Teras Terjauh

Arisyifa Siregar
Chapter #39

39. Masih Mencari Cinta

7 Januari 2017


Windy sedang berdiri di depan cermin, mengikat tinggi rambutnya dengan gerakan cekatan. Cahaya pagi yang masuk dari jendela membias lembut di wajahnya, menyorot ekspresi tenang yang perlahan berubah ketika layar ponselnya menyala. Sebaris pesan muncul di sana, dari nama yang sudah akrab di hatinya,

Windy, berangkat yuk!

Senyum lebar langsung merekah di wajahnya. Kalimat sederhana itu terasa seperti portal menuju masa lalu, masa ketika Marcell rutin menjemputnya di depan rumah untuk berangkat sekolah bersama saat awal masa SMA mereka. Saat semuanya masih biasa, sebelum luka, jarak, dan hal-hal tak terucap tumbuh seperti semak liar di antara mereka.

Tapi pagi ini, lewat satu kalimat pendek itu, Marcell seperti mengingatkan: bahwa siapapun dirinya kini, berapa lama waktu berlalu, seberapa banyak penampilannya berubah, hatinya tetap sama. Ia tetap Marcell yang dulu, yang mengenal Windy bahkan sebelum gadis itu mengenal dirinya sendiri sepenuhnya. Dan pesan itu, manis, sederhana, terbilang kekanak-kanakan, tapi itu adalah caranya menegaskan, tiap hari baru, mereka mencari cinta dari awal lagi.

Windy bergerak, mengambil jaket jeans yang tersampir rapi di sandaran kursi dekat pintu. Ia memakainya diatas dress putih polos sepanjang mata kaki yang melekat lembut di tubuhnya. Tanpa banyak pikir, ia melangkah cepat, hampir setengah berlari menyusuri lorong kos dan melewati gerbang.

Dan disanalah Marcell berdiri, menunggu dengan tenang, tangannya menggenggam buket hydrangea ungu yang segar dan penuh makna. Bunga yang melambangkan keinginan untuk momen-momen berharga.

Sesaat Windy terpaku di tempatnya, dadanya menghangat oleh rasa haru yang menjalar pelan. Ia berjalan mendekati Marcell, bibirnya menekuk manja, menahan rengekan yang pasti terdengar kekanak-kanakan.

“Kan kamu yang ulang tahun,” protesnya lembut, “…kenapa malah aku yang dikasih hadiah?”

Marcell tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu menyerahkan buket bunga hydrangea itu ke tangan Windy, sebelum menarik tubuh gadis itu ke pelukannya yang hangat. Lengan Marcell melingkar erat.

“Karena kamu hadiahnya buat aku,” bisiknya, lalu mengecup dahi Windy lembut dan mengusap kepala gadis itu dengan penuh sayang.

Setelah mereka berpisah dari pelukan, Windy menoleh ke kanan dan kiri, celingukan dengan dahi berkerut.

“Kenapa?” tanya Marcell sambil ikut menoleh, seolah mencari sesuatu yang sama.

“Kamu nggak bawa motor?” tanya Windy, menaikkan satu alisnya dengan curiga.

“Bawa dong.” Marcell menunjuk ke arah deretan ruko di kejauhan, kira-kira dua ratus meter dari tempat mereka berdiri. “Di parkir di sana.”

Windy berjinjit, memperpanjang pandangan ke arah yang ditunjuk. Samar-samar, ia memang bisa menangkap siluet motor hitam besar milik Marcell di antara kendaraan lain. “Serius?” serunya tak percaya. “Ngapain parkir jauh gitu?”

Marcell hanya terkekeh, lalu menggenggam tangan Windy dan mulai melangkah.

“Biar kita bisa jalan-jalan sedikit,” ujarnya ringan, seperti semua sudah direncanakan dengan matang. 

“Cih!” Windy mencibir sambil tertawa kecil, antara sebal dan gemas.

Memang seperti itulah Marcell, tiap hari ada saja tingkahnya. Selalu muncul dengan kejutan-kejutan kecil yang tak terduga. Kadang Windy merasa, pria ini bukan lagi teman masa kecilnya, tapi seseorang yang terus-menerus ia kenali ulang setiap hari. Rasanya seperti mencintai orang baru yang tetap punya kenangan lama bersamanya. Dan jujur saja, itu membuatnya gugup sekaligus senang.

Lihat saja penampilannya pagi ini, entah dapat inspirasi dari mana, Marcell mengenakan kemeja lengan panjang oversized berwarna merah muda, dikancing hingga ke kerah. Dipadukan dengan celana putih selutut dan sepatu sneakers simpel. Rambutnya memang sudah kembali dipotong pendek, dan kacamatanya yang tahun lalu nyaris tak pernah lepas kini jarang terlihat. Gaya berpakaiannya tak bisa ditebak. Suka-suka. Seolah setiap harinya adalah eksperimen bebas dengan identitasnya sendiri.

Untungnya, tubuh tinggi dan postur tegapnya masih membuatnya tampak mempesona, tak peduli seaneh apapun pilihannya.

Dan Windy tak keberatan. Karena sesungguhnya, bukan soal gaya yang membuat Marcell menarik di matanya. Tapi karena pria itu tak pernah berhenti jadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Mendapati Windy memandangnya terus sejak tadi, Marcell tersenyum dan melirik ke arahnya. “Kenapa?”


“Kamu beneran nggak mau kado buat ulang tahun kamu tahun ini?” tanya Windy, alisnya terangkat penuh curiga.

Lihat selengkapnya