Teratai di Atas Bukit

Justang Zealotous
Chapter #3

Berkat

Langit teramat cerah saat aku berangkat ke Bontojai. Sudah tiga hari terakhir ini memang hujan tak menunjukkan diri. Aku cukup bersyukur sebab perjalanananku akan lebih mudah kalau jalanan lebih kering. Motorku tak perlu bekerja ekstra dan aku juga tak harus merepotkan orang lain untuk turun demi membantuku menanjak. Meski sebenarnya, kita tidak pernah tahu kapan hujan akan turun dan kapan matahari akan sepanjang hari bersinar sebab kadang hujan itu turun saat matahari lagi terik-teriknya.

Ibu sementara memasak air dengan panci besar dan kayu bakar di kolong rumah saat aku pamit. Seperti kemarin, Ibu lagi-lagi hanya tersenyum mengantar keberangkatanku ke Bontojai. Ibu tak banyak bicara selain menyuruhku untuk tetap jaga diri selama berada di desa perbukitan itu.

“Sam janji akan pulang setelah mengajar, Bu. Sam janji, seperti kemarin, sepulang dari Bontojai, Sam akan langsung mengurus kebun. Dan kalau Sam berangkat ke kebun, Ibu cukup beristirahat di rumah. Sam tidak ingin melihat Ibu semakin letih sehabis berkebun.”

Kemarin sepulang mengajar, aku memang langsung beranjak ke kebun yang tak jauh dari rumah, bahkan hampir-hampir di belakang rumah, setelah menyantap nasi, sayur bayam, dan tempe goreng buatan Ibu, setelah bercerita banyak perihal Bontojai, jalanan yang menantang, bukit-bukitnya yang asri, sampai Pak Ridwan yang ternyata suka membanyol. Selama santap siang dan bercerita, Ibu sekali lagi tak banyak menanggapi selain senyum yang tak pernah lepas dari wajah tuanya. Saat ke kebun, Ibu masih keras kepala untuk ikut walau aku berkali-kali menyuruhnya untuk istirahat di rumah. Aku tak ingin melihatnya capai, tapi dia ngotot. Alhasil, malamnya aku berkali-kali mendengar Ibu melenguh sakit di dalam kamarnya.

***

Aku tiba di Bontojai lebih pagi ketimbang kemarin. Berkat hujan yang sudah tidak turun tiga hari, jalanan benar-benar kering dan aku benar-benar tidak kepayahan menanjak. Hanya sekali atau dua kali ban motorku tergelincir ketika bertarung dengan batu-batu besar, tapi masih mampu kukendalikan. Aku berharap kondisinya akan selalu seperti ini.

 Saat tiba, kulihat siswa-siswa Bontojai berlarian menghambur ke halaman sekolah, lebih banyak daripada kemarin. Barangkali ada sekitar sepuluh siswa yang datang, atau mungkin lebih. Siswa-siswa yang datang itu begitu riang dengan ribuan kesederhanaan yang memeluknya. Mereka berlarian sambil tertawa-tawa selayaknya anak kecil. Mereka seakan-akan tak pernah membawa beban di atas pundak mereka. Padahal kulihat dari seragam yang mereka kenakan sebenarnya hampir-hampir tak layak dipakai. Ada yang sudah koyak. Ada yang kancingnya terlepas. Bahkan ada yang hanya mengenakan kaos biasa. Dan semuanya, tak bersepatu. Hanya sandal yang mengalas di kaki mereka.

 Pak Ridwan sempat bilang, “Kami tidak pernah mempermasalahkan kalau siswa hanya pakai kaos biasa saat datang ke sekolah. Ya, memang begitu kondisinya. Mau bagaimana lagi? Begitu pula, kalau pakaiannya sudah robek, kancingnya lepas, atau tidak bersepatu, tidak pernah jadi masalah yang serius di sekolah ini. Hal yang penting ialah ketika mereka datang dan belajar.”

“Sebenarnya,” lanjut Pak Ridwan. “Kadang ada orang luar datang ke sekolah ini dan membawa seragam sekolah, lalu dibagikan pada anak-anak. Namun, mereka tak melulu datang, mungkin sekali atau dua kali setahun. Sementara itu, pakaian anak-anak di sini cepat sekali rusak. Barangkali, mereka tidak hanya mengenakannya untuk belajar, tapi juga bertani.”

Seperti biasa, aku memarkirkan motorku di pinggir lapangan. Tidak lupa motor itu lehernya kukunci karena Pak Ridwan juga bilang kalau di Bontojai, kita mesti sedikit waspada. Entah apa maksudnya, aku hanya perlu patuh untuk tetap bertahan di desa perbukitan ini. Setelahnya, aku berjalan ke gedung kelas yang menghadap ke selatan. Ada tiga kelas yang berderet di sana, dan aku masuk di kelas yang berada di tengah. Melihatku masuk di kelas itu, siswa-siswa yang sedang bermain-main di halaman sekolah segera berlarian mengikutiku.

