Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #27

27. Yang Kembali Menuntut Jawaban

7 Agustus 2015


Kenapa Marcell ada di sini?

Mata Windy membelalak. Mulutnya sempat terbuka, lalu tertutup lagi. Ia memandang Marcell, lalu cepat-cepat berpaling ke arah lain, ulang lagi, terus begitu berkali-kali, seperti berpikir sosok di hadapannya akan lenyap jika tak dilihat langsung.

Kelopak matanya berkedip-kedip gelisah, dan bibirnya megap-megap seperti ikan kebingungan di dalam akuarium.

Di depannya, Marcell duduk diam. Ekspresinya datar, nyaris beku. Tatapannya tajam, tak bergeser sedikit pun dari wajah Windy.

Kehadiran Marcell yang tiba-tiba ini membuat Windy terlalu terkejut. Saking terkejutnya, ia bahkan lupa cara bernapas dengan benar. Perlahan, dimsum yang masih bersarang di mulutnya ditelan bulat-bulat. Lehernya menegang, wajahnya mengeras. Dan sesaat kemudian, nafas singkat terdorong keluar lewat mulut dengan hentakan kasar.

“Lu…” katanya akhirnya, suara serak.. “Ngapain lu di sini?” tanyanya, terbata-bata seperti baru belajar bicara.

Marcell masih bergeming. Mulutnya tertutup rapat, tapi tatapannya seperti melontarkan ribuan kata.

Ketegangan yang hadir di antara mereka membuat Windy benar-benar tak bisa bernafas nyaman.

Tiba-tiba ia teringat Michael. Kemana cowok itu? Refleks, tangannya menyusup ke saku celana, menarik ponsel, menunduk dan mulai menelusuri layar.

“Nggak usah hubungi Michael,” suara Marcell memotong tajam. Tegas. Itu pertama kalinya dia membuka mulut.

Windy terperanjat. Kepalanya terangkat cepat, mata membulat kaget. “Ha?” serunya, nyaris tak percaya pada yang baru saja ia dengar. Matanya menajam, menyipit, ingin melawan, tapi ekspresi Marcell membuatnya ciut.

Atau mungkin sebenarnya bukan karena ekspresi Marcell, tapi karena dia memang merasa punya salah, makanya ketakutan sendiri. Jadi meskipun cowok ini menyunggingkan senyum, mungkin Windy akan lebih takut lagi.


“Lu…” Marcell kembali bersuara, nada suaranya berat, penuh luka yang belum sembuh.

Windy menelan ludah. Rahangnya mengatup kencang. Ia merasa tubuhnya mematung siaga.

“Gak ada yang mau lu sampein ke gue?” tanya Marcell, pelan namun menggigit.

Windy membuka mulut. Bibirnya bergetar, suara yang keluar pun nyaris tak terdengar, “A-a-paan…?”

Bahunya terangkat tinggi sebelum turun lagi perlahan. Sekilas, terlihat jelas ia juga sedang berjuang untuk mengeluarkan isi pikirannya. Rumit, sama seperti yang Windy miliki.

Setelah sejak datang hanya menatap Windy, matanya kini mulai bergerak. Menatap ke gelas kopi susu dingin pesanan Michael di meja. Tanpa banyak pikir, tangannya terulur, mengambil gelas itu, dan langsung menenggak isinya.

“CELL!” jerit Windy spontan, tangannya reflek terulur. “Lu kan gak bisa minum susu…” ucapnya terlambat, kata-katanya tenggelam. Cowok ini sudah menenggak setengah gelas, padahal sejak kecil punya lactose intolerance yang cukup parah. Bahkan susu sedikit saja bisa membuat perutnya kacau.

Orang yang dikhawatirkan malah kelihatan tak peduli. Matanya kembali menatap Windy, menunjukkan kalau dirinya sedang frustasi. Mulutnya mengunyah cepat es batu, hingga menghasilkan suara gemeretak tajam yang memecah keheningan di antara mereka.

Windy bergidik ngeri, badannya menegang mendengar suara keras itu, ngilu, seolah giginya sendiri yang hampir retak.

“Lu beneran, gak mau ngomong apa-apa ke gue?” tanya Marcell lagi, setelah es batu di mulutnya habis ditelan.

Windy terdiam sejenak. Ia lalu memaksa bibirnya tersenyum canggung, coba mengulur waktu sebelum mengeluarkan kata-kata. “H-Hai!” Sambil mengangkat tangan dengan gerakan kaku. “Gimana kabar lu?” lanjutnya, mencoba ringan dan santai, padahal sadar sedang mempermalukan diri sendiri.

Lagi-lagi Marcell menghembuskan nafas panjang. Kali ini wajahnya merah seperti kepiting rebus. Jelas sedang menahan emosi.

Windy tahu. Ia mengenal Marcell sangat lama. Dua detik lagi, jika ia tidak melakukan sesuatu, cowok itu bisa hilang kendali dan entah akan menyerangnya dengan pertanyaan apa.

SORRY!” pekik Windy buru-buru, menghentikan ledakan yang akan muncul. Suaranya melengking, nyaris seperti panik.

Sorry pergi nggak bilang-bilang,” lanjutnya lebih pelan, menunduk dalam-dalam penuh penyesalan.

Marcell menyipitkan mata, tak langsung merespons. Wajahnya mengeras, lalu alis kirinya naik perlahan. “Itu doang?” tanggapnya dingin.

“Terus… jawaban lu apa?”

Windy mengangkat tatapannya, membelalak kaget.

Lihat selengkapnya