Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #37

37. Tak Hanya Lewat Kata

23 Desember 2016


Gadis itu, gadis mungil yang tumbuh di sisinya sejak bayi, berjalan beberapa langkah di depan. Tubuhnya tampak ringkih dalam balutan kemeja kebesaran, rambut ikalnya dicepol seadanya, menyisakan beberapa helai yang terlepas dan menari tertiup angin. Kakinya nampak lelah berjalan, tapi tetap ia paksakan melangkah. Jemarinya terus bergerak menyentuh pahanya sendiri secara bergantian, seperti sedang memainkan tuts piano tak kasatmata. Kepalanya sesekali menengok kanan-kiri, mengecek sekitar sambil tetap larut dalam alunan lagu dari headset yang menggantung di telinganya.

Marcell berdiri tak jauh, menyunggingkan senyum. Ada desir lembut di dadanya saat melihat punggung yang begitu akrab itu. Detik demi detik terasa panjang, ia menahan sampai Windy tiba di depan pagar kosannya. Barulah melangkah maju, mengulurkan tangan, dan mencolek bahu gadis itu dengan satu sentuhan tegas, namun tetap mengandung kelembutan yang hanya Marcell miliki untuk Windy.

Windy menoleh, melepaskan headset di telinganya. Matanya membelalak, ekspresi kaget dan haru tumpang tindih berupa-rupa. Bibirnya bergetar, kedua sudutnya turun, mencoba menahan untuk tak merengek, namun gagal.

Marcell ada di hadapannya, dengan tampilan yang belum pernah ia lihat selain lewat layar, kaca matanya, rambut panjangnya, pipinya yang lebih berisi, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Ia langsung memeluk Marcell, mendekapnya erat, seakan takut tubuh lelaki itu akan menghilang jika ia mengendurkan pelukannya barang sedikit. Wajahnya tenggelam dalam dada Marcell, basah oleh air mata yang tak sempat tertahan.

Marcell tertawa pelan, senyumnya lebar tapi sedikit gemetar. Tangannya terangkat mengusap punggung Windy perlahan, menegaskan dalam pikiran kalau gadis ini sudah kembali dalam pelukan. Ia mengecup pucuk kepala Windy dengan lembut, matanya terpejam lekat.

“Jangan pergi lagi pokoknya!” rengek Windy, tak menutup-nutupi perasaannya lagi.

Tawa Marcell pecah lebih lepas. Ada ledakan bahagia yang sulit dijelaskan, membuncah dari dadanya hingga ke ujung jari. Kalimat itu, kalimat sederhana, tapi jelas terdengar sebagai pengakuan paling jujur dari rindu yang dipendam terlalu lama, menegaskan satu hal, ia benar-benar dirindukan. Ia benar-benar ditunggu. Dan kini, ia benar-benar pulang.

Padahal sampai beberapa menit tadi, Marcell masih dihantui keraguan. Bagaimana kalau Windy marah karena kedatangannya yang tiba-tiba? Bagaimana kalau reaksinya dingin, atau kosong? Banyak ketakutan yang menyertai langkahnya sejak turun dari pesawat, namun semuanya sirna dalam pelukan ini. Sebuah sambutan yang jauh melebihi ekspektasinya.

Mendapati Marcell hanya tertawa tanpa menjawab, Windy mengangkat wajahnya. Matanya memerah, dan ada setetes air mata yang belum sempat jatuh, menggantung di ujung bulu matanya. “Kok nggak jawab?” protesnya manja, menengadah dan menatap Marcell dengan mata penuh cinta.

Marcell tertawa lagi, pelan kali ini, dan menatap Windy dalam-dalam, menelusuri setiap lekuk wajahnya yang sudah lama tak dilihat dari jarak sedekat ini.

“Iya, iya,” jawabnya lembut, suaranya berat oleh perasaan yang meluap-luap. Lalu ia kembali mendekap Windy, lebih erat dari sebelumnya. 

Mereka berdiri dalam keheningan yang hangat, di antara malam yang mulai menggelap, lampu-lampu jalanan yang perlahan menyala, dan suara kehidupan kota yang lebih terdengar.

Setahun bukan waktu yang sebentar. Mereka melewatinya dengan saling menahan diri, menekan rindu dalam diam. Membatasi emosi, agar tak menyakiti orang yang dicintai dan diri sendiri. Maka sekarang, rasanya mereka tak ingin melepaskan pelukan ini, tidak sampai tuntas, tidak sampai hati mereka benar-benar percaya bahwa ini bukan mimpi.

Dalam kesenyapan yang hampir syahdu itu, Windy tiba-tiba mengangkat wajahnya, meregangkan pelukan mereka pelan-pelan. “Ayo ke rumah kamu!” ajaknya tiba-tiba.

Marcell mengernyit, alisnya naik bersamaan. “Kenapa?” tanyanya, tak habis pikir.

Ia sengaja datang langsung ke kosan Windy dari bandara, tak pulang dulu ke rumahnya sendiri, hanya karena ingin segera bertemu dan menghabiskan waktu dengan gadis yang ia rindukan setiap malam. Tapi kini, gadis yang barusan merengek agar dia tak pergi lagi, yang baru saja melebur dalam pelukannya, malah mengajaknya pulang, seperti enggan hanya berdua.

Marcell kembali dirundung ragu, jangan-jangan Windy tak sebegitu rindunya.

“Aku emang tadi mau ganti baju, terus ke rumah kamu,” jawab Windy, sedikit terburu-buru, seperti berharap Marcell tidak terlalu mempermasalahkan.

Tapi jawabannya masih terasa mengambang. Maka Marcell bertanya lagi.

“Kenapa?”

Kali ini, sorot mata Windy berubah. Ada binar cerah di sana, senyumnya merekah segar seperti matahari pagi. “Ada keluarga aku di rumah kamu.”

“Ha?” Marcell memekik pelan. Bukan karena tak percaya, hanya heran.

“Kenapa?” tanyanya lagi, dengan nada lebih bingung dari sebelumnya.

Windy malah tertawa, melepaskan pelukannya sepenuhnya dan berdiri satu langkah menjauh. “Gimana ya cara ngomongnya...” gumamnya pada diri sendiri, bibirnya masih mengulum senyum.

Marcell menatapnya sabar, menelusuri tiap perubahan kecil di wajah Windy, senang, haru, malu-malu, lalu mendadak sok misterius.

Melihat Windy senyum-senyum sendiri seperti itu, Marcell tanpa sadar ikut tersenyum. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan mencubit pipi Windy gemas.

“Kenapa siiiiiih?” godanya.

Lihat selengkapnya