Pagi sekali aku ke rumah Pak Bustan, juragan hasil bumi itu. Kata Ibu, Pak Bustan kemarin ke luar rumah sehingga Ibu tidak sempat menemuinya sementara Ibu tidak mau kalau bukan Pak Bustan yang menimbang karungnya, juga bukan Pak Bustan yang langsung menentukan harga untuk hasil buminya. Memang, Ibu tidak pernah percaya pekerja Pak Bustan, atau bahkan istri Pak Bustan itu sendiri karena mereka kadang memberi harga yang sangat rendah sama Ibu. Beda sekali dengan Pak Bustan yang selalu menawarkan harga yang menyenangkan hati Ibu. Bagaimanapun, Ibu teman lama Pak Bustan. Olehnya, Ibu terpaksa menitipkan karung kakao itu di rumah Pak Bustan, dan akan datang lagi esoknya, yaitu hari ini.
Ibu sebenarnya ingin datang sendiri, tapi lagi-lagi Kak Jaya memintaku pergi. “Sudahlah, Bu,” kata Kak Jaya sambil menyudutkan matanya padaku, “Ibu cukup istirahat di rumah. Ibu sudah bekerja dengan sangat keras. Serahkan sama anakmu yang punya sekolah yang lebih tinggi itu.”
Tanpa memandang Kak Jaya, aku langsung menyerahkan diri. Ibu menatapku cukup lama, baru kemudian mengangguk mengiyakan. “Baiklah, Sam. Kalau memang kamu ingin pergi, pergilah. Sampaikan saja sama Pak Bustan kalau itu punya Ibu. Insya Allah, dia akan memberikan harga tinggi padamu. Kalau Pak Bustan tidak ada, lebih baik kamu kembali.”
Maka di sinilah aku sekarang di rumah Pak Bustan pagi ini. Laki-laki yang seumuran dengan Ibu itu untungnya tidak keluar rumah. Dia sedang menyesap kopinya sambil mengangkat sarungnya tinggi-tinggi sebidang pusar sampai perutnya yang besar itu menonjol di depan rumahnya. Dia segera berdiri, perutnya bergoyang, saat aku masuk ke pekarangan rumahnya yang cukup luas. Pak Bustan termasuk warga Pembangun yang cukup kaya di antara semua warga biasa seperti kami. Rumahnya merupakan rumah panggung dari kayu jati merah.
“Asalamualaikum, Pa,” seruku, dan Pak Bustan tersenyum menanggapi salamku.
“Waalaikumsalam. Nak Sam,” pada detik itu, aku pikir dia telah lupa denganku, tapi ternyata tidak, dan dia memang memanggilku dengan panggilan ‘Nak’ karena dia sering menganggap semua anak Ibu dan Bapak keponakannya, “Bagaimana kabar ibumu?” tanyanya sementara kuraih tangannya dan menciumi punggung tangannya.
“Alhamdulillah. Ibu baik-baik saja, Pak. Bagaimana kakao ibuku, Pak?”
“Bapak sudah timbang. Sebentar, Nak Sam.” Pak Bustan masuk ke gudang di bawah rumahnya sebentar, dan kembali lagi dengan sejumlah uang di tangannya. Dia menyerahkan uang itu sambil lagi-lagi tersenyum. “Ini, Nak. Jangan lupa sampaikan salamku sama ibumu. Lama sekali kami tidak bertemu. Kemarin Bapak berangkat ke kota, jadi tidak sempat ketemu. Padahal ibumu pasti sudah bela-belain ke sini, soalnya biasanya kakakmu, Jaya, yang hantar hasil panennya.”
Aku cukup terkejut mendengar kalimat yang datang dari Pak Bustan. Selama ini, Kak Jaya yang mengantar hasil panen? Masalahku pasti benar-benar berat sampai Ibu bersikeras mengantarnya sendiri. Di sisi lain, aku berusaha tetap positif. Ibu ingin karena dia memang ingin, bukan karena aku sendiri.
“Bagaimana kota, Nak Sam, lebih bagus tidak dengan di desa?” tanya Pak Bustan, sedikit mengalihkan pikiranku yang sedang terbang ke mana-mana.
“Desa jauh lebih baik, Pak,” kataku. “Kalau di kota, orang-orang sibuk dengan dirinya sendiri. Disapa malah diam saja, hehe.” Aku tertawa kecil, dan Pak Bustan ikut tertawa bersamaku, sementara perutnya semakin bergoyang hebat.
“Desa, kota, sebenarnya sama saja, Nak Sam, tergantung bagaimana kita memandangnya. Kalau memandangnya dari sisi negatif, maka yang keluar semuanya berbau negatif. Begitu pula kalau memandangnya dari sisi positif, pasti yang keluar positif juga,” tutur Pak Bustan bijak.
“Apa rencanamu setelah kembali, Nak Sam?” Pak Bustan melanjutkan bertanya. Pertanyaan yang entah membuatku kembali teringat dengan wajah ibu yang tiba-tiba merah karena jawaban dari pertanyaan yang sama.
Kurendahkan punggungku, lalu menjawab dengan cukup pelan, “Insya Allah, saya akan ke Bontojai, lalu mendaftar guru di sana, Pak.”
“Di SDN Bontojai?”
“Iye, Pak.”
“Kamu serius akan mengajar di sana, Nak Sam?”
Aku refleks mengangguk seakan-akan jawaban itu memang datang langsung dari celah-celah di pikiranku, meskipun sebagian celah lainnya masih berisi wajah Ibu yang merah atau tatapannya yang sangat tajam.
“Kamu semakin mirip bapakmu saja, Nak Sam.” Pak Bustan terkekeh. “Bagaimana ibumu? Apa dia tidak melarangmu mengajar di sana?”
