Aku kembali ke kampung halaman. Bukan untuk liburan seperti yang dulu saat ujian akhir selesai dan kami diberikan sebulan dua bulan untuk berhenti dari segala rutinitas perkuliahan, melainkan untuk pulang yang sebenarnya pulang karena kampung halaman sejatinya tempat kembali. Pun, aku hendak pulang untuk hidup.
Aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa bernyawa atau bernapas bukan berarti telah hidup, kita bisa saja mati. Hal yang membuat kita tetap hidup ialah ketika kita bebas melakukan apa yang paling dalam pada hasrat kita. Hasratku berkata, aku harus kembali dan mengabdi di kampung halaman.
Empat tahun sudah kuhabiskan dengan teori-teori dalam bangku kuliah. Aku berteman dengan Aristoteles dan Plato, dan sesekali makan malam dengan Roger Bacon. Kucumbui buku-buku mereka sampai air liurku tersebar di setiap halaman. Sampai ketika pandanganku menggelap, aku masih saja mendengar teori-teori mereka. Kalau aku bertahan berkuliah sampai lima atau enam tahun lagi, aku mungkin akan menikah dengan salah satu dari buku-buku. Maka hal yang paling masuk akal yang mesti kulakukan, kembali.
Kembali ke kampung halaman. Mengabdi. Mempraktikkan ucapan-ucapan Aristoteles, Plato, maupun Bacon di dunia yang lebih nyata, dari sekadar buku-buku atau bangku kuliah. Memindainya menjadi sebuah objek melalui perantara papan tulis yang perlahan-lahan akan diserap oleh ribuan otak di sana.
Sejak dulu aku memang bermimpi jadi seorang guru. Bukankah menyenangkan bisa berbagi tentang apa yang telah kita dapatkan, kemudian hasil dari berbagi tersebut dapat berpindah tangan, sehingga suatu waktu nanti mereka dapat membagikannya pula pada orang lain? Bukankah menyenangkan bisa menjadi sejarah dalam hidup mereka?
Itulah hasrat yang paling dalam yang mesti kulakukan agar tetap hidup. Makanya, demi memenuhi hasratku, aku mengambil pendidikan guru sekolah dasar di Makassar setelah berkali-kali merengek pada ibuku untuk kuliah.
“Untuk apa kuliah, kalau ujung-ujungnya jadi petani?”
“Saya mau jadi guru, Bu.”
“Kamu tidak akan kaya kalau jadi guru.”
“Saya ingin mendidik anak-anak di kampung kita, Bu.”
Untungnya, saat itu bapak masih bisa mengangkat dengan punggungnya lima batang kayu yang sudah terikat rapia sehingga ada dia yang membelaku. Kata bapak, “Lakukanlah, Nak, apa yang ingin kamu lakukan, selama itu baik. Kejar cita-citamu yang setinggi mungkin walau itu menghabiskan seluruh harta Bapak.”
Aku tahu sifat Ibu. Meskipun keras kepala, dia selalu bisa mencair ketika bapak sudah menurunkan sabdanya. Maka berangkatlah aku ke Makassar hari itu dengan modal 20 juta pemberian bapak hasil penjualan sawahnya. Aku bahagia sekali sampai-sampai urat-urat leherku menegang karena teriakan kebahagiaanku, teriakan yang menggema di seluruh puncak bukit-bukit kampungku.
Setelah berkuliah, menerima gelar kependidikan, diwisuda dengan dihadiri ibu sama Kak Jaya dan Kak Nawir, aku memutuskan untuk kembali, menjadi seorang guru seperti hasratku yang paling dalam.
Lagi pula, kudengar kalau sekolah peninggalan almarhum bapak masih berdiri tegak di Desa Bontojai, desa tetangga dari kampung halamanku, Desa Pembangun, yang jaraknya sekitar 23 km. Kudengar pula sekolah itu kian memprihantikan dengan kondisi bangunan yang hampir tidak layak. Aku tidak tahu persisnya seperti apa ketidaklayakan bangunan tersebut, hanya saja beberapa kabar santer terdengar kalau bangunannya hampir-hampir dilumat tanah. Selain itu, hanya ada satu orang guru yang sekaligus menjadi kepala sekolah di sana, Pak Ridwan.
Aku tidak mengerti mengapa demikian. Namun, kabar-kabar itu tidak menyurutkan niatku untuk tetap mengabdikan diri di sana. Selain karena kemauan untuk meneruskan perjuangan almarhum bapak yang dari sehat bugar sampai jalan terbungkuk-bungkuk menjadi pengajar di sana, aku memang merasa terpanggil.
Bapakku orang Bontojai. Dia lahir dan bertumbuh di sana. Bapakku orang yang cerdas meskipun ibu dan bapaknya hanya bersekolah dasar, bahkan tidak tamat sama sekali, seperti orang Bontojai lainnya. Sekolah dengan akses yang jauh membuat mereka malas bersekolah. Beda dengan bapakku. Jauh bukan halangan untuk menuntut ilmu.
