Hujan akhirnya berhenti menderas ketika jarum pendek pada jam di atas mulut pintu ruangan Pak Ridwan melewati sedikit angka empat. Hujan sebenarnya berkali-kali berhenti, tapi tidak sampai enam puluh detik, air yang jatuh kembali dengan kencang. Namun, saat itu, sudah lebih dari sepuluh menit, hujan hanya merintik.
“Saya harus pulang sekarang,” ucapku cukup yakin.
Suaraku yang lumayan keras ketimbang rintikan hujan itu membangunkan Pak Ridwan yang sedang tidur ayam dengan berbantalkan tangannya di meja kerjanya. Dia mengusap wajahnya lebih dulu sebelum menyahut ucapanku tadi. “Tinggal di sini saja, Pak Samsul. Jalanan pasti longsor kalau hujannya selama tadi.”
“Saya tidak bisa tinggal di sini, Pak. Ibu saya sendirian di rumah. Dan saya sudah janji akan pulang.”
“Ibumu pasti mengerti. Hujan itu bukan keinginanmu.”
“Tapi, Pak...” Aku menatap Pak Ridwan nanar.
“Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya dalam keadaan bahaya.”
Sayangnya, kalimat sebijak itu yang keluar dari mulut Pak Ridwan tidak cukup besar untuk melawan keras kepalaku untuk pulang. Aku tetap bersikukuh turun dari Bontojai. Pak Ridwan pun tidak punya banyak tenaga untuk terus menahanku pergi.
Kulebarkan telapak tanganku ke langit. Rintikan hujan tidak cukup membasahi dan membuatku semakin yakin untuk pulang. Kuambil motorku di pinggir lapangan, lalu kutancap gasnya. Aku sempat menatap Pak Ridwan yang menggeleng-geleng memadangiku pergi sebelum motorku kulaju dengan segera.
Jalanan desa agak licin sehingga aku mesti mengerahkan cukup tenaga agar tidak tergelincir. Sementara itu, aroma tanah basah gara-gara hujan yang tadi meruap sampai ke hidung. Itu perasaan yang sebenarnya damai ditambah embusan angin yang membawa sisa-sisa hujan, tapi perasaan gelisah lebih banyak memenuhi rongga dadaku.
Keluar dari pemukiman desa, tampaklah deretan pohon pinus yang mulai dipeluk kabut dan jurang-jurang yang kini membentuk lautan awan. Jalanan juga mulai berkelok-kelok turun, lumayan licin seperti jalanan berbatu itu baru saja dilumuri minyak pelumas, tapi motorku masih mampu mengambil alih. Sampai entah pada kelok keberapa, tanah dan batu menggumpal menutup jalan.
“Sial!”
Hampir-hampir aku menubruk gumpalan tanah itu, atau lebih parah, motorku nyaris terjun ke jurang. Untungnya, aku bisa mengerem pada waktu yang tepat. Tapi, gumpalan tanah itu akhirnya menghentikan niatku untuk pulang. Aku pun hanya bisa berdiri memandangi gumpalan tanah itu dengan perasaan yang dilumat-lumat, sedang pikiranku kini mulai membayang wajah Ibu beserta tatapannya yang tajam.
Dan terpaksa, aku memutar balik.
Aku kembali ke Bontojai, kembali ke sekolah. Kumasuki halaman sekolah dengan amat gelisahnya. Kuparkirkan kembali motorku di pinggir lapangan, lalu turun dari motor sambil menunduk pilu. Tidak pernah terbayangkan olehku akan mengingkar janji secepat ini.
Selesai membuang napas kuat-kuat, kuangkat wajahku. Seorang pria yang asing sedang membawa bantal dan guling tiba-tiba terlihat di depan kantor. Kami berpapasan muka beberapa detik. Lalu, suara Pak Ridwan dari dalam kantor terdengar berteriak, “Sabri, bawa bantal itu ke dalam!” Pria yang asing itu kemudian masuk ke kantor.
Lantas, aku segera menuju ke kantor. Seperti dugaanku, Pak Ridwan sontak tertawa sesaat melihatku dengan muka masam berdiri di mulut pintu.
“Sudah Bapak bilang. Longsor, kan?”
Aku hanya mampu tersenyum kecut.
“Ya sudah, malam ini Pak Samsul tidur di sini. Bapak juga sudah menyiapkan bantal sama sarung. Untuk matras, nanti Sabri yang bantu angkat ke sini.”
“Iya, Pak, terima kasih,” ucapku, cukup lemas. Sekali lagi, aku belum bisa menerima kenyataan bahwa aku benar-benar telah mengingkar janji pada Ibu.
