19 September 2015
Kebersamaan ini mungkin tampak sederhana, seolah biasa. Karena sejak dulu, mereka memang selalu bersama, melintasi hampir semua fase hidup hingga usia mereka sekarang, menyaksikan satu sama lain tumbuh dan berubah. Namun kenyataannya, untuk sampai ke tingkat ini, ada cerita-cerita yang terpendam dalam diam, rahasia yang tak terucap, membentuk sejarah panjang yang hanya mereka yang tahu.
Bertahun-tahun menyimpan perasaan, mereka sempat mengira semua yang dirasakan hanyalah sepihak, terkurung dalam ruang pikiran sendiri-sendiri. Kenyataannya, sejak lama mereka saling mencintai, hanya saja terhenti oleh rasa takut, gengsi, dan luka-luka yang dibuat sendiri. Kini, setelah semua tersingkap, ada keinginan diam-diam untuk menebus, waktu yang hilang, kesempatan yang terlewatkan..
Bagi Windy dan Marcell, momen ini adalah anugerah. Bukan datang tiba-tiba, melainkan lahir dari luka, penantian, dan kehilangan yang dalam. Kebersamaan ini begitu berharga, karena kini mereka sadar, terlalu banyak waktu yang sudah terbuang sia-sia, waktu yang kini ingin mereka raih dan simpan erat. Sebab, waktu bisa berlalu begitu cepat, lenyap tanpa sempat dirasakan.
Di dalam kereta yang bergerak cepat, mereka duduk berdampingan, tangan saling menggenggam erat. Jejak-jejak pilu masa lalu yang sulit dilupakan masih membekas, meninggalkan bayang yang membuat hati masih terasa sesak ketika mengingat. Cinta ternyata begitu sederhana, namun jalan untuk tiba di titik ini penuh dengan pertanyaan, yang bahkan beberapa diantaranya masih belum sempat terjawab.
Tangan Marcell hangat menggenggam, ibu jari Windy lembut mengusap. Dalam keheningan, mereka saling memeluk luka masing-masing, menguatkan janji tanpa kata: mulai saat ini, beban tak lagi ditanggung sendirian. Meski luka belum benar-benar sembuh, meski ada rasa yang belum terobati, tak akan ada lagi penyesalan. Tak akan ada perpisahan. Hanya ada kebersamaan yang ingin mereka pelihara, tak ingin pernah diakhiri.
“Jadi, kapan kamu suka sama aku?” tanya Marcell.
Perjalanan sekitar tiga jam itu dipenuhi diam, saling pandang ke luar jendela, lalu obrolan-obrolan kecil yang berkali-kali berganti topik.
“Mungkin pas waktu itu,” jawab Windy pelan, menatap persawahan di luar. “Pas acara anniversary papa-mama kamu.”
Marcell menoleh, heran. “Waktu itu?”
“Em.” Windy mengangguk. “Aku inget banget, kamu kelihatan ganteng banget waktu pakai jas. Tiba-tiba aja aku salah tingkah.”
“Ahhh, pantesan kamu mulai beda waktu itu,” Marcell tertawa kecil. Ia ingat betul bagaimana Windy tampak kesal, tampak menghindar tapi tak berkata apa-apa.
Windy tersenyum malu. “Siapa suruh ganteng!” ucapnya sambil menyandarkan kepala di bahu Marcell dengan manja.
“Emang dari lahir begini,” sahut Marcell bertebal muka, “Berarti aku harus sering-sering pakai jas ya? Tiap hari kali.”
Windy memukul lengannya pelan, geli sendiri. “Kalau kamu?” tanyanya kemudian. “Kapan mulai suka sama aku?” Windy akhirnya mengucapkan pertanyaan yang selama ini paling membuat penasaran, sekaligus paling menegangkan untuk didengar jawabannya.
Marcell diam sebentar, berpikir keras. Di mata Windy, ia terlihat berpura-pura, padahal memang sedang berusaha mencari ingatan.
“Nggak tahu,” jawabnya akhirnya, tetap tak ketemu dimana awal mulanya.
“Ih, gimana sih!”
“Beneran,” Marcell buru-buru menjelaskan. “Aku juga nggak tahu dari kapan.” Ia berkata jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama dia berusaha mencari tahu, tapi setiap dia coba, hasilnya tetap sama saja, dia benar-benar tak tahu kapan persisnya dia melihat Windy dengan cara berbeda.
Windy mengangkat kepala dari bahu Marcell, menatapnya lekat-lekat. Mencari tanda apakah Marcell berkata jujur atau bercanda. Tapi dia hanya menemukan keseriusan di sana.
“Masa sih?” dia masih tak percaya.
Marcell mengangguk pelan, mengedipkan mata. “Beneran.”