Sebelumnya, Pak Ridwan sudah membagi kelas untuk kami berdua. Kelas 1, 2, dan 3 akan diajar olehnya, sementara kelas 4, 5, dan 6 diserahkan padaku. Karena sendiri, aku memilih menggabung mereka. Lagi pula, mereka tak cukup banyak dan kupikir tingkat keilmuan yang mereka punya jaraknya tidak teramat jauh sehingga tidak akan memusingkan kelas.

Siswa-siswa kelas 4, 5, dan 6 sudah duduk di bangku mereka masing-masing. Bangku-bangku yang disusun seperti huruf U. Aku kemudian berdiri di tengah-tengah setelah tas ranselku kuletakkan di meja guru yang berada di depan dekat papan tulis.

“Asalamualaikum, adik-adik,” seruku yang lantas disambut mereka dengan suara yang riuh. Suara yang mendadak membuat bulu kudukku berdiri. Aku merinding haru.

“Adik-adik,” lanjutku dengan masih memanggil mereka dengan sebutan ‘adik-adik’ meski Pak Ridwan sudah mengingatkanku untuk memanggi mereka dengan sebutan ‘anak-anak’. Menurut Pak Ridwan, hubungan emosional orang tua dan anak itu berbeda dengan kakak dan adik. Orang tua dan anak itu ikatannya lebih kuat. Tapi, aku belum terbiasa, dan sedikit merasa aneh mengingat usiaku yang masih sangat muda. “Bagaimana kabar kalian?”

“Sehat, Pak.” Sekali lagi suara mereka riuh membalas pertanyaanku. Dan lucunya, mereka malah memanggilku ‘Pak’, dan aku tetap merasa aneh dengan itu.

“Karena di sini ada tiga kelas, Kakak mau kelas 4, 5, dan 6 berpisah. Kelas 4 di sebelah kiri, kelas 5 di tengah, dan kelas 6 di sebelah kanan. Bisa?”

Mereka tak membalas kalimatku. Mereka langsung menghambur sambil berteriak-teriak mencari bangku kembali sesuai dengan arah yang kubagi. Setelah semuanya duduk di bangku mereka, teriakan-teriakan mereka masih belum berhenti.

“Kelas empat mana suaranya?” Aku berteriak, mengalihkan mereka, dan semua siswa di sebalah kiri segera bersorai, dan yang lainnya diam, begitu pula ketika kusebut kelas lima maupun enam. Namun, setelah kusebut ketiga-tiganya, semua kembali riuh, ribut, ramai.

“Adik-adik, coba dengarkan Kakak!” Aku kembali berteriak, kembali mencoba mengalihkan mereka, dan berhasil, mereka diam. “Hari ini hari pertemuan pertama kita di kelas. Oleh karena itu, Kakak ingin memperkenalkan diri. Nama Kakak, Samsul, adik-adik bisa memanggil Kakak ‘Kak Sam’. Kakak tinggal di Pembangun.”

“Halo, Pak Sam,” riuh mereka, masih memanggilku dengan sapaan ‘Pak.”

“Setelah itu, Kakak ingin...”

Kalimatku terputus. Seorang siswa lainnya tiba-tiba muncul di mulut pintu. Seorang siswa laki-laki dengan wajah ovalnya yang penampilannya cukup rapi dibanding yang lainnya, seragamnya bersih dan tidak koyak, kancingnya utuh, meski masih bersandal. Dia seperti baru saja berlari dengan sangat kencang karena suara napasnya yang menderu begitu jelas terdengar, ditambah dengan peluh yang basah di jidatnya.

“Maaf, saya terlambat,” katanya dengan suara yang timbul tenggelam. Dia masih berusaha mengatur napasnya.

“Iya, tidak apa-apa. Masuk saja. Kamu kelas berapa?”

“Kelas 6.” Dia menjawab sambil berkali-kali menarik-buang napasnya.

“Kalau begitu, silakan ambil tempat duduk di sebelah kanan.”

Anak itu mengangguk lalu mengambil bangku yang masih kosong di ujung kiri depan.

Sementara itu, aku melanjutkan. “Siapa tadi nama Kakak?”

“Pak Sam,” serempak mereka berteriak, kecuali anak yang tadi yang tampak kebingungan.

“Karena kalian sudah kenal nama Kakak, selanjutnya, Kakak yang ingin kenal kalian. Jadi, Kakak ingin satu per satu berdiri di depan kemudian mempernalkan dirinya dan cita-citanya. Bisa?”

Lihat selengkapnya