Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #30

30. Melepas Luka dalam Pelukan

23 Agustus 2015


Mata Windy terbuka perlahan. Kelopaknya mengerjap pelan, seperti masih berada di ambang antara mimpi dan kenyataan. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Ia memejamkan mata lagi, lalu menggeliat, meregangkan badan dari ujung tangan hingga kaki. Seluruh tubuhnya terasa kaku, seperti tak bergerak sama sekali selama tidur. Memang seperti itulah dirinya saat kelelahan, terlelap begitu dalam, tanpa berpindah sedikit pun.

Ia membuka mata lagi, berkedip lambat beberapa kali. Pandangannya masih samar, tapi dari sela-sela rambut berantakan yang menutupi sebagian wajah, ia mulai bisa melihat sosok Marcell.

Wajahnya ada tepat di hadapan Windy, dalam posisi miring yang sama. Hanya kepalanya yang berada di atas kasur, sementara tubuhnya duduk di lantai. Jarak mereka begitu dekat, hingga Windy bisa melihat bayangan wajahnya sendiri di mata Marcell. Mata coklat itu tampak sangat terang, memantulkan cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela kamar.

Beberapa detik berlalu dalam diam. Windy terpaku, larut dalam pandangan itu. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum kecil. Ini mimpi yang indah, ia ingin menikmatinya sedikit lebih lama.

Marcell ikut tersenyum. Bibirnya bergerak pelan. “Udah pagi, Nyonya,” ucapnya ringan.

Dia bersuara. Dalam mimpi dia bersuara?

Mata Windy langsung terbuka lebar. Ia mengedip cepat beberapa kali, mulai tersadar dan di hadapannya, Marcell masih di sana.

“Bangun!” ucap Marcell, kali ini dengan suara lebih jelas.

Refleks, tangan Windy terangkat dan mendarat di pipi Marcell. Cukup keras.

“Au! Sakit tau!” erang Marcell kaget.

Windy buru-buru duduk, wajahnya panik. Tanpa pikir panjang, ia langsung membekap mulut Marcell, takut suaranya terdengar ke luar kamar. Kesadarannya kini pulih sepenuhnya. Ia langsung teringat—semalam Tante Donita memaksanya menginap, dan akhirnya ia tidur di kamar tamu.


Sekarang matahari sudah tinggi, dan Marcell jelas datang untuk membangunkannya. Ia tahu itu masuk akal, tapi tetap saja, ada yang terasa salah. Mereka bukan sahabat lagi. Ada status baru, dan rasa canggung itu muncul begitu saja. Apalagi jika Tante Donita sampai melihat mereka dalam situasi seperti ini, bisa-bisa disangka yang tidak-tidak.

Marcell melotot, wajahnya mulai memerah karena kesulitan bernapas. Windy membelalak panik, ternyata bukan cuma mulut Marcell yang ia dekap, hidungnya juga.

“Sorry!” bisik Windy, buru-buru menurunkan tangannya.

Marcell menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengisi paru-parunya yang sempat kosong beberapa saat. “Kenapa sih!” gerutunya sambil memegangi pipinya. “Kenapa gue ditabok?!”

“Ya, elu ngapain deket-deket begitu!” balas Windy, masih berbisik.

Kedua alis Marcell terangkat bersamaan. “Ya kenapa emangnya? Gue ngeliatin cewek gue!”

Mata Windy menyipit curiga. Ia mendekatkan wajah ke arah Marcell, membuat cowok itu refleks menahan nafas, sempat berpikir terlalu jauh. Tapi ternyata, Windy hanya ingin membisikkan sesuatu.

“Lu kira gue nggak tau muslihat lu?” bisiknya penuh tuduhan.

Bibir Marcell mengerucut, dahi berkerut bingung. Ia tak langsung paham maksudnya, tapi ada bagian kecil di otaknya yang merasa, sepertinya itu relevan dengan sesuatu yang telah lama ia kubur.

“Di rumah sakit,” lanjut Windy, “Malam tahun baru.”

Ia sengaja mengucapkannya perlahan, memecah kalimat, mengamati reaksi Marcell. Lalu, dengan satu kalimat yang menghantam, ia menutupnya, “Gue tau lu nyium gue.”

Marcell sontak berdiri tegak. Matanya membelalak, tangannya refleks menutup mulut yang menganga. Sekarang ia ingat betul, malam itu, di rumah sakit, Windy tertidur, dan ia tak bisa menahan diri untuk mendekat dan menciumnya diam-diam. Kejadian yang selalu ia kira cuma rahasia pribadi.

Selama ini Windy tak pernah memberi tanda-tanda tahu. Tak ada sindiran, tak ada tatapan aneh. Tapi kini, tiba-tiba semuanya terbongkar.

“Lu tahu?” tanya Marcell dengan suara nyaris tercekat.

Windy mengangguk sambil menahan tawa. Sangat puas melihat reaksi heboh Marcell. Padahal tadi ia sendiri masih ragu, hanya menebak-nebak. Tapi ekspresi Marcell barusan menjawab segalanya. Penantian panjang dan rasa penasarannya selama bertahun-tahun, akhirnya terjawab dengan memuaskan.

“Lu kira gue nggak tau, kan?” godanya, makin percaya diri.

Marcell masih melotot. “Nggak!” jawabnya polos.

Windy tak bisa menahan cekikikan. Dalam hatinya campur aduk, malu karena sempat ragu, senang karena ternyata dugaannya benar, dan geli melihat Marcell yang sekarang wajahnya merah menyala seperti tomat matang.

Marcell memperhatikan tawa Windy beberapa detik, lalu ekspresinya perlahan berubah. Tatapan terkejut itu memudar, digantikan sorot mata penuh siasat. Senyum nakal mulai muncul di bibirnya.

“Kalau gitu…” ucapnya pelan, sambil merangkak pelan mendekat, “…boleh diulang lagi?”

“Cell…” bisik Windy, mundur sejengkal demi sejengkal. “Cell!” ulangnya, kini lebih waspada, melihat Marcell terus merayap di atas kasur dengan tangan dan lutut.

“CELL!!” teriaknya, panik, saat tubuhnya terpeleset mundur dan jatuh dari tepi kasur. “AU!”

“Aduh!” Marcell spontan lompat turun, buru-buru membantu Windy berdiri. “Lagian ngapain sih mundur-mundur gitu?” keluhnya.

Lihat selengkapnya