19 Agustus 2015
Nanti. Kata itu sering kali hanya kedok. Bila seseorang mengucapkannya, bisa jadi maksudnya: tak akan pernah terjadi sampai mati.
Dan jika yang mengucapkannya adalah Windy, Marcell tahu betul itu artinya: kabur lagi.
Karena itu, sejak awal ia tidak percaya. Ia terlalu paham bagaimana cara Windy bertahan, lebih banyak memilih menjauh, menyembunyikan luka di balik kalimat tunda. Marcell sudah jauh lebih memahami gadis ini. Meski dulu sempat ada hal-hal yang terlewat, cukup untuk membuatnya melakukan hal bodoh dan kehilangan kesempatan, kini Marcell telah berubah. Ia lebih waspada, lebih tajam. Bukan hanya mengamati Windy, tapi juga setiap detail di sekelilingnya. Tak ada yang ia anggap remeh, tak ada yang boleh luput. Karena kali ini, ia tak mau mengulang kesalahan yang sama.
Kata-kata "nanti" dari Windy menjadi cambuk yang membuat Marcell menjelma layaknya hantu gentayangan. Esok harinya, setelah pertemuan yang diatur Michael, ia sudah berdiri di depan kosan Windy. Lusa, ia muncul di kampus. Lalu di tempat kerja Windy. Di tempat kerja paruh waktunya. Dan tiba-tiba terlihat di rumah sakit tempat gadis itu praktik. Ia benar-benar muncul dimana-mana. Tak peduli seberapa dingin sikap Windy mengacuhkannya, tak menggubris kata-kata tajam yang gadis itu ucap untuk mengusirnya. Ia kebal terhadap malu, mati rasa terhadap pandangan orang-orang.
Kini, ia duduk di depan salah satu ruang fisioterapi rumah sakit, menunggu namanya dipanggil. Meski alasannya ke sini lebih karena ingin menghantui Windy, kunjungannya tak sepenuhnya dusta. Terlalu sering mengangkat kamera berat membuat pergelangan tangannya bermasalah. Ia pernah menjalani pengobatan untuk carpal tunnel syndrome, dan meski secara medis telah dinyatakan pulih, tak ada salahnya terapi lanjutan. Untuk menyempurnakan fungsinya kembali. Sekalian, menyempurnakan niatnya mendekat lagi pada Windy. Sekali mendayung, dua tujuan terlampaui.
Windy keluar dari ruang terapi, ditemani seorang perempuan yang langsung tertawa kecil saat melihat Marcell. “Itu si Marcell?” bisiknya—yang jelas-jelas tak bisa disebut pelan. Suaranya terdengar oleh siapa pun yang berdiri di radius beberapa meter.
Marcell bangkit dari kursinya, menghampiri. Matanya cepat menangkap nama di tanda pengenal perempuan itu: Hannah. Oh, tentu, dia ingat. Kakak sepupu Windy, lima tahun lebih tua, yang dulu beberapa kali menginap di rumah Windy saat mereka masih kecil.
“Halo, Kak!” sapa Marcell dengan gaya sok akrab. Windy langsung mengernyit geli melihat tingkah Marcell yang mendadak jadi ramah ke sepupunya.
Hannah mengangguk sambil menahan tawa. Entah apa yang melintas di benaknya, Marcell tampak seperti badut yang mencoba serius? Atau mungkin, gara-gara cerita Windy, dia sudah punya bayangan yang lucu soal Marcell?
“Ayo, masuk!” potong Windy dengan nada ketus, mengingatkan bahwa sudah giliran Marcell untuk diperiksa.
“Sama kamu aja,” celetuk Hannah, melirik ke Windy.
Windy mengerjap. “Sendirian?” tanyanya memastikan. Ia baru mulai praktek, dan seharusnya masih didampingi oleh senior.
Hannah hanya mengedikkan dagu ke arah Marcell, tapi pandangannya tetap tertuju pada Windy. “Orangnya juga gak kenapa-napa,” katanya santai. Sekilas saja dia tahu, Marcell bukan datang untuk terapi, tapi untuk Windy. Pagi tadi Windy sudah sempat mengeluh, menceritakan bagaimana cowok ini muncul di mana-mana, bertanya dengan pertanyaan yang sama, tak pernah berhenti sampai dia memberikan jawaban.
Ya, Hannah geli sendiri melihatnya. Terakhir kali melihat Marcell, bocah itu masih berseragam SMP. Sekarang, tahu-tahu muncul sebagai pria dewasa yang terang-terangan mengejar sahabatnya sendiri.
Meski setengah hati dan penuh keraguan, Windy tak bisa menolak. Hannah sudah waktunya istirahat, dan benar juga, Marcell terlihat baik-baik saja. Jadi, dengan nafas yang ia tahan diam-diam, ia membukakan pintu ruang terapi.
“Silakan masuk,” ucapnya datar, mencoba memperlakukan Marcell seperti pasien biasa. Meski seisi dadanya berkata lain. Jantungnya mulai berdegup kencang karena gugup yang menyergap.
Sambil cengar-cengir tak jelas, Marcell duduk di salah satu bangku dekat pintu. Windy berdiri di hadapannya, memegang lembaran riwayat kesehatan sambil memulai sesi terapi. Ia bertanya formal, menanyakan gejala yang dialami dan kondisi Marcell saat ini. Marcell menjawab singkat, namun matanya tak berhenti mengikuti setiap gerak Windy—pandangan yang nyaris tak berkedip, seolah takut kehilangan satu detik pun.
Windy kelihatan berusaha keras menjaga sikapnya tetap profesional. Ia mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Marcell dengan hati-hati, matanya mengamati sendi dan otot Marcell, bersiap untuk memulai latihan peregangan dan penguatan.
Tapi di saat itu juga, kepala Marcell justru dipenuhi oleh satu dorongan impulsif yang terlalu cepat untuk ditolak. Tanpa aba-aba, ia menggenggam tangan Windy lebih erat, lalu menariknya dalam satu gerakan cepat. Tubuh Windy limbung ke samping, kehilangan keseimbangan, Marcell, yang sudah memperhitungkan semuanya, dengan cekatan merangkul pinggang gadis itu. Dalam hitungan detik, Windy sudah duduk di pangkuannya.
Wajah Windy langsung memerah hebat. Matanya membelalak seperti tak percaya apa yang baru saja terjadi. “Lu gila ya?” hardiknya langsung berdiri dan mundur beberapa langkah, seakan Marcell adalah sumber dari penyakit yang baru mewabah. Kemudian celingukan takut ada yang menyaksikan kejadian tadi.
Sementara Marcell, alih-alih menyesal, justru menahan tawa. Ia tahu ini gila, tahu Windy pasti marah, tapi ekspresi panik dan malu itu terlalu lucu baginya.
Marcell memang tidak berniat mempermalukan Windy. Sebelum bertindak, ia sudah memastikan ruangan cukup sepi. Tak ada orang lain yang bisa melihat, tak akan ada yang menyebarkan kabar, tak akan ada yang menodai reputasi gadis itu sebagai mahasiswa praktik. Ia mungkin iseng, tapi masih tahu batas. Dan pada titik ini, di balik sikap jahil dan tatapan santainya, ada perasaan yang sejak lama tak bisa dikendalikan, perasaan yang selalu muncul setiap kali Windy ada di dekatnya.