***
Sebelum magrib, aku sudah selesai menyiapkan beberapa ember air yang kuambil dari sungai yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Sungai yang tak teramat luas tapi alirnya sangat deras karena habis hujan itu sumber air lain selain mata air di atas bukit yang dialirkan ke rumah-rumah di Bontojai dengan menggunakan selang-selang. Namun, karena air dari aliran yang turun ke rumah-rumah itu serupa kopi susu yang dingin saat hujan habis deras-derasnya, sungai di daratan menjadi pilihan. Beberapa aktivitas yang membutuhkan air banyak dilakukan warga di sana seperti mandi, mencuci, sampai buang hajat. Menyiapkan air pun menjadi penting sebelum malam tiba karena ketika matahari itu benar-benar mulai tenggelam, desa akan tampak menyeramkan dengan gelapnya, dan sangat jarang warga desa berani turun sungai ketika desa mulai menghitam.
Satu buah pelita juga sudah kusiapkan. Lagi dan lagi Pak Ridwan yang membawakannya untukku. Menurutnya, sinar pelita menjadi sumber pencahayaan yang paling efektif di Bontojai. Kalau rembulan sedang sempurna, cahayanya mungkin bisa menerangi Bontojai, tapi mengingat cuaca akhir-akhir ini lebih sering tidak bersahabat, rembulan jadi sulit untuk diandalkan.
Sebenarnya, desa sudah memprogramkan untuk pengadaan kincir air sebagai solusi mendapatkan listrik sementara sebelum pemerintah pusat sedikit bergerak hatinya untuk menyentuh desa dengan lisrik dari PLN, tapi program itu terus tenggelam dan tidak pernah menemui titik penyelesaian. Pak Ridwan, dan segelintir warga yang mencoba untuk maju akhirnya cuma bisa pasrah menerima Bontojai menjadi desa tertinggal, terdepan, terluar, dan terlupakan.
Warga desa mungkin mengerti mengapa pengadaan listrik di Bontojai sangatlah sulit. Selain karena Bontojai yang berada di atas bukit dan dikelilingi bukit-bukit yang menjulang lainnya, beberapa area untuk penanaman tiang listrik rawan longsor, serta ada banyak hutan lindung yang tidak mungkin dirusak hanya karena kegoisan menginginkan cahaya yang sempurna. Tapi, sampai kapan Bontojai tenggelam dalam kegelapannya.
“Ini untuk makan malam, Pak Samsul. Seadanya, tapi lumayan enak,” kata Pak Ridwan seraya meletakkan rantang makanan di atas meja. Saat itu, aku sedang mengatur posisi meja dan kursi di kantor dengan merapatkannya ke dinding untuk bisa mendapatkan ruang yang cukup luas untuk kujadikan tempat tidur.
“Terima kasih banyak, Pak.”
“Bapak pulang dulu. Kalau Pak Samsul butuh sesuatu, datang saja ke rumah.”
“Iya, Pak. Sekali lagi, terima kasih.”
Area untukku tidur selesai. Magrib pun akhirnya usai. Desa yang cantik dengan hijaunya itu benar-benar mulai menghitam. Hanya cahaya dari pelita yang menjadi penerang, meskipun terangnya belum sanggup mengalahkan remangnya desa. Beruntung, aku sudah menyantap makan malamku sebelum gelap. Selain itu, desa sungguh-sungguh sepi mengingat tidak banyak pemukiman di daerah sekitar sekolah. Hanya kicauan burung, atau nyanyian jangkrik yang terdengar.
Malam itu pun kuisi dengan Asphalt Nitro dari ponsel pintarku yang dayanya masih sebetulnya sudah lumayan berkurang, 67%. Tidak ada hal yang bisa kulakukan dengan ponsel pintarku jika sinyalnya mati, selain bermain game. Jangankan berinternet, menelepon atau mengirim pesan singkat pun tidak bisa.
Daya ponselku habis 15% ketika bunyi gedebuk terdengar di samping sekolah. Aku terkejut dan membuatku sontak berteriak, “Kucing!!!” Menurut Ibu, demi menghilangkan perasaan takut akan setan, kita harus mengalihkannya dengan hal yang masuk akal seperti mengambinghitamkan binatang. Namun, waktu berselang, suara kaca terketuk yang lanjut terdengar. Aku menarik napas, berusaha mengalihkan kembali pikiranku tentang setan pada kemungkinan yang lain, seperti daun yang dilempar angin lantas mengenai kaca.
Karena ketukan itu kembali terdengar, aku memutuskan untuk keluar sambil mengarahkan senter ponselku ke kegelapan, tapi aku tidak menemukan apa-apa selain angin yang mulai berembus kencang. Aku pun segera menutup pintu dan jendela erat-erat, lalu kembali dan mencoba untuk tidur.
