Teratai di Atas Bukit

Justang Zealotous
Chapter #6

Kuat

Aku berangkat ke Bontojai setelah semalam Puang Baso melepas selang infus dari pergelangan tangan ibu. Sebenarnya ibu belum sepenuhnya pulih. Dia masih terlihat lemah meski sudah tidak membenamkan diri di ranjangnya dengan sekali-kali berjalan tertatih-tatih ke ruang belakang. Namun, berkali-kali dia bertanya padaku karena mungkin melihat tingkahku yang serba tidak tenang, aku terpaksa jujur padanya.

“Kemarin saya teleponan sama salah satu siswa saya yang di Bontojai, Bu. Di tengah menelepon, sesuatu sepertinya telah terjadi ketika saya mendengar suara-suara jeritan melalui panggilan itu. Saya khawatir, Bu, kalau siswa saya terjatuh karena dia pasti menelepon saya di tepi jurang sebab di situlah satu-satunya tempat dia bisa mendapatkan jaringan.”

“Kalau Samsul ingin ke Bontojai, berangkatlah.” Begitu jawaban yang keluar dari mulut ibu setelah mendengar penjelasanku.

“Bagaimana dengan Ibu?”

“Ibu sudah berkali-kali bilang padamu, ibu baik-baik saja. Samsul tidak perlu mengkhawatirkan Ibu.”

Maka berangkatlah aku sepagi mungkin ke Bontojai dengan cuaca yang sedang bersahabat dan semoga tidak mengkhianat. Kak Jaya sekali lagi menunjukkan tatapan sinisnya saat mengetahui aku akan meninggalkan ibu, tapi ibu buru-buru menyampaikan restunya padaku di hadapan Kak Jaya sehingga Kak Jaya terpaksa bungkam. Lagian, aku sudah berjanji pada ibu, pada mereka, kalau aku akan kembali ke Pembangun setelah urusan di Bontojai selesai. Kalaupun hujan lagi-lagi turun, longsor lagi-lagi menghalang, aku akan tetap mencari cara untuk bisa kembali.

***

Terik Bontojai menyambutku, anak-anak yang kuajar menghambur menghampiriku. Bola mata mereka bercahaya. Mereka bertanya-tanya mengapa aku baru datang ke sekolah. Mereka sudah sangat rindu, katanya. Seperti yang kuduga, tidak ada Ahmad di antara mereka.

Aku menemui Pak Ridwan yang sedang berdiri di depan kantor. Pria tua itu langsung berseru dengan riangnya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan tatkala melihatku menghampirinya. “Pak Samsul, akhirnya datang juga. Sekolah sudah sangat membutuhkanmu. Soal SMS yang kamu kirim, Bapak tidak sempat balas karena pulsa Bapak lagi habis. Bapak sudah menyuruh Sabri, tapi dia selalu saja lupa. Begitulah kalau anak muda sedang kasmaran. Makanya Pak Samsul, kalau nanti sudah beristri, jangan jadi tahanan kota. Hahaha.” Dia terbahak sampai perutnya yang buncit itu bergoyang-goyang. Aku nyengir saja.

“Bagaimana ibumu?” tanyanya kemudian.

“Alhamdulillah, Pak, kondisinya mulai membaik.”

“Alhamdulillah, semoga ibumu sehat terus, Pak Samsul.”

“Amin. Terima kasih banyak, Pak.” Aku menghela napas. “Oh iya, Bapak tahu kondisi Ahmad sekarang?”

“Masya Allah, anak itu beruntung betul, Pak Samsul. Coba kalau jatuh di jurang, habis itu anak. Bersyukur ada batang pohon yang menjorok di tebing yang bisa digunakannya untuk berpegangan. Tapi itu saja sih, Pak Samsul, badannya lebam semua.”

“Innalillah. Saya rencana mau jenguk Ahmad sepulang mengajar nanti, Pak.”

“Bagus itu, tapi Bapak tidak bisa temani nah soalnya Bapak berencana turun. Kalau Sabri Bapak tunggu terus, berminggu-minggu pulsa Bapak nanti tidak diisi, sekalian mau ketemu orang dinas. Berkasmu kemarin sudah diusulkan, Pak Samsul, jadi insya Allah triwulan berikutnya, gaji pertamamu bisa dicairkan.”

“Iye, Pak. Sekali lagi, terima kasih. Bapak hati-hati.”

“Pak Samsul bawa laptop?”

“Iye, Pak, bawa.”

“Nanti Bapak tunjukkan hal-hal yang harus kamu kerjakan. Gampang kok, Pak Samsul. Tenang saja. Apalagi Pak Samsