Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #29

29. Di Bawah Langit yang Sama

22 Agustus 2015


Lagi-lagi Marcell muncul.

Tenaga cowok itu seperti tak ada habis-habisnya. Windy tahu, setiap menghilang dari pandangan, Marcell pasti kembali ke kampus, ikut kuliah, rapat, atau entah kegiatan apa lagi. Tapi anehnya, seperti punya peta eksklusif, dia selalu tahu kemana Windy berada. Dan yang lebih membingungkan, dia selalu muncul di waktu yang tepat, seperti seluruh waktu dalam hidupnya sudah disinkronkan dengan ritme Windy.

Seperti sore ini.

Windy baru saja menyeka keringat dari pelipisnya ketika mendongak dan melihat sosok yang tak asing itu berdiri di luar kios ayam bakar. Tempat usaha milik teman satu angkatannya di kampus, tempat Windy biasa membantu saat akhir pekan.

Marcell berdiri santai, jam lima sore tepat, satu jam sebelum kios tutup. Mengenakan jaket baseball hijau dan celana jeans gombrong, dia bersandar di batang pohon angsana. Di tangannya, sekuntum mawar merah muda tampak mencolok di antara keramaian orang lalu-lalang. Ia tidak menyatakan kedatangannya, tak memanggil Windy untuk melihat ke arahnya.

Tapi Windy bisa merasakan, betapa pun dia ingin bersikap dingin, setiap kali Marcell hadir, detak jantungnya tak bisa berbohong.

Ada sesuatu yang tak bisa dikendalikan tiap kali cowok itu muncul, semacam gelora halus yang membuatnya ingin tersenyum, tapi selalu buru-buru dia tepis, memasang wajah datar dan bahu yang sengaja dibuat kaku.

Meski Marcell selalu tampak santai, seperti semua ini hanya bagian dari rutinitas hariannya, Windy justru merasa resah. Matanya terus saja melirik ke luar kios, menjulurkan kepala sedikit-sedikit, mengecek keadaan Marcell seperti orang yang tak tenang. Seolah ingin memastikan cowok itu masih di sana, dan sekaligus berharap dia segera pergi, agar rasa gugupnya bisa reda.

Selama ini, mungkin dia terlihat kesal dengan sikap Marcell yang tiba-tiba jadi clingy, muncul di mana-mana seperti bayangan yang setia mengikuti cahaya. Padahal sebenarnya dia senang, sekaligus bingung. Ada perasaan tak percaya diri yang menyelimuti di balik senyuman yang ia sembunyikan. Sebuah pikiran yang tak jauh-jauh, berasal dari rasa rendah dirinya.

Pantaskah dirinya menerima perlakuan istimewa dari Marcell?

Lagi pula, cowok itu bukan tipe yang punya banyak waktu luang. Windy tahu betul betapa sibuknya dia, kuliah, kegiatan organisasi, tugas, belum lagi urusan rumah. Tapi anehnya, Marcell selalu punya waktu. Selalu bisa hadir.

Kalau sampai dia sakit, bagaimana?

Kekhawatiran itu menumpuk dalam dada Windy. Tapi gengsi membuatnya bungkam. Jadi ia tak pernah mengatakannya, tak pernah menegur lebih dari sekadar omelan ringan. Ia hanya diam-diam mempercepat pekerjaan, bergegas menyelesaikan semua tugasnya, lalu pulang secepat yang ia bisa, dengan tujuan agar Marcell tak perlu menunggu terlalu lama, dan bisa segera beristirahat juga.

Windy langsung merengut. “Bukan cowok gue!” bantahnya cepat, terlalu cepat.

Ranti, yang sedang mengelap permukaan meja, hanya terkekeh pelan. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya menyipit penuh selidik. “Temen lu, yang lu suka dari dulu, terus dia juga suka sama lu itu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda. “Itu mah namanya cowok lu, Wind,” ujarnya sambil terkekeh puas, lalu kembali sibuk dengan kain lap di tangannya.

