang malam, masih tak tidur sampai pagi menjelang.

Terus terbayang bagaimana ekspresi wajah Windy setelah ia mengungkapkan perasaannya yang sudah lama dipendam.

Tatapan itu, Marcell benar-benar tak paham apa maknanya.

Tak ada satupun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya semalaman.

Dia pikir Windy akan melotot kaget, mungkin menyumpah serapah, atau paling tidak memekik,  bertanya apakah dia sedang bercanda. Tapi sorot mata kecewa campur lelah itu benar-benar di luar dugaan.

Fakta bahwa Windy tahu tentang perasaannya memang mengejutkan, tapi bagaimana reaksi Windy menanggapinya, adalah sebenar-benarnya ujian.

Jadi, dia tahu? Tapi memilih untuk tak peduli? Atau justru diam-diam membenci Marcell selama ini karena sudah tahu? Apakah karena perasaan itu, Windy perlahan menjauh?

Kepala Marcell terasa keram. Ia menjambak rambutnya sendiri, berharap pikiran yang menancap di otaknya bisa tercabut. Tapi yang ada, kepalanya justru makin nyeri. Pandangannya beralih ke jam digital di atas meja belajar. Angka putih terang menunjukkan pukul delapan pagi. Di luar sana, matahari mungkin sudah tinggi. Tapi di kamarnya, ia masih merasakan gelap. Bukan cuma karena memang tirai kamarnya yang masih tertutup rapat semua, tapi juga karena pikirannya diselimuti kabut patah hati.

Dengan kepala yang masih terasa pusing dan pandangan yang berkunang, Marcell berusaha mengangkat tubuhnya dari kasur. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong lantai yang kini dipijak kedua kakinya.

Tubuhnya ingin bergerak, ingin menerjang masuk ke rumah Windy dan menuntut jawaban. Tapi pikirannya menahan, memerintahkan untuk berhenti, untuk memikirkan baik-baik langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

Ia tahu, setelah pengakuan itu kemarin, apapun tanggapan Windy, satu hal sudah pasti: hubungan mereka tak akan pernah sama lagi. Entah berubah menjadi canggung, atau justru menjadi kebencian yang perlahan tumbuh. Marcell tak berani menebak, apalagi membayangkan bagaimana sikap Windy nanti, saat mereka harus bertatap muka lagi.


Marcell menggaruk kepalanya, penuh sesal. Andai saja ia tak terburu-buru. Andai ia sempat berpikir panjang, mempertimbangkan segalanya dengan hati-hati seperti biasanya, mungkin semuanya akan terasa lebih ringan sekarang. Mungkin kalau dia tak bertindak impulsif, dan merencanakan semuanya dengan teliti, mungkin Windy akan langsung memberinya jawaban, entah itu penolakan, atau justru mengiyakan.

Tapi semua jadi berantakan karena satu keputusan serampangan yang ia buat kemarin. Salahnya sendiri mengungkapkan perasaan di suasana terlalu emosional, terlalu sentimental dan penuh tekanan Siapa juga yang mendadak menyatakan cinta pada sahabat sendiri di bawah hujan lebat, di tengah sambaran petir, dengan hati yang kalut karena takut kehilangan.

"Arrrgh!" Marcell mengerang frustasi, menunduk dalam. Ia benar-benar tak tahu bagaimana harus menghadapi Windy sekarang.

Cell?” panggil seseorang.

Marcell tersentak, lalu menoleh cepat ke arah suara.

Ibunya berdiri di ambang pintu, entah sejak kapan berdiri di sana, dan entah sudah berapa kali mengetuk sebelum akhirnya membuka pintu.

“Sarapan dulu yuk! Papa mau ngomong sama kamu,” ucapnya lembut, dengan nada yang sedikit memperingatkan.

“Em.” Marcell mengangguk pelan, lalu bangkit dengan enggan. Kepalanya masih berat, tapi tubuhnya bergerak otomatis. Ia melangkah keluar kamar, mengikuti ibunya dari belakang, menuruni tangga ke lantai satu.

Melihat ayahnya sudah duduk di meja makan, perasaan Marcell langsung tak enak. Hubungannya dengan sang ayah memang tak pernah benar-benar bermasalah, tidak ada teriakan, tidak ada amarah yang meledak-ledak. Ayahnya adalah tipe pria tenang, penuh wibawa. Tapi justru karena itu, wibawanya sering terasa menekan. Tipikal orang yang tetap tenang saat menghakimi, tapi tak mau mengakui kalau dia juga bersalah. Orang yang tak bisa didebat karena terlalu logis, tapi juga tak selalu bisa dimaklumi karena selalu memaksa kehendaknya.

Terlebih beberapa waktu terakhir dia makin menunjukkan penekanan. Setiap pembicaraan selalu menyerempet ke kesalahan Marcell yang sudah-sudah, berceramah dengan nada suara rendah dan tatapannya yang seolah pengertian padahal memojokkan. Membahas tentang bagaimana bersikap seperti layaknya pria dewasa, memutuskan sesuatu bukan sebagai remaja. Mungkin karena jarang ada di rumah, jadi sekalinya pulang, semua isi kepalanya tumpah begitu saja. Pikir Marcell. 

“Jadi gimana? Kamu setuju kan buat kuliah di Cina?” tanya Yuto sambil menatap omelet di piringnya.

Ini dia, ini yang paling Marcell benci. Setiap ayahnya bertanya, sebenarnya yang dilontarkan adalah instruksi. Padahal semua sudah pernah dibahas, ia sudah menjawab, bahkan sudah menekankan kalau keputusannya sudah bulat. Tapi kata-katanya seperti tak pernah ada, ayahnya seperti tak pernah mendengar.

Lihat selengkapnya