1 November 2015
“Cell!” Windy berjalan selangkah di belakang.
Namun Marcell tetap tak menoleh. Langkahnya lurus, mantap menapaki pasir pantai, seolah tak ada secuil pun keraguan dalam tiap gerak kakinya. Sementara angin laut berhembus lembut, Windy mengulurkan tangan, hendak meraih jemari Marcell seperti yang biasa mereka lakukan. Tapi tangannya terhenti di udara, menggantung dalam keadaan terbuka.
Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah pertengkaran kemarin. Seharusnya, mereka menikmati pemandangan laut yang membentang megah di hadapan, langit indah dan debur ombak yang menyapa kaki. Namun kenyataannya, Marcell masih diam, masih menyimpan amarah. Dan ketika Windy mencoba membuka lagi percakapan yang sempat tertunda, Marcell memilih kembali menghindar, menarik dirinya menjauh tanpa sepatah kata.
Meski telah tumbuh bersama sejak kecil, kini Windy sadar, banyak sisi dalam diri Marcell yang baru tampak sejak mereka resmi bersama, kecemburuannya, ledakan emosinya yang tak selalu keras tapi terasa, dan diam yang membentang saat ia sedang kecewa. Semua itu adalah bagian dari dirinya yang dulu tersembunyi. Dan kini, saat sisi-sisi itu muncul satu per satu, Windy hanya bisa diam, gugup, tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Kalau kamu masih nggak mau bahas, mending kita gak usah ketemu dulu,” ucap Windy tegas, menghentikan langkahnya.
Marcell pun ikut berhenti. Ia menengok, dan dengan suara bergetar karena tertahan emosi berkata, “Kamu tahu nggak? Kamu tuh... tega banget!”
Windy tak membantah. Memang benar dirinya tega. Ia pernah membohongi Marcell, meninggalkannya untuk pria lain, membiarkan perasaannya tergantung setelah pengakuannya, menjaga jarak selama setahun lebih, bahkan mengusir kedatangannya saat pria ini kembali ke hadapan, sambil membawa keberanian dan hati yang dulu sempat ia abaikan. Sekarang, dia malah minta Marcell menjauh. Tak ada kata lain yang pantas disematkan ke dirinya selain kata ‘tega’ itu.
Ia tahu hatinya masih keras, sisa-sisa dari perjuangan panjang yang selama ini ia pikul sendiri, diam-diam, tanpa pernah benar-benar terbagi. Luka-luka kecil yang mengendap, lalu tumbuh akar dan menjalar diam-diam di dasar hatinya. Padahal ia tak ingin menjadi sekeras ini. Tapi hidup tak pernah berjalan searah dengan keinginan. Masa depan Marcell bukan sesuatu yang bisa ia pegang, bukan pula bisa ia jamin. Marcell harus menjalani hidupnya sendiri. Ada dan tidak ada dirinya.
Ia tak mau menjadi alasan lagi.
Dan kini, mereka terjebak dalam situasi yang berbalik dari masa lalu, kali ini Windy yang menuntut jawaban, dari alasan yang selama ini Marcell simpan rapat-rapat atas penolakannya.
“Kamu sendiri,” ujar Windy pelan, namun tegas, “Kenapa kamu nggak mau kasih tahu alasan kamu nggak mau pergi?”
Marcell menggertakkan rahang. Giginya mengatup rapat. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah pelan mendekat ke arah Windy. “Kamu udah tahu,” ucapnya datar, “Aku nggak akan ninggalin Jakarta.”
“Bahkan kalau aku balik dan menetap di Sukabumi?” tuding Windy dengan suara halus.
Mulut Marcell terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Ia menutupnya kembali, lalu memejamkan mata sejenak, rapat, menyiratkan kegundahan yang berat, frustasi yang nyaris tak tertahankan. Kemudian menengadah ke langit, seperti mencari kunci jawaban disana.
“Iya?” desak Windy lagi, menuntut Marcell dengan suara yang tetap tenang.
Tapi kekasihnya itu masih terdiam, belum bisa memberikan jawaban.
Perlahan, raut wajah Windy melunak. Ia meraih tangan Marcell dan menggenggamnya erat. “Aku bisa terima alasan apa pun untuk kamu tetap di sini, Cell... asal bukan karena aku.”
Mata Marcell kembali terpejam, kali ini lebih lama. Dahinya berkerut, alisnya bertaut, ia sedang berjuang melawan badai di dalam dirinya sendiri. Kemudian, dengan pelan menarik tangannya dari genggaman Windy, berbalik arah, melangkah ke bibir pantai. Duduk bersila di atas pasir, dengan tatapan kosong menghadap langit yang mulai berwarna jingga senja.
Windy menyusul dengan langkah perlahan, menyadari bahwa Marcell sedang meredakan riaknya sendiri. Ia duduk di sampingnya, memeluk lutut, memandang ke arah laut. Hening tercipta, hanya diselingi suara ombak yang berdebur lembut, menyentuh daratan lalu kembali pecah menjadi buih. Hanya angin yang bertiup lewat di samping telinga. Sementara di kepala mereka ada rasa berat, beban pikiran yang belum selesai dirapikan.