Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #38

38. Satu Padu Seperti Dulu

Sepanjang perjalanan di dalam taksi, mereka larut dalam percakapan yang mengalir tanpa jeda canggung. Tak hanya tentang rindu yang sempat menyesakkan, atau beratnya menjaga cinta dalam hubungan jarak jauh kemarin, tapi juga tentang segala hal yang tak sempat terucap selama setahun belakangan. Cerita-cerita yang terlalu panjang untuk diketik, terlalu rumit untuk disampaikan lewat layar.

Mereka berbicara layaknya dua sahabat lama yang akhirnya kembali bertemu, akrab, mengenal, tapi tetap dibubuhi cinta yang terpancar lewat tatapan mata. Saling melengkapi kepingan-kepingan hidup yang sempat terlewat. Mengakui beberapa kebohongan kecil yang sempat mereka ucapkan demi menjaga perasaan.

Seperti Windy, yang akhirnya menceritakan apa yang ia alami kemarin, kalau tidak ada Devina yang setia menemaninya selama tiga hari, minggu lalu mungkin dirinya sudah di rawat inap di rumah sakit, karena ternyata menderita infeksi lambung akibat stres, akibat pikirannya yang terbebani rindu. Ia berterus terang, meski diiringi senyum malu yang mengembang.

Di sela tawa kecil dan lirih lirih kenangan, Windy akhirnya membuka topik yang sempat ia simpan selama beberapa minggu terakhir.

“Jadi… kamu tahu kenapa Mama sama Papa ada di rumah kamu?” tanyanya sambil melirik Marcell sekilas, suaranya pelan tapi serius.

Marcell menggeleng, penasaran, menunggu Windy melanjutkan.

“Mereka kesana buat ucapin terima kasih langsung ke Papa kamu. Karena… cicilan terakhir lunas dua bulan lalu.”

Ia menghela nafas lega, dadanya terasa lebih ringan.

“Setelah dua tahun lebih nyicil, akhirnya lunas juga utangnya. Hutang keluarga aku ke keluargamu. Masih ada cicilan sama bank sih, tapi, rasanya beda. Beban di hatinya nggak seberat itu.”

Ia menunduk sebentar, jari-jarinya memainkan ujung tas di pangkuannya. “Papa tuh nggak enakan banget sama Papa kamu. Selama ini kayak bawa beban, apalagi pas tahu aku jadian sama kamu. Tapi sekarang, kayaknya dia udah lebih lega.”


Marcell menatap Windy lama, tidak buru-buru menjawab. Ada rasa hangat menjalar di dadanya, selain karena hutang berat itu akhirnya lunas, juga karena Windy memilih membicarakan hal itu dengan jujur. Dengan tenang. Dan tanpa menyembunyikan apa pun seperti yang biasanya dia lakukan.

Ia meraih tangan Windy, menggenggamnya dengan lembut.

“Terima kasih udah cerita,” katanya pelan. “Dan… inget, gak perlu ngerasa malu, keluarga kita dari dulu udah kayak saudara. Ngebantu gitu hal biasa.”

Windy menoleh dan tersenyum. Matanya yang bening kembali berembun, basah oleh rasa haru atas ketulusan yang baru saja Marcell ucapkan.

Tanpa berkata banyak, Marcell menggenggam tangan Windy lebih erat. Ia tidak mengungkapkan rasa syukurnya dengan kata-kata lantang, tapi dari caranya memandang, dari caranya menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan, terlihat jelas bahwa hatinya tengah dipenuhi kelegaan.

Ini adalah kabar terbaik yang tak ia sangka akan langsung menyambut kepulangannya.

Menyadari bahwa kini keluarga mereka tak lagi terikat oleh perkara memberi dan menerima, tak ada lagi rasa tak enak hati, tak ada lagi hutang budi yang membebani hubungan, membuat dadanya terasa lapang.  Ia sungguh-sungguh lega. Begitu bahagia hingga nyaris tak mampu merangkai satu kalimat pun.

Setelah momen hening yang hangat itu, mereka kembali mengobrol, dan kali ini, giliran Marcell yang bercerita. Tentang hal-hal yang mengubah hidup dan cara pandangnya selama setahun terakhir di Australia. Tentang proses menerima diri, berdamai dengan ekspektasi, dan keberanian untuk tampil apa adanya.

Penampilannya sekarang, yang tampak lebih santai, bahkan cenderung eksentrik dibanding masa SMA dulu, bukan lagi bentuk pemberontakan, tapi penerimaan. Ia tak lagi merasa harus selalu terlihat maskulin demi dianggap kuat. Kini ia membiarkan dirinya dipandu oleh suasana hati, bukan oleh keinginan untuk mendapat pandangan dari orang lain sesuai yang ia mau.

Lihat selengkapnya