Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #36

36. Diterpa Jarak, Ditemani Rindu

18 Desember 2016


“Windyyyyyy!” seru Devina begitu pintu kamar kos terbuka. Dengan antusias, kedua tangannya terentang lebar, menanti dipeluk.

Sudah hampir tiga tahun mereka tak saling bertatap muka. Pertemuan terakhir pun hanya sekelebat di bandara, saat Windy menyempatkan diri mengantar kepergian Devina yang akan terbang ke Australia. Dan kini, sahabatnya itu kembali hadir di hadapannya. Ironisnya, justru kekasihnya sendiri sedang berada jauh di sana, belum kunjung pulang.

Begitu memeluk Windy, Devina langsung menyadari sesuatu. Tubuh sahabatnya terasa agak hangat. Ia buru-buru melepaskan pelukan dan menatap Windy penuh cemas.

“Lu sakit?” tanyanya, sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Windy. “Duh, ayo, rebahan dulu! Istirahat!”

Tanpa menunggu jawaban, Devina langsung membimbing Windy masuk ke dalam kamar, luwes dan tanpa ragu, seolah kamar itu miliknya sendiri. Windy menurut, duduk di pinggir kasur, sementara Devina melipat kakinya di lantai, menatap ke atas dengan sorot mata penuh perhatian.

“Udah minum obat?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut namun tetap serius.

Windy mengangguk pelan, lalu tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah khawatir Devina dari jarak sedekat ini. Entah kenapa, hanya dengan melihat sahabat lamanya itu, ada kehangatan yang perlahan mengisi dadanya. Mungkin karena nostalgia, mengingat masa-masa indah saat mereka masih sekolah.

Sebenarnya, Windy hanya mengalami demam ringan. Tak sampai menggigil, tak pula hingga tulangnya ngilu. Hanya rasa tak enak badan biasa, yang semestinya reda dengan tidur cukup dan menenggak obat warung. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam, yang ia simpan rapat-rapat.

Akhir-akhir ini, tubuhnya terlalu mudah tumbang. Terlalu sering merasa drop tanpa alasan yang jelas.

Padahal aktivitasnya masih sama. Makan teratur, tidur cukup, rutinitas berjalan seperti biasa. Satu-satunya yang tampak nyata sebagai sumber keluhan hanyalah, pikirannya. Ada tekanan yang enggan ia akui sebagai stres, tapi sepertinya telah diam-diam menyusup. Menggerogoti perlahan dari dalam. Membuat tubuhnya lemah, membuka pintu bagi penyakit-penyakit kecil untuk datang silih berganti. Belakangan, ia mulai bergantung pada obat sakit kepala, seolah itu satu-satunya pelarian untuk meredakan pikirannya yang terus gelisah.

Mungkin ini bukan sekadar penyakit badan. Mungkin ini sakit dari hati, sakit rindu. Tapi Windy tak ingin mengakuinya.

Toh dia sendiri yang meminta Marcell pergi. Dia pula yang melepas kepergiannya dengan senyum yang tampak ikhlas, pelukan yang hangat, dan kalimat-kalimat penyemangat. Namun kenyataannya, hubungan jarak jauh tak semudah yang ia bayangkan. Terutama untuk mereka, dua jiwa yang nyaris seumur hidup saling berdampingan. Ketiadaan Marcell di sisinya seperti kehilangan sebagian diri.

Awalnya, saat Marcell bilang bahwa programnya hanya satu semester, Windy merasa lega. Tapi ketika kabar perpanjangan program datang, karena prestasi dan keaktifannya di sana, Windy hanya bisa tersenyum. Menyembunyikan keresahan yang tumbuh diam-diam.

Ia tetap hadir setiap malam di layar ponsel, tertawa, bertanya kabar, memberi semangat. Padahal di balik itu, hatinya perlahan merana. Rindu yang tak terbendung menjelma jadi luka tak kasat mata. Tapi tentu, Windy terlalu gengsi untuk mengaku. Terlalu takut untuk menarik kembali kata-kata keikhlasan yang pernah ia ucapkan.

Dan kini, saat Devina, sahabatnya yang kuliah di kampus tempat Marcell berada, malah ada di hadapannya. Sementara Marcell masih berada jauh di seberang samudra. Tenggelam dalam kesibukan. Ia bahkan mengambil pekerjaan paruh waktu selama libur semester, membantu di kafe milik orang tua teman sekelasnya. Selain itu, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan kampus, ciri khasnya yang tak pernah bisa diam, selalu hadir di mana-mana.

Windy pun sebenarnya tak kalah sibuk. Praktik kerja di rumah sakit hampir selesai, dan kini ia mulai masuk ke persiapan ujian akhir. Di sela-selanya, ia juga membantu Willy melewati proses masuk perguruan tinggi, dari memilih jurusan, mengikuti ujian, hingga mencarikan kosan yang dekat dengan kampus. Selain itu, pekerjaan sampingannya juga tetap jalan seperti biasa. Hari-harinya penuh.

Tapi anehnya, justru Marcell yang kini terasa makin jauh. Pesan makin jarang, balasan makin lambat. Telepon hanya ada di malam hari, itu pun karena mereka sudah berjanji.

Windy tak pernah menyinggung semua itu dalam obrolan mereka. Logikanya paham, bahwa tak ada yang benar-benar salah. Tapi hatinya punya pendapat lain. Hati itu terus merintih diam-diam. Dan dari sana, rasa sesak itu tumbuh, merambat ke seluruh tubuh, lalu menjatuhkannya perlahan-lahan.

Tepat pukul sembilan malam, ponsel Windy berdering. Devina yang sedang asyik bercerita tentang pertemuannya dengan Michael di kampusnya beberapa hari lalu, mendadak terdiam. Tatapannya melirik Windy, menunggu kalimat yang sudah ia duga akan meluncur dari mulut sahabatnya.

“Jangan bilang Marcell,” ujar Windy lalu mengangkat panggilan video call dari Marcell.

Devina mengangguk, tapi ketika Windy sedang sibuk menatap layar, ia menggeleng pelan. Dalam hati mendesah. Dia pikir setelah resmi pacaran dengan Marcell, kebiasaan Windy yang suka menutup-nutupi kesulitannya itu akan berkurang. Ternyata, sama saja.

Lihat selengkapnya