Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #25

25. Yang Kembali, Tanpa Diduga

7 Agustus 2015


Seorang pria menggunakan topi baseball berwarna biru dongker, celana gombrong hitam dengan hoodie putih bertuliskan Yankees dan logo khas NY di bagian atas kanannya, melambai di depan bioskop. Senyumnya sama seperti biasa, senyum ramah dan hangat dengan tatapan teduh penuh perhatian. Tak peduli berapa lama tak jumpa, setiap kali bertemu lagi, dia akan selalu sama, bersikap lemah lembut dan menyejukkan.

Windy membalas lambaian tangan dan mempercepat langkah kakinya. Mengenakan kemeja flanel oversized, celana kulot krem dan tas selempang, ia akhirnya sampai di hadapan Michael, sambil tersenyum lebar.

Menatap Windy dari dekat senyuman Michael langsung berubah menjadi tatapan sendu yang tak bisa ia tahan. Kedua alis turun dan mulut mengerucut khawatir. Ia mengulurkan tangannya dan membelai rambut Windy lembut, “Capek banget pasti ya?” gumamnya penuh hati-hati.

Windy menggeleng dengan sorot mata cerah. “Nggak kok, Kak!” jawabnya, berusaha membuat Michael berhenti mengasihaninya namun gagal, pria di hadapannya ini masih saja menyisipkan tanya lewat tatapan matanya, meski mulutnya tak lagi bicara.

Ekspresi Michael membuat Windy tertawa pelan, ia mengalungkan tangannya di lengan Michael, dan menggerakkan tubuh pria ini.

“Ayo, nanti filmnya keburu mulai!” Tuntunnya berjalan ke dalam bioskop. “Tiketnya udah beli, kan?” tanya Windy setelah mereka melewati petugas penjaga di ambang pintu.

“Kali ini kan Kak Michael yang giliran beli," tambahnya, pura-pura cemberut.

Michael merespon dengan wajah kaget yang mengada-ada, seolah lupa membeli tiket yang Windy maksud, kemudian tersenyum dan mengeluarkan dua tiket dari saku hoodie-nya. “Udah dong!” ucapnya kemudian, lalu menyerahkan satu tiket ke Windy.

Keduanya kemudian masuk ke dalam studio yang kursinya setengah penuh di tempati. Tampaknya banyak orang yang berminat dengan film pilihan Michael ini, Fantastic Four. Tapi wajar saja, cerita super hero memang selalu punya tempat di hati penikmat layar lebar. Bisa dibilang tontonan yang aman untuk ekspektasi, serta seru untuk diberi opini.

Mereka duduk di barisan tengah, di posisi paling pas untuk menatap layar. Tempat yang sudah jadi langganan mereka melakukan rutinitas rahasia. Rutinitas yang sengaja Michael ciptakan, hanya agar mereka masih punya alasan untuk bertemu, meski sebenarnya menyapa di chat saja mereka sudah sangat jarang.

Saat hubungan mereka berakhir Michael mengatakan mereka harus tetap berkomunikasi dan sesekali menonton film. Alasannya sederhana, karena film adalah hal yang sama-sama mereka sukai, hal yang menghubungkan mereka pada awalnya, dan selalu menjadi topik inti dari setiap obrolan panjang yang mereka punya.

Perkataan yang keluar dari mulut Michael itu bukan hanya omong basa-basi belaka, begitu pria ini mengucap, dia akan menepatinya, seakan semua sudah ditulis dalam peraturan dan mendapat hukuman jika melanggarnya. Padahal tak ada juga yang akan menuntutnya jika tidak melakukan, tapi bagi Michael, pria harus bisa dipegang ucapannya.

Maka tak peduli berapa lama mereka tak berkomunikasi, berapa bulan mereka tak bertemu sama sekali, Michael akan tetap dengan rendah hati menghubungi Windy lebih dulu untuk mengajaknya nonton film bersama seperti hari ini. Jumat malam biasa, di sela-sela hari mereka yang melelahkan karena banyaknya kegiatan.

Agar perasaan Windy tak terlalu berat menerima ajakannya, Michael membuat permainan bergantian membayar tiket di setiap pertemuan. Permainan ini salah satu penyebab rutinitas mereka tetap bertahan sampai saat ini, karena merasa harus membayar, merasa punya hutang pada satu sama lain, mau tak mau mereka akan terus melakukannya. Merasa tak enak hati setiap tiba gilirannya, jadi meskipun sibuk dan hampir tak punya waktu, keduanya akan tetap menyempatkan diri untuk pertemuan yang kadang tak sampai tiga jam ini.

Meski tak pernah mengungkapkan terang-terangan, Windy mengakui. Sampai detik ini Michael tetap terlihat sebagai pria yang baik dan sempurna. Ia pintar memberi perhatian tanpa terasa membebani. Ia memberikan kasih sayang tanpa pamrih. Sampai-sampai di dalam hati Windy selalu berharap, kalau saja dirinya bisa benar-benar jatuh cinta dengan pria ini, mungkin hidupnya akan lebih mudah. Sayangnya dia sendiri yang tahu, hati tak bisa dipaksa, tak peduli berapa kali mencoba.


Seusai menonton film mereka langsung melanjutkan ke rutinitas kedua, makan malam di restoran sekitar. Dan untuk yang satu ini pun peraturannya tetap sama, mereka harus memilih tempat dan mentraktir bergantian. Kisaran biayanya pun ditentukan, agar tak ada yang merasa keberatan. Entah apa yang dimakan cowok ini waktu masih MPASI, Windy merasa seumur hidupnya pun tak akan mampu melampaui kemampuan Michael dalam mengelola perasaan orang lain.

Keduanya duduk berhadapan di restoran paling dekat dengan bioskop, yang sebenarnya Windy pilih asal, cuma karena dirinya sudah lapar.

Mereka kebagian meja paling luar, di sebelah mereka langsung ada orang yang berlalu-lalang ke arah bioskop. Setelah memesan makanan dan membayar tagihan, keduanya duduk berhadapan. Tak pernah ada kecanggungan dalam awal perbincangan, karena Michael sangat pintar memulai percakapan.

“Jadi gimana, ada berita spesial apa hari ini?” tanyanya, selalu memulai obrolan mereka dengan cara unik ini.

Ia sangat paham karakter Windy, yang suka menutupi segala lelah dan penatnya dengan senyuman. Bukannya tak mau berbagi, dia sudah cukup lelah melewati harinya, jadi kalau diceritakan lagi, akan menambah rasa lelahnya. Jadi Michael memilih cara, yang bisa membuat Windy memikirkan hal yang paling membuatnya bahagia, agar mulutnya terbuka untuk menceritakan.

Windy tersenyum lebar seperti biasa. Ia langsung tahu berita baik apa yang perlu ia bagikan.

“Aku udah dapet tempat praktek!” ucapnya sumringah. “Yaaaaay!” serunya riang sambil menggenggam kedua tangan Michael, dan mengayun-ayunkannya di udara.

Lihat selengkapnya