Kusarungkan badanku, kututupi wajahku dengan bantal, tapi nyamuk ternyata mulai ganas. Ia mengigiti kulit-kulitku dan aku terpaksa menepuk diri berkali-kali. Selain nyamuk, selain suara ketukan di kaca yang masih saja terdengar, pikiranku tentang nasib ibu yang sendirian di rumah terus menyiksaku sehingga setiap kali aku mencoba menutup mata, aku terus-terusan terbangun. Berulang-ulang kuputar badanku. Ke kiri. Ke kanan. Nihil. Aku tetap tidak berhasil tidur, meski kantuk sebenarnya sudah hendak menelanku.
Entah pada jam berapa akhirnya aku tertidur, atau entah aku benar-benar tertidur atau tidak, tapi suara guntur yang cukup keras mengejutkanku. Aku sontak bangun sempoyongan. Kupikir ada ledakan yang mungkin saja akan menewaskanku. Menyadari kalau itu hanya sekadar guntur yang bersahut-sahutan, aku mengatur napasku sebelum kembali terbaring. Mataku pun perlahan-lahan menutup, dan hujan akhirnya turun, sekali lagi.
Oh Tuhan, sampai kapan aku menelan ludahku sendiri?
***
“Bagaimana malammu, Pak Samsul?”
Suara Pak Ridwan dan bunyi tarikan kursinya membangunkanku. Sebenarnya, aku belum benar-benar sadar secara penuh, dan rasanya aku masih ingin tertidur panjang hari itu, tapi saat kulihat dengan mata yang setengah terbuka jam di ponseku, pukul 07.16, aku segera bangkit seperti cacing kepanasan.
Tidak pernah terbayangkan aku akan mengalami malam yang begitu menggelisahkan. Aku harus bertarung dengan perasaan takut, gelisah yang berkepanjangan, nyanyian nyamuk yang terus mendenging di telingaku ditambah gigitannya yang sepertinya menghasilkan merah-merah di kulitku, sampai suara hujan yang kian lama kian sumbang. Namun, setelah berpikir ulang, ini resiko dari hasratku sendiri.
Aku masuk ke kelas setelah siswaku sudah berkumpul di ruangan sembilan kali delapan meter itu. Aku masuk sambil menguap berkali-kali. Kutahu, kantukku belum sepenuhnya hilang. Lagi pula, aku tidak sempat mandi. Hanya kubasuh wajahku dengan air yang seperti baru dikeluarkan dari lemari pendingin. Setelahnya, aku menyantap beberapa potong kue pemberian Pak Ridwan. Kue yang dibelinya di samping rumahnya. Pak Ridwan bilang, ada penjual kue yang enak di sana. Dan kue itu sudah cukup menjanggal perutku.
Di kelas hari itu, Ahmad tidak datang. Kupikir dia terlambat seperti sebelumnya, tapi dia tidak juga memunculkan batang hidungnya sampai kelas berakhir. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Hanya saja, aku cukup menyayangkan ketidakdatangan salah seorang siswa pintarku itu. Walaupun begitu, semangat anak-anak Bontojai lainnya untuk belajar sudah bisa membuatku kembali berkobar.
Perasaan takut, gelisah, dan bahkan kantukku hilang tiba-tiba sesaat melihat suara mereka yang riuh rang, antusias mereka dalam menerima setiap ilmu yang kusampaikan. Memang benar. Tidak ada hal yang benar-benar menyenangkan selain melakukan apa yang memang kita senangi. Dan, aku senang mengajar.
Setelah kelas, hujan lagi-lagi turun. Aku tidak mengerti mengapa semesta seperti mengahanku untuk tetap tinggal di Bontojai berhari-hari. Padahal, aku tidak bisa membohongi diriku kalau kekhawatiranku perihal kondisi ibu teramat besar. Dia sendirian. Dia kesepian. Aku jadi ingat kata-kata Kak Jaya, aku hanya akan melakukan apa yang bapak pernah lakukan pada Ibu.
Aku khawatir pada Ibu, tentu. Aku gelisah dengan janjiku sendiri, pasti. Namun, itu bukan berarti aku menyerah untuk mengajar di Bontojai. Aku sudah di sini. Aku sudah menyerahkan kekhawatiran dan kegelisahanku. Lantas, mengapa aku harus mengalamatkan kesia-siaan. Ketika hujan tidak turun lagi, seperti kata Pak Ridwan, Bontojai membutuhkan dua sampai tiga hari berturut-turut dikepung matahari, barulah akses turun bukit itu ada, dan akhirnya aku bisa pulang ke Pembangun, aku akan tetap kembali ke Bontojai, tempat sejatinya aku pergi.
***