Dan akhirnya, aku menjadi seonggok batu di hadapan Pak Bustan. Aku benar-benar bingung harus memberikan jawaban seperti apa, sementara aku belum benar-benar tahu Ibu menginginkan atau tidak menginginkan aku mengajar di Bontojai. Karena aku terlalu lama membatu, Pak Bustan kembali angkat bicara. “Ibumu memang seperti itu, Nak Sam,” kata Pak Bustan. “Dia cukup keras. Tapi begitulah dia menyampaikan cinta.” Pak Bustan tersenyum tipis dan aku berusaha memahami kalimat-kalimatnya.
Pukul sembilan aku pulang dari rumah Pak Bustan. Masih banyak lagi yang kami bicarakan pagi ini, tentang Kak Jaya, tentang Kak Nawir, atau tentang rencanaku setelah benar-benar jadi pengajar di Bontojai nanti, tapi sepertinya bukan terlalu penting untuk keceritakan. Aku pulang dengan motor honda karisma peninggalan almarhum bapak. Motor ini cukup bersejarah karena saat Bapak masih bugar dulu, motor inilah yang mengantarnya untuk berjuang membangun generasi. Sekarang, akulah yang diberikan sebuah penghormatan setinggi-tingginya untuk mengendarai motor ini. Kak Jaya sempat iri karena akulah yang diberikan motor, bukan dia, padahal inilah motor satu-satunya yang keluargaku punya, tapi karena saat itu Bapak yang langsung mendapukku memakai motor itu untuk berkuliah, Kak Jaya hanya bisa pasrah.
Kulewati jalanan desa yang basah sisa hujan semalam. Jalanan dengan aspal rusak, berlubang di mana-mana, dan kalau lagi kering debunya bakal seperti kabut yang menyelimuti seluruh desa. Kulewati jalanan dengan orang-orang desa yang lalu lalang. Ada yang memanggul beberapa potong kayu, ada yang menarik sapi-sapinya, ada yang hanya sekadar berjalan biasa. Semua orang yang berpapasan denganku paling minimal melempar senyumnya, atau bahkan mereka akan berteriak menyebut namaku. Itulah hangatnya desa yang sulit ketemukan di kota.
Aku tiba di rumah saat matahari mulai terik-teriknya. Saat langkahku baru saja menapaki tangga ketiga rumahku, sudah kudengar suara Ibu dan Kak Jaya yang sedang berdebat di kamar Ibu, kamar yang condong di bagian depan rumah. Suara mereka tidak terlalu keras, bahkan terbilang seperti sedang berbisik, tapi suaranya masih cukup jelas terdengar karena nadanya sama-sama sangat tajam.
“Sudah kuputuskan, Bu, Jaya sama Rahma sama anak kami akan berangkat ke kota besok hari. Kami tidak bisa berharap terus dengan desa karena desa tidak bisa memberikan kami banyak hal. Kalau kami ke kota, seperti Kak Nawir, hidup kami mungkin akan lebih beruntung.” Suara Kak Jaya menggebu.
“Tapi, Jaya, memangnya kalian sudah tahu akan ke mana? Atau kerja apa nantinya di sana?”
“Untuk sementara, kami akan tinggal di rumah sepupunya Rahma sampai mendapat kontrakan yang cocok. Kalau soal kerja, di kota banyak kerjaan, Bu, kita tinggal milih mau kerja di mana.”
“Adikmu?”
“Dia sudah dewasa, Bu. Dia harusnya tahu bagaimana bersikap.”
Aku menelan ludah. Aku yakin situasinya semakin sulit. Kulanjutkan kemudian langkahku, bunyi derik dari tangga kelima menghentikan perdebatan mereka. Kudengar suara kaki Kak Jaya berjalan. Dia mungkin pergi meninggalkan Ibu.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah, lantas kudapati Kak Jaya dengan tatapannya yang sinis melangkah ke luar. Dia tidak mengatakan apa-apa selain tatapannya itu. Aku tidak mengerti mengapa dia memiliki tatapan semenyakitkan itu.
Pun aku segera masuk, lalu menemui Ibu. Kulangkahkan kakiku pelan, sangat pelan, menuju kamar Ibu. Pintunya terbuka lebar. Dari luar, kulihat Ibu sangat jelas sedang duduk di kasurnya dengan pandangan dia lempar ke jendela kaca. Saat kakiku menyentuh lantai kamarnya, dia langsung berpaling ke arahku. Tatapannya basah.
“Sam?” seru Ibu, suaranya serak, seperti orang yang sedang menahan tangisnya cukup kuat. “Bagaimana? Pak Bustan ada?”
Aku mengangguk. Untuk berkata ‘iya’ saja sepertinya aku tidak sanggup setelah melihat wajah Ibu sesendu itu. Kemudian, aku berjalan pelan menghampiri Ibu, sangat pelan sampai derik yang biasa terdengar ketika kami berjalan di rumah kami hampir-hampir tidak terdengar. Aku lalu menyerahkan uang yang kudapatkan dari Pak Bustan. Ibu menerimanya seraya memaksakan senyum bertengger di wajahnya. Setelah itu, aku berpaling dan pergi. Belum sempat kulangkahkan semua kakiku meninggalkan kamar Ibu, Ibu kembali memanggilku. Aku menoleh, dan dia menyuruhku duduk di sampingnya. Kulakukan segera sesuai yang dia mau. Aku duduk di sampingnya dengan tangan melipat ke paha. Tiba-tiba, aku merasakan tangan Ibu menyentuh punggungku. Tangannya teramat dingin.
“Nak,” kata Ibu.