Windy tak menjawab. Ia hanya diam, menunduk sedikit sambil pura-pura melipat kanebo di tangannya. Tak bisa dipungkiri, ucapan Ranti ada benarnya. Kalau saja waktu itu dia punya keberanian menjawab pernyataan cinta Marcell, hubungan mereka mungkin sudah jelas sejak lama. Tapi dia memilih bungkam. Dan sekarang, Marcell terus-menerus hadir dalam hidupnya, seolah meminta jawaban yang belum sempat terucap.

Mata Windy refleks kembali memandangi Marcell yang masih berdiri di tempatnya. Dan saat tatapan mereka akhirnya bertemu, cowok itu tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan dengan ceria.

Windy tersentak kecil. Malu karena ketahuan sedang memperhatikannya, ia buru-buru menunduk dan berpaling ke arah lain. Tangannya bergerak cepat mengelap meja yang sebenarnya sudah bersih dari tadi. Di seberangnya, Ranti menonton dengan senyum penuh arti, lalu tertawa kecil sambil menggeleng pelan.

“Udah deh, terima aja,” gumam Ranti, nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat pipi Windy memanas.


Windy menyapu pandangan ke sekeliling kios, semua meja sudah bersih, semua peralatan sudah beres. Ia menoleh ke Ranti dan berkata, “Gue balik ya!”

Ranti hanya mengangguk sambil tersenyum penuh arti, tak perlu berkata apa-apa lagi.

Dengan cepat Windy membuka apron yang ia pakai, melipatnya rapi, lalu menyimpannya di lemari penyimpanan. Ia mengambil tasnya dari tempat yang sama dan menyampirkannya ke bahu. Sambil berjalan keluar, tangannya merapikan rambutnya yang diikat seadanya agar terlihat lebih rapi.

Begitu keluar dari kios, langkahnya panjang-panjang, penuh dorongan untuk segera pergi dari situ.

“Ngapain sih lu nggak pulang-pulang?” serunya begitu melewati Marcell, tanpa memperlambat langkah sedikit pun. Ia langsung berjalan ke arah luar gang, tak menoleh lagi.

Marcell buru-buru menyusul. Dengan gerakan refleks yang sudah seperti kebiasaan, ia meraih tali tas Windy dan memindahkannya ke bahunya sendiri. Bunga mawar merah muda yang tadi ia bawa, kini diselipkannya ke kantong samping tas Windy tanpa berkata-kata.

“Udah makan belum? Makan dulu yuk,” ajak Marcell ringan sambil melangkah setengah langkah di belakang Windy, mengikuti ritme jalan yang sudah familiar baginya. Gaya ini persis seperti dulu, ketika mereka masih sering pulang sekolah bareng. Marcell selalu selangkah di belakang, dengan posisi dan jarak yang sama. Seolah waktu tak benar-benar mengubah apa pun.

“Nggak laper,” sahut Windy ketus. Padahal dalam hati, ia ingin cepat sampai ke kosan. Bukan karena tak ingin makan, tapi karena ingin Marcell segera pulang dan beristirahat. Cowok itu pasti capek.

“Tapi gue laper!” seru Marcell, menghentikan langkahnya tiba-tiba di ujung gang.

Windy ikut berhenti, menengok cepat ke belakang, lalu menghampirinya. “Lu aja yang makan!” ucapnya, sambil merampas tasnya dari bahu Marcell dengan kasar. “Lagian siapa suruh si ngikutin gue mulu begini?” kesalnya, lalu berbalik menjauh.

Marcell masih berdiri di tempat, wajahnya menekuk, bibirnya cemberut. “Ya udah, makanya jawab!” serunya, seperti anak kecil yang sedang merajuk. “GUE SUKA SAMA LU! SUKA SAMA LU DARI DULU! JADI JAWABAN LU APA?” teriaknya lantang, tanpa ingat malu.

Mata Windy membelalak, tubuhnya membeku. Perlahan, ia memutar tubuh bagian atasnya, menatap Marcell dengan ekspresi tak percaya. “Lu... gila?” ucapnya pelan, tak percaya cowok itu benar-benar melakukan hal sebodoh ini.


Lihat selengkapnya