Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #33

33. Tak Selalu Mulus, Tapi Selalu Kita

6 September 2015


“Windy!” tiba-tiba terdengar suara Marcell, tapi tak bisa memastikan dari arah mana.

“Windy!” panggilnya lagi, suaranya berbisik tapi terdengar jelas dan lantang di waktu bersamaan.

Di dalam kamar yang pintunya tertutup rapat, Windy mengerutkan dahi. Ia menoleh ke kanan dan kiri, telinganya siaga menangkap sumber suara.

“Win…dy….”

Kali ini, suara itu disusul dengan ketukan pelan di kaca jendela. Windy segera bangkit dari tempat tidur dan menghampiri jendela. Begitu ia menyibak tirai, tampak Marcell berdiri di balik kaca, tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, Windy membuka kunci jendela dan menggesernya perlahan.

“Ngapain?” Windy celingukan, melihat ke sekitar halaman rumahnya, memastikan tak ada anggota keluarga atau tetangganya yang melihat.

Selain suara jangkrik dan tonggeret dari kejauhan, suasana terasa begitu senyap. Tapi Marcell berdiri di sana, tetap tersenyum, dengan satu tangan terangkat, menyodorkan beberapa kuntum bunga krisan warna-warni yang tampaknya dipetik dari sekitar rumah.

Windy tersenyum, menerima bunga itu dan menatapnya sejenak. Namun Marcell malah mendesis.

“Ssst! Ssttt!” bisiknya, mencoba menarik perhatian Windy lagi.

Saat Windy kembali menoleh, Marcell meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan sesuatu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke bibirnya yang mengerucut.

“Apaan sih?” Windy pura-pura tidak mengerti, padahal wajahnya mulai memerah.

Marcell langsung merengut, “Ish, aku nungguin dari siang, tau!” katanya, menunjuk-nunjuk bibirnya lagi. Saat Windy kembali celingukan, Marcell menambahkan, “Tenang aja, om, tante, sama Willy udah tidur. Makanya aku berani keluar!”

Ia mengulang gerakan yang sama, menyentuh bibirnya, menuntut diam-diam.

Windy terkekeh pelan. Masih dengan senyum geli, ia memegang bingkai bawah jendela, berjinjit pelan. Kepalanya menjulur keluar, mendekat ke wajah Marcell, lalu mengecup bibirnya dengan cepat, sebelum kembali menarik diri ke dalam kamar.

Marcell cengengesan, sementara wajah Windy merona malu.

Ia belum sepenuhnya terbiasa dengan situasi seperti ini, pertemuan diam-diam, kecupan singkat dari balik jendela, dan rasa was was kalau-kalau ada anggota keluarga yang memergoki. Padahal dulu, saat mereka masih bisa berduaan di dalam kamar sepanjang hari, tak ada yang mempermasalahkan. Tapi sekarang, setiap pertemuan dibalut kegugupan, rasa canggung, sekaligus keseruan yang sulit dijelaskan.

“Capek, nggak?” tanya Windy sambil menyandarkan lengannya di bingkai jendela.

“Lumayan,” jawab Marcell, bersandar santai di dinding bawah jendela. “Banyak juga ya kerjaan kalian di rumah sekarang.”

Windy tertawa kecil, mengangguk pelan. Sejak pindah rumah, rasanya hidup mereka berubah total. Meski lingkungan barunya lebih tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota, keluarga Windy justru jadi lebih sibuk di sini.

Mungkin karena kini, beban rumah tangga dibagi bersama, bukan lagi hanya dipikul oleh ayah atau ibunya seperti dulu. Semua anggota keluarga ambil bagian, saling menopang, menjaga agar rumah tangga tetap berjalan sambil masing-masing tetap mengembangkan diri.

Seharian ini, Marcell ikut terlibat dalam segala hal. Ia membantu orang tua Windy menyiapkan bahan-bahan kue di dapur, membantu Willy mengerjakan tugas sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah di sela-selanya, ia melakukan apa pun yang bisa ia lakukan. Mondar-mandir tanpa lelah, seakan punya cadangan energi yang tak ada habisnya.

Ada kesungguhan yang ia tunjukkan, menekankan ia bukan sekadar tamu atau sahabat lama. Ia ingin dilihat sebagai bagian dari keluarga ini juga. Hanya saja, jika dulu ia bersikap seperti anak laki-laki tertua di keluarga ini, sekarang ia lebih tampak seperti calon menantu yang sedang berusaha mengambil hati mertuanya.

Sambil menyender, Marcell melirik Windy yang sedang menatap ke langit malam yang sepi dari bintang. Ia melihat mata kekasihnya itu, terlihat tenang di permukaan, padahal menyimpan banyak pikiran. Pikiran yang tak ia tanggung sendiri tapi juga tak terang-terangan dia bagi. Dan setiap kali mengingat apa yang Windy tanggung, ada rasa bersalah yang menghantui hatinya, bahwa salah satu beban itu, adalah hutang ke orang tuanya.

Ia tahu, orang tuanya ikhlas membantu, tapi tak ada namanya hutang yang benar-benar ringan, sekalipun tanpa bunga. Dan memikirkan keluarganya dan keluarga Windy kini terhubung dengan oleh hal itu, hatinya terasa berat.

Bagaimanapun juga mereka masih muda. Masih meraba arah, mencari tahu bagaimana cara dunia ini benar-benar bekerja. Belajar merengkuh luka, mengejar tawa, dan menyusuri hari demi hari, ditemani cinta yang tak selalu mudah, tapi selalu layak diperjuangkan.

Ponsel Windy tiba-tiba berdering, memecah keheningan di antara mereka. Ia segera meraihnya dari atas meja kecil di samping jendela. Matanya menatap layar, lalu bergeser ke wajah Marcell yang langsung menatap balik dengan pandangan penuh tanya.

“Siapa?” tanya Marcell, nada suaranya datar, tapi sorot matanya tajam memperhatikan ekspresi Windy.

Windy nyengir, setengah canggung. “Kak Michael,” jawabnya pelan.

Tatapan Marcell langsung menyipit. “Angkat. Pakai speaker.”

Raut wajah Windy langsung berubah. Alisnya naik, dahinya mengernyit, sudut bibirnya turun sedikit, seperti sedang memohon. Ia kelihatan ragu, berharap Marcell akan mengalah dan membiarkannya untuk mengabaikan panggilan Michael, ia takut gara-gara telepon ini ada sesuatu yang terjadi di antara mereka nanti. Tapi cowok itu menggeleng pelan, tetap bersikeras agar Windy menghentikan dering telepon dengan menggeser tombol hijau.

Dengan berat hati, Windy akhirnya menerima panggilan itu dan mengaktifkan mode pengeras suara.

Lihat selengkapnya