25 Oktober 2015
Marcell tak pernah marah.
Setidaknya, sepanjang ingatan Windy, cowok itu nyaris tak pernah benar-benar menunjukkan kemarahan padanya.
Pernah sekali, tragedi perkemahan sabtu-minggu dulu. Waktu dia khawatir dengan hubungan Windy dan Michael kala itu. Tapi bahkan saat itu pun, Windy tahu, itu bukan kemarahan meledak. Meski tahu alasan jelasnya benar-benar belakang, saat itu pun Windy paham sikap Marcell, dia bukan benar-benar marah, itu hanya bentuk lain dari kepedulian yang dibalut rasa cemas dan takut kehilangan. Maka, tak pernah benar-benar masuk hitungan. Marcell tetaplah Marcell, sebesar apapun keinginannya, jika keinginan Windy lebih besar maka dia akan mengalah, menyerah, tenang, nyaris tanpa menunjukkan amarah.
Tapi kali ini berbeda.
Untuk pertama kalinya, Marcell memilih pergi. Tanpa kata. Tanpa menoleh. Meninggalkan Windy di kamarnya sendiri. Di ruangan yang telah ia sulap sepenuh hati, dengan lilin-lilin kecil berpendar di sudut ruangan, bunga-bunga segar terhampar di atas meja, balon-balon mengambang dengan pita-pita yang menjuntai, proyektor menyala menampilkan film yang akan mereka tonton di Jumat malam kali ini, karpet bulu yang lembut, dan kue ulang tahun buatan tangannya sendiri. Semua ia persiapkan. Semua ia atur. Hanya untuk Windy. Untuk ulang tahunnya, hari ini.
Tapi kini, kamar ini hening. Tak ada tawa. Tak ada peluk. Tak ada perayaan. Yang tersisa hanya Windy, berdiri sendiri di tengah ruangan yang terasa kosong meski penuh dekorasi. Setelah perdebatan mereka.
Alasan Marcell meninggalkan Windy di dalam kamar yang sudah ia siapkan sepenuh hati bukanlah tanpa sebab. Ia tahu itu dorongan impulsif. Tapi jika ia memaksa tetap di sana, ia hanya akan meledak. Dan ia tak ingin itu terjadi, terutama di hari ulang tahun Windy.
Rasa kesal itu sudah tumbuh sejak siang tadi, saat ia menjemput Windy dari rumah sakit. Ia masih ingat jelas bagaimana langkahnya terhenti mendadak di lorong, pandangannya membeku ketika melihat Michael keluar dari ruang terapi bersama Windy.
Cowok itu berdiri di ambang pintu, terlalu dekat. Tangan kanannya bertengger di bahu Windy, sementara matanya menatap seperti seluruh perhatiannya tertumpah ke sana. Tatapan yang hangat. Lembut. Tapi bagi Marcell, terasa seperti gangguan dan ancaman.
Ketidaksukaannya mencuat, tanpa bisa ia tahan.
Alis Marcell terangkat refleks, rahangnya mengeras. Ia berdiri beberapa meter dari mereka, tanpa suara. Matanya tak lepas dari dua sosok itu. Ada dorongan untuk maju dan memisahkan mereka, tapi ia menahan diri. Ia tak mau terlihat kekanak-kanakan. Tidak untuk waktu dan masalah seperti ini.
Windy akhirnya sadar kehadiran Marcell. Ia melirik cepat, dan dalam sepersekian detik, raut wajahnya berubah kaget campur panik, seperti baru ketahuan berbuat kesalahan, padahal jelas tak ada yang ia lakukan. Ia menyenggol lengan Michael, memberi isyarat dengan matanya, jelas-jelas memperingatkan bahwa Marcell ada di sana, tengah mengawasi mereka.
Melihat gelagat Windy, Marcell melangkah mendekat. Di wajahnya terpasang senyum tipis dari ketenangan palsu. Tanpa menunggu, ia langsung menggenggam tangan Windy, dan menatap Michael yang tertawa kikuk di hadapannya. Matanya tajam, menusuk. Dalam hati, ia nyaris berdoa agar cowok itu setidaknya mimpi buruk malam ini karena telah menyentuh bahu wanitanya.
“Gue cuma terapi!” seru Michael membela diri sebelum diserang, mengangkat sedikit kaki kirinya, menunjuk ke arah pergelangannya. Dalam hati heran sendiri, kenapa dia harus berbuat sejauh ini agar cowok Windy ini tak marah dengan kehadirannya yang padahal memang sebagai pasien.
“Udah selesai, kan? Biar Windy cepat pulang.” Marcell menanggapi datar, dingin. Nada suaranya tegas, tak menyisakan ruang untuk basa-basi. Seolah hanya bentuk pengertian, padahal terang-terangan mengusir Michael.
“Iya, iya,” Michael mengangkat tangan, menyerah. Ia memang tak berniat adu mulut. Namun saat melewati Marcell, ia membisikkan satu kalimat, pelan namun sengaja dekat ke telinga, “Jangan lupa bilang.”
Marcell melirik tajam, pedas, “Berisik,” gumamnya singkat.
Di sampingnya, Windy menyipitkan mata, waspada. “Kok kamu tahu aku udah mau pulang?” tanyanya, basa-basi. Padahal dia tahu betul, Marcell hafal jadwalnya luar kepala, dan sudah beberapa kali menjemput tepat di jam yang sama.
Saat Marcell meliriknya sinis, Windy langsung nyengir kaku. “Ayo, ayo, aku ambil tas aku dulu,” ujarnya cepat, menarik tangan Marcell, mengajaknya ke ruang karyawan.
Namun baru berjalan beberapa langkah, Marcell tiba-tiba menghentikan gerak kakinya. Genggaman tangannya di tangan Windy mengencang sedikit, lalu tanpa berkata-kata, ia menarik Windy menyimpang ke sisi kanan lorong, ke arah pintu tangga darurat.