20 Mei 2014
Berbulan-bulan telah berlalu.
Marcell tak lagi sama.
Keceriaan dan sisi ekstrovert-nya perlahan memudar, lalu lenyap tanpa disadari siapapun. Ia kini lebih sering terdiam, dan tatapan matanya yang dulu selalu bersinar kini kelihatan kosong. Ia selalu menatap lurus ke satu arah yang sama, ke depan, ke tempat dimana biasanya Windy berada. Seolah-olah, ia masih menunggu gadis itu muncul di hadapannya, seperti hari-hari biasanya.
Kadang dia kelihatan menyunggingkan senyum terpaksa, kadang tawanya sekedar basa-basi saja. Ia sebenarnya masih sering terlihat di kantin bersama teman-teman, masih mengikuti kegiatan klub, masih ikut bermain game di warnet dengan Anton. Tapi tatapan kosong di matanya tak pernah benar-benar pergi. Ia benar-benar berbeda. Seperti seseorang yang bukan hanya kehilangan bagian dari dirinya, tapi kehilangan segalanya.
Tujuh belas tahun.
Bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kebersamaan. Bagi Marcell itu berarti seumur hidupnya. Seumur hidup selalu ada Windy di sisinya. Sampai Marcell tahu semua tentang dirinyanya. Terlalu tahu. Saking tahunya dunianya kini benar-benar terlalu sepi tanpa adanya Windy.
Bagi Marcell, Windy bukan sekedar sosok. Ia adalah kebiasaan. Rutinitas. Ia alasan Marcell memulai hari dengan senyuman dan menutup malam dengan harapan. Apa yang dilakukan Marcell dalam sehari, semua tergantung Windy. Saat mata gadis itu terpejam, Marcell akan menatapnya lebih lekat. Saat dia bercerita dengan wajah sedikit lusuh kelelahan, Marcell akan terpana memandanginya. Saat dia menangis sedih, Marcell akan merasakan hatinya terluka. Bagi Marcell, ia adalah segalanya. Sesuatu yang akan selalu ia terima apa adanya, tak peduli bagaimana keadaannya.
Dan sekarang semuanya hilang.
Perpisahan diam-diam yang Windy buat, membuat lubang besar di dalam hati Marcell. Membayangkan Windy memutuskan melanjutkan hidup tanpa dirinya, ia tersesat.
Padahal jalanan ke sekolah masih sama, jalan pulang tak pernah berbeda, bangku di kantin sekolah tak berubah, apalagi sofa di rumahnya, tak bergeser seinci pun dari tempatnya. Tapi bagi Marcell semuanya penuh kekosongan yang tak mampu diisi lagi. Semua berbeda. Hidupnya kini seperti panggung dari pertunjukan yang sudah usai. Dan dirinya, adalah pemain figuran yang ditinggal turun oleh peran utama.
Selama ini, dia mencoba menjalani harinya dengan biasa. Mengerjakan tugasnya, mempersiapkan ujian dan mempersiapkan kuliah dengan seksama. Namun setiap detiknya seakan selalu ada waktu bagi dirinya untuk terjebak dalam kenangan. Membuat dirinya teringat kalau kini tak ada lagi Windy duduk di seberangnya, berebut makanan dengannya, menertawakan lelucon yang hanya mereka yang memahami. Tak akan lagi ada yang memanggil namanya dengan cara khas yang hanya bisa Windy ucapkan. Tak akan ada lagi rutinitas Jumat malam bagi dirinya. Semua terasa kosong. Terasa hilang.
Kehilangan Windy bukan hanya kehilangan cinta, tapi juga kehilangan arah hidupnya yang selama ini ia biarkan berjalan tak menentu. Kini tanpa tujuan ia kebingungan tak tahu ke mana harus melangkah. Karena sosok yang jadi kompas dalam dirinya, memilih pergi meninggalkannya. Marcell kehilangan semangat. Tak tahu bagaimana caranya agar baik-baik saja.
Tapi ternyata bukan hanya Marcell yang merasa kehilangan. Meski tak sebesar yang ia rasa, ada sosok lain yang juga tak mampu menahan kerinduan yang ia rasa.
Hari ini hari kelulusan. Semua orang bersorak, tersenyum dan berfoto bersama dengan teman-teman sekelas. Tapi bagi Devina, ada satu ruang yang kosong di samping tempatnya berdiri. Tempat dimana teman sebangkunya harusnya berada, orang yang memilih pergi sebelum kelulusan itu, meninggalkan luka kesedihan di hatinya.
Windy tak pernah tahu, mungkin tak pernah sempat tahu, bahwa dirinya begitu istimewa di mata Devina. Dia adalah alasan Devina berani percaya lagi, memberi kesempatan, dan membuka hati untuk pertemanan. Karena di dunia yang keras dan seringkali penuh perhitungan, Windy hadir sebagai sosok yang tulus tanpa pamrih. Yang tak pernah menilai seseorang dari seberapa bergunanya mereka, tapi dari bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Ia meninggalkan bekas yang bukan sekedar kenangan, tapi bekas yang tak bisa hilang meski waktu tetap berjalan, bekas yang diam-diam mengubah Devina, menjadi sosok yang lebih terbuka.
Di lapangan sekolah yang riuh ini, mata Devina tertuju pada Marcell.
Ada rasa kebersamaan yang ia rasakan, ada rasa kosong yang mereka bagi. Ada kesenduan dan kerinduan yang sama. Mereka dipisahkan jarak, tapi disatukan perasaan. Perasaan yang tak bisa dibagikan dengan siapapun disini, karena selain mereka, tak ada yang bisa memahami.
Kepala Marcell bergerak perlahan. Menyapukan sorot matanya yang hampa ke sekeliling lapangan. Tampak berusaha mengisi pikirannya dengan suatu hal lain. Hingga akhirnya matanya bertemu dengan Devina. Ia menangkap pancaran mata suram gadis itu saat melihat ke arahnya. Sarat dengan ucapan yang tertahan, kata-kata yang disembunyikan, dan kelelahan dalam menahan sendirian.