Bapakku bercerita, dia mesti jalan kaki sekitar 13 km dari rumahnya ke sekolah. Kalau hujan sedang menderas, jalanan akan tergenang dan membentuk sungai. Dia pun harus menyeberang dengan bermodalkan rakit sungai yang kedalamannya bisa menenggelamkan tubuh kecil bapakku. Bapakku bilang, sekali waktu kakinya pernah tergelincir karena alas rakit yang licin yang membuatnya sampai terjatuh ke sungai. Bapakku memang bisa berenang, tapi seragamnya dan semua buku dan pensilnya basah. Tidak patah arang, bapakku meneruskan perjalanannya dan sampai di sekolah dengan tubuh yang sudah kering. Hanya buku-buku yang akhirnya rusak.
Usai enam tahun berjuang bersekolah, bapakku diajak pamannya ke kota. Bapakku senang sekali karena dia bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Dua belas tahun tidak membuatnya puas, bapakku melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dia mengambil pendidikan guru sekolah dasar, sepertiku, dan setelah lulus, dia seperti ketiban ilham.
Bapakku bilang, “Aku tidak ingin mewariskan kesusahan. Membangun sekolah ialah langkah awal membangun generasi.” Maka bersama Pak Ridwan, bapakku mendirikan sekolah pertama di Bontojai, sehingga anak-anak di sana tidak perlu merasakan kesusahan yang sama yang dialaminya.
Bapakku dan Pak Ridwan berjuang keras mendirikan sekolah tersebut. Mula-mula, mereka hanya membangun rumah belajar di kolong rumah orang tua bapakku, yang tujuannya mengajak anak-anak di sana untuk belajar secara cuma-cuma. Lambat laun, bapakku dan Pak Ridwan kepikiran untuk membangun sekolah dasar setelah melihat anak-anak yang begitu antusias untuk belajar, tapi sayang kalau hanya sekadar belajar dan tanpa ijazah. Bapakku dan Pak Ridwan ingin anak-anak itu juga besar seperti mereka. Bisa melanjutkan sekolah. Bisa bekerja yang lebih baik.
Sekolah dasar pertama di Bontojai tersebut kemudian didirikan dengan uang simpanan bapakku dan Pak Ridwan. Sekolah yang masih punya satu gedung kelas dan satu kantor yang sangat kecil. Bapakku mengurus perizinan dan persetujuan pemerintah di kota. Pak Ridwan mengurus proposal pendanaan. Sampai akhirnya mereka berhasil membuat sekolah itu berstatus negeri yang mengiringi diangkatnya mereka oleh Pak Bupati sebagai pegawai negeri, yang artinya mereka sudah bisa mendapatkan bantuan pemerintah. Perlahan-lahan, sekolah itu sudah punya empat gedung kelas dan satu buah kantor yang sudah diperbesar. Sekolah dengan dinding kayu dan beton sebagai lantainya.
Bapakku menikah dengan ibuku yang orang Pembangun. Bapakku meninggalkan Bontojai karena seluruh keluarga bapakku juga pergi dari desa di atas bukit itu, tapi tidak dengan sekolah yang dia bangun. Setiap hari, setiap angin pengarak pagi berembus, bapakku berangkat ke sekolah itu, berjalan kaki, melewati sungai, jembatan yang hampir putus, dan jalanan yang terjal. Sesekali, bapakku bermalam berhari-hari kalau hujan terus saja turun seperti kran air yang bocor sampai membuat ibuku merajuk dan tidak ingin melihat hidung bapakku. Walaupun begitu, bapakku tidak menyerah sebab bukankah saat masih jadi siswa dulu dia pun begitu. Berkat kegigihan bapakku, banyak anak-anak Bontojai yang akhirnya bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya, meskipun tidak sedikit juga yang setelah lulus sekolah dasar memilih untuk hidup sebagai seorang petani, paling tidak angka buta huruf di Bontojai kian berkurang.
Sayang sekali, jantung kronis menghantam dadanya saat kejayaannya membangun generasi. Dan aku pikir, akulah yang harus meneruskan semua perjuangannya.
***
Akhir-akhir ini cuaca benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang birunya langit hanya diisi awan-awan putih yang kecil, tiba-tiba dalam waktu sekilas, awan-awan itu menggunung, menggelap, langit kehilangan birunya, lalu hujan. Seperti saat kami dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dari Makassar tiga hari yang lalu, setelah menghadiri wisuda dan malam ramah tamah kampus, teriknya Kota Daeng menghunus pori-pori wajah kami, tapi mendadak di tengah perjalanan, hujan segera saja menderas seolah-olah tidak ada terik hari itu.
Serupa hari ini, selepas menghamparkan biji kakaonya di atas terpal biru besar di halaman rumah, Ibu kembali berlari sempoyongan sambil berteriak-teriak, “Mau hujan. Cepat bantu Ibu!” Aku langsung merampas sandal jepit di kolong bangku panjang bawah rumah, lalu berlari mengekori Ibu.
“Perasaan baru beberapa menit yang lalu, Bu, kita jemur,” keluhku.
Ibu menatapku sambil menyeringai. “Ya sudah, Sam. Kerjakan saja, keburu hujan.”
Biji kakao yang sudah hampir menggelap itu segera dimasukkan ke dalam karung. Aku memegangi karungnya, membuatnya lubang besar agar biji-biji kakao itu bisa masuk dengan mudah, sementara Ibu menyekop biji-biji itu ke karung dengan sekop buatan dari jergen bekas sambil menjongkok.
“Jangan kebanyakan mengeluh, Sam. Jangan mentang-mentang lama tinggal di kota, jadi lupa kalau kita ini orang desa.”
“Bukan begitu, Bu. Tapi...”