Setelah hampir seminggu aku di Bontojai, setelah dua hari langit tidak lagi merajuk dan menangis, aku segera kembali ke Pembangun. Kulajukan motorku kencang seolah-olah sedang berlomba dengan hembusan angin. Berkali-kali aku tertahan karena jalanan yang licin, jalanan yang berkelok, jalanan yang sepertinya hendak membunuhku, tapi aku tetap berjuang sampai aku berhasil meninggalkan Bontojai. Siapa lagi kalau bukan demi bertemu Ibu? Apa lagi kalau bukan demi memenuhi janjiku yang sebetulnya telah kuingkari lebih dulu?
Tiba di Pembangun, aku dikejutkan dengan kehadiran Kak Nawir dan Kak Jaya yang sedang terduduk di beranda rumah panggung kami. Mereka terduduk dengan wajah sekelam langit di Bontojai beberapa hari kemarin. Sendu. Entah apa yang telah terjadi pada Ibu yang membuat kedua kakakku itu tiba-tiba mendatangkan diri.
Selepas kusimpan motorku di kolong rumah kami, selepas menapaki tangga demi tangga, Kak Jaya sekonyong bangkit dari duduknya lalu menghampiriku dengan urat leher menegang, wajah yang setengah merah, dan bibir menggerundel, bahkan sebelum aku sempat bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kak Nawir juga tampak segera berdiri di belakangnya, mungkin berusaha menahan kakak keduaku itu, tapi gagal. Tangan Kak Jaya yang bergetar itu keburu merenggut kerahku, dan membuatku terpojok. Dia mendengkus kasar.
“Bukannya kau sudah berjanji akan menjaga ibu selepas kami pergi? Apa buktinya? Kau sudah membuat ibu terbaring sakit di ranjangnya. Kau tahu tidak itu?” Kak Jaya mendengus lagi. “Kau pasti tidak tahu, karena yang kau tahu hanya senang-senang di kampung sialan itu.”
“Saya tidak bermaksud meninggalkan ibu, Kak. Saya juga tidak pernah berniat membiarkan ibu sendirian dalam kondisi sakit. Tapi, longsorlah yang menahan saya pulang. Andai longsor itu tidak datang, saya sudah berada di sini sebelum Kak Jaya.” Aku menghentakkan renggutan Kak Jaya dari kerahku sebelum kembali berkata, “Dan tolong perbaiki kalimat Kakak. Bontojai itu bukan kampung sialan!”
“Andai longsor itu tidak datang?” Kak Jaya menatapku lekat. “Andai kau tidak egois memaksa ibu mengajar di sana, hal seperti ini tidak mungkin terjadi.”
“Bukannya Kakak juga egois? Meninggalkan kami ke kota.”
Kalimat yang kusemburkan di hadapan wajah Kak Jaya itu tampaknya membuat darah Kak Jaya kian mendidih. Wajahnya sudah benar-benar merah. Dia bahkan tidak bisa lagi menahan tangannya untuk mendaratkan tinju ke pipiku sebelah kiri. Aku terjengkang. Kak Nawir langsung menarik Kak Jaya menjauh dariku.
“Sudah!” kata Kak Nawir. “Apa dengan kalian bertengkar seperti ini, ibu akan sembuh? Berhenti jadi anak kecil.”
Kak Jaya menyentakkan tangan Kak Nawir, lalu sekali lagi mendengus seraya menghunuskannya tatapannya padaku. Kemudian, dia kembali duduk di kursinya yang tadi. Sementara itu, aku bergegas masuk ke rumah tanpa membalas tatapan Kak Jaya. Aku sempat berpapasan dengan Kak Amriani, istri Kak Nawir, yang baru saja keluar dari kamar Ibu. Dia juga menatapku pilu.
“Bagaimana kabar ibu, Kak?” tanyaku pada Kak Amriani.
“Badannya masih panas,” jawabnya singkat, kemudian berlalu.
