18 September 2015
Mereka duduk berdua di sofa ruang keluarga rumah Marcell, ruangan yang begitu familiar, namun kini terasa seperti potongan nostalgia yang hidup kembali. Sinar lampu taman menyusup lewat jendela, membentuk gurat cahaya keemasan di dinding yang penuh foto keluarga. Aroma kayu dari rak buku tua dan harum lembut pengharum ruangan menciptakan kehangatan yang tenang. Di hadapan mereka, layar televisi menyala menampilkan tampilan awal film yang belum juga dimulai.
Windy duduk meringkuk di sudut sofa, kedua kakinya ditekuk, dipeluk erat oleh lengannya. Sejak datang satu jam lalu, ia terus saja celingukan, lehernya menoleh ke kiri dan kanan, pandangannya menyapu tiap sudut ruangan. Seolah ada sesuatu yang ia cari, atau mungkin seseorang.
Di sampingnya, Marcell bersandar santai dengan kepala bertumpu di bahu sofa. Satu tangannya sibuk menekan-nekan tombol remote, mengganti saluran dan menyesuaikan volume. Dari ekor matanya, ia menangkap gerak-gerik Windy yang tak kunjung tenang. Ia melirik heran.
“Ngapain?” tanyanya singkat.
Windy masih terus menoleh ke sekitar. “Tante Donita mana?” tanyanya akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari ambang pintu dapur.
Marcell mengerjapkan mata, lalu menyunggingkan senyum miring sembunyi-sembunyi. Ah, rupanya itu yang dari tadi mengganggu pikirannya.
“Pergi,” jawabnya ringan. “Belanja bulanan, kayaknya,” lanjutnya, pura-pura polos, padahal sebenarnya dia sudah memperkirakan pertanyaan itu akan muncul sejak awal Windy datang.
Sejak kemarin dia yang sibuk meneror ibunya mengatakan persediaan keperluan rumah sudah banyak yang habis dan harus segera dibeli. Lalu menghasut agar ibunya belanja bulanan di hari Jumat malam saja, dengan alasan kalau di weekend awal bulan begini supermarket pasti ramai. Saat diminta ibunya mengiyakan dan minta ditemani, Marcell mengelak, bilang dia ada acara dengan Windy.
Tak sepenuhnya bohong, memang ada acara hari ini. Marcell sengaja mengajak Windy menonton film di rumahnya. Menghidupkan lagi rutinitas Jumat malam mereka yang dulu sempat jadi tradisi kecil, sederhana namun penuh makna. Sesuatu yang pernah menjadi penawar di penghujung pekan, tapi juga sempat menjadi lubang di hatinya ketika tak lagi dilakukan.
Bedanya, kali ini hanya ada mereka berdua. Tak ada Willy. Tak ada Tante Donita. Hanya dua manusia yang dulu terbiasa berbagi segalanya, namun kini status mereka telah berubah.
“Oh,” sahut Windy singkat, meluruskan lehernya dan mengalihkan pandangan ke televisi. Tapi dalam hatinya, ada kegugupan kecil yang menyelinap. Menyadari bahwa mereka hanya berdua di rumah ini, rasanya seperti ada sesuatu yang bergerak pelan di dadanya, bukan takut, bukan pula tidak nyaman, hanya, berbeda.
Dulu, semuanya terasa biasa. Mereka bisa pergi berdua, mengobrol di kamar, bercanda hingga larut malam tanpa ada jeda rasa. Tapi sekarang, setiap momen terasa punya bobot tersendiri. Seolah-olah ruang di antara mereka kini lebih penuh, oleh harapan-harapan kecil yang tak diucap. Ada rasa yang menggelitik, membuat dada hangat tapi juga gugup, manis tapi menegangkan.
Terutama ketika Marcell dengan santainya memilih film thriller sebagai tontonan malam ini. Genre yang ia tahu jelas bukan favorit Windy, lebih menegangkan daripada horor, karena tegangannya menyusup diam-diam, seperti bisikan di telinga. Dan tanpa sadar, pikiran Windy mulai melayang. Kalau nanti dia takut apa dia perlu memeluk Marcell? Atau Marcell yang akan lebih dulu menariknya dalam pelukan?
Senyum kecil menyelinap di wajahnya. Malu pada diri sendiri karena memikirkan hal itu. Ia melirik ke samping, sekilas menatap Marcell yang sedang serius menyesuaikan volume TV. Tatapannya jatuh pada garis rahang cowok itu, lalu segera kembali ke layar.
“Win,” suara Marcell pelan memecah hening, tepat saat film mulai. Ia menoleh, menatap Windy dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Kapan kita ngomongnya jadi aku-kamu?” Alisnya sedikit bertaut, tak sepenuhnya serius, tapi jelas pertanyaan itu bukan lelucon.
Windy menghembuskan nafas lewat hidung, geli. Tawa kecil muncul di wajahnya. Lucu saja, Marcell menanyakan hal seperti itu dengan wajah polos, padahal sudah sebulan mereka resmi bersama, tapi gaya bicara mereka masih saja tetap seperti dua sahabat lama.
“Kenapa emang?” balas Windy ringan, menggoda.
Marcell merengut, “Ya lu aja sama Michael ngomongnya dari awal aku-kamu,” ucapnya masam, matanya masih memandang ke arah TV.
Windy mulai terkekeh. Ekspresi dan kata-kata Marcell benar-benar lucu. Bisa-bisanya dia menyebut Michael dalam keadaan seperti ini.
Sebenarnya bisa saja Windy langsung mengiyakan, melakukan apa yang Marcell mau. Toh dia juga selama beberapa waktu ini sudah ingin mengganti gaya bicara mereka. Tapi melihat Marcell merajuk begini, rasanya sayang kalau disia-siakan.
“Cell, lu kok gak pernah cemburu sama Kak Michael?” tanyanya iseng, memancing.
Marcell melirik sekilas, tatapannya sinis tapi tak sepenuhnya keras. “Lu aja yang nggak liat,” gumamnya sambil kembali menatap layar. Diam sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih berat, “Jangan sampai aja lu liat kalau gue cemburu.”
Windy mendengus pelan. “Kenapa emang?” tanyanya sangsi.
Marcell tak langsung menjawab. Ia melirik Windy sekali lagi, tatapannya lebih lama, seperti sedang menimbang sesuatu.
Windy mengangkat kedua alisnya, menagih jawaban. “Hm?”
Tanpa kata, Marcell mengangkat tangannya, menyentuh pipi Windy dengan lembut. Gerakannya hati-hati, seakan takut sentuhannya bisa menyakiti. Lehernya diulur, tubuhnya condong mendekat, matanya terpejam, dan sebelum Windy sempat berpikir atau bertanya lebih jauh, bibir Marcell sudah menempel lembut di bibirnya. Satu sentuhan singkat, yang membuat Windy berhenti bernafas beberapa saat.
Saat Marcell membuka mata lagi, wajahnya mundur sedikit, sekitar dua tiga jari, cukup untuk menatap mata Windy yang membelalak, terpaku dan mengerjap. Marcell tersenyum tipis, Windy benar-benar menggemaskan, ia tak bisa menahan diri.