Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #26

26. Berpisah Tanpa Hilang

26 Juni 2015


Jika Windy adalah segalanya bagi Marcell, poros semesta, alasan setiap langkah dan napas, maka kehilangan dirinya adalah kehilangan arah. Tanpanya, hidup terasa pincang, hari-hari sunyi tanpa makna, dan esok seperti tak punya alasan untuk disambut. Maka pertanyaannya: bagaimana mungkin ia mampu melewati lebih dari satu tahun tanpa Windy? Bagaimana ia tetap berdiri, kuliah, menjalani hidup seolah semuanya baik-baik saja?

Jawabannya satu: karena Windy belum benar-benar hilang.


Empat bulan pertama, pikirannya masih kalut, perasaannya tercerai-berai ke segala arah. Antara amarah yang tertuju pada ibunya sendiri yang bersikukuh menyimpan rahasia, kebingungan terhadap perasaan Windy yang tak pernah jelas, dan beban berat menghadapi ujian akhir nasional dalam kondisi jiwa yang carut-marut.

Marcell memang sempat tersesat dalam labirin batinnya, namun ia tak tenggelam. Ia bertahan, walau tertatih, ia mengambil waktu rehat, bukan untuk menyerah, melainkan sebagai jeda sebelum bersiap melangkah maju.

Dan ketika akhirnya Devina mengungkap rahasia, menjelaskan semuanya, tentang latar belakang keputusan Windy, tentang perasaannya yang tersembunyi, Marcell mulai memahami. Rasa sakit itu tetap ada, tapi kelegaan perlahan mengisi rongga dadanya. Setidaknya ia tahu alasannya. Setidaknya kini ia bisa bergerak, terbebas dari jerat keraguan yang selama ini membelenggu.

Ia mulai mengamati, menimbang, lalu menyusun langkah. Setelah kelulusan, pikirannya lebih lapang, waktunya tak lagi sepadat sebelumnya, dan fokusnya kembali pada satu hal terpenting: Windy.

Dalam jeda antara kelulusan dan awal masa kuliah, Marcell mengubah dirinya menjadi penyelidik senyap. Diam-diam, penuh harapan, dan tak sedikit pun menyerah.

Dari pengamatan yang ia kumpulkan, ia mendapat beberapa poin kesimpulan: ibunya masih menjalin komunikasi rutin dengan Tante Melanie; hanya nomor Windy yang lenyap dari jaringan, sementara anggota keluarganya yang lain masih aktif, meski tak satupun menjawab teleponnya. Ia juga mulai menyadari, keluarga Windy kemungkinan besar kini menetap di luar kota, tapi bukan tempat asing.


Devina pernah bilang, mereka bertemu saat liburan kenaikan kelas. Dari potongan informasi itu, Marcell menarik benang merah, kemungkinan besar Windy ada di Sukabumi, di rumah pamannya, Om Chandra. Namun masalahnya, Marcell tak tahu alamatnya. Dan ia tahu pasti, bertanya pada ibunya takkan menghasilkan apa-apa, hanya akan berakhir dengan kekecewaan yang sama.

Rumah lama Windy sudah diisi, penghuni barunya adalah pasangan suami istri yang anaknya masih balita. Mereka ramah tapi juga tertutup. Setiap pagi Marcell lewat untuk jogging keliling komplek, mengamati keluarga itu. Suaminya berangkat kerja pukul tujuh, dan istrinya seharian diam di dalam bersama anaknya. Tak ada kesempatan bagi Marcell untuk basa-basi mencari informasi, kalau dia sambangi langsung ke rumahnya, ibunya pasti curiga. Marcell tahu ibunya memang menutup-nutupi, entah karena permintaan Tante Melanie atau alasan lain.

Setelah pengamatan selesai, Marcell lanjut ke tahapan selanjutnya.

Ia membeli sebuah mainan dari ecommerce atas nama Willy, menggunakan alamat rumah lama Windy sebagai tujuan pengirimannya. Bukan tanpa alasan dia memilih menggunakan nama Willy. Menurut perhitungan dan perkiraannya, kalau atas nama Tante Melanie, Om Wilbert, atau Windy, paket itu tak akan pernah sampai ke mereka. Saat dihubungi ada paket, oleh siapapun nanti, mereka akan meminta langsung buka saja dan mengabaikan pasti isinya, tak ada keinginan untuk mengambil, apalagi minta diantar ke alamat sekarang.

Tapi kalau pakai nama Willy, anak itu pasti bersikeras ingin melihat barangnya, ia ingin memilikinya, dan seluruh keluarga akan terdorong untuk mengecek barang itu. Jadi hampir pasti, barang itu akan sampai ke tujuan. Rumah yang Marcell sedang cari-cari alamatnya.

Setiap pagi Marcell memulai hari dengan mengecek proses pengiriman paket rahasia itu. Ia tak akan berada jauh dari rumah, dan ketika status paket dalam pengantaran, dia standby di dalam kamar, melihat dari jendela, ke halaman rumah sebelah.

Empat hari setelah dipesan, paket itu sampai. Di balik jendela Marcell menonton, tetangganya kelihatan bingung saat berbicara dengan kurir. Agak lama menimbang-nimbang, sampai akhirnya, meski masih tak terlalu yakin, nampaknya dia paham siapa itu Willy, jadi setelah menerima paket, Marcell lihat dia langsung bergerak ke arah rumahnya. Dan memang itu yang Marcell tunggu-tunggu. Ia sudah duga, tetangganya itu pasti akan memberikan paket itu ke ibunya. Satu-satunya orang yang langsung bisa ditanyakan tentang keluarga Windy, di komplek perumahan ini.

Marcell langsung mengendap-endap keluar kamar, langkahnya ringan seperti bayangan. Ia mengintip dari balik tangga, memperhatikan ibunya yang tengah menerima sebuah paket dengan raut wajah heran.

Ibunya lalu meletakkan kardus itu di meja makan, kemudian duduk diam beberapa saat sebelum jemarinya sibuk menari di layar ponsel. Wajahnya serius, tak seperti biasanya.

Marcell menahan nafas, memasang telinga lebar-lebar, mendengarkan ibunya yang kedengaran menelpon seseorang, menceritakan tentang paket yang ia terima dengan suara serupa bisikan.

Dari potongan pembicaraan yang berhasil ia tangkap, sepertinya ibunya memang ada rencana untuk pergi sore itu. Jadi dia menawarkan pertemuan dengan seseorang di seberang saluran telepon.

Marcell sempat bingung. Hari sudah menjelang senja, mustahil ibunya mendadak ke Sukabumi hanya untuk mengantar paket ke Willy. Awalnya ia kira, paket itu akan kembali dikirim lewat kurir, dan itu akan membuka kesempatan baginya untuk menyusup alamat tujuan. Tapi rupanya, bukan itu yang terjadi.

Ibunya benar-benar bersiap. Ia masuk ke kamar, tampak akan berganti pakaian.

Tanpa pikir panjang, Marcell langsung bergerak.

“Ma, aku mau ke rumah Anton!” izinnya dari depan pintu kamar ibunya yang tertutup. Kemudian buru-buru memesan taksi online dan meninggalkan rumah lebih dulu.

Lihat selengkapnya