Aku pun segera masuk ke kamar Ibu dan kudapati tubuh renta itu lemas sambil meringkuk di bawah selimut. Daun cocor bebek yang sudah ditumbuk melekat di dahinya. Aroma tubuhnya meruap minyak kayu putih. Dan pergelangan tangannya melekat selang infus. Melihat ibu serapuh itu, aku merasa sendiku seperti dicabut satu-satu. Aku pun langsung berlutut di samping ranjangnya.
“Maafkan saya, Bu. Tidak seharusnya saya membiarkan Ibu sakit seperti ini. Kalau Ibu ingin menghukum saya, hukum saya, Bu, hukum sekeras mungkin.” Air mataku meleleh. Wajahku kutundukkan di hadapannya sebab aku tidak sanggup melihat ibu sedemikian sakit.
Mendadak kurasakan tangannya yang ringkih itu menyapu rambutku. Sapuannya yang lemah makin membuat hatiku tercabik-cabik. Dengan suara yang agak serak, ibu kemudian berkata, “Kamu bertengkar lagi dengan kakakmu?” Sontak aku mengangkat wajahku, memandangnya dengan mata yang layu, seraya meraih tangannya lalu mengepalnya. “Ibu tidak ingin kalian bertengkar terus. Kalian bersaudara. Kalian tidak seharusnya begitu.”
“Iye, Bu, insya Allah, saya tidak akan bertengkar lagi dengan Kak Jaya, tapi Ibu tidak perlu memikirkan itu. Ibu hanya perlu sembuh.”
Senyum hadir di tengah wajah Ibu yang pucat. “Ibu baik-baik saja, Nak. Sebentar lagi Ibu pasti sembuh.” Ibu mengatakannya dengan lugas, tapi tatapannya tak pernah bisa berbohong. Kutahu, Ibu sedang menanggung rasa sakitnya.
“Bagaimana Bontojai? Samsul senang di sana?” lanjut Ibu. Suaranya masih teramat parau. Dan aku tidak mengerti, setiap ibu mengatakan sesuatu, dia seperti sedang mematahkan hatiku. Maka untuk pertanyaan itu, aku memilih membisu.
“Ibu yakin,” sekali lagi ibu melanjutkan, “Samsul pasti senang di sana karena itulah yang Samsul inginkan. Seperti bapakmu, bapakmu senang sekali kalau sudah pergi ke sana.” Ibu menghela napas. Dia menarik tangannya. Lalu memandang langit-langit kamarnya yang tertutup terpal biru. “Saking senangnya, bapakmu jadi jarang pulang. Bahkan kadang berbulan-bulan. Kalau pulang, bapakmu selalu bercerita tentang sekolah yang dia bangun. Dia bilang kalau dia berhasil membangun generasi di sana.”
Di antara kalimatnya, Ibu tertawa kecil, sedang aku terus membungkam. “Bapakmu berhasil membangun generasi di kampungnya, tapi dia lupa kalau anak-anaknya sebenarnya juga ingin berhasil.” Ibu lantas terdiam, sementara sudut matanya menetes air yang bening, sampai dia tiba-tiba terbatuk. Batuk yang enggan berhenti. Aku menjadi panik.
“Ibu?! Ibu baik-baik saja?” Aku meraih punggungnya. Kubantu dia bangkit. Namun batuk masih saja menyerangnya. Segera kuambilkan segelas air. Dia meminumnya sampai tandas, tapi batuk itu tetap saja menyiksanya.
Kak Nawir, Kak Amriani, dan Kak Jaya lalu datang. Mereka ikut belingsatan. Kemudian, Kak Jaya yang sepertinya masih menaruh kesal padaku serta merta mendekat dan setengah mendorongku dari tubuh ibu. Dia sempat menatapku dengan tatapan yang penuh benci sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada ibu.
Dan karena ibu, aku terpaksa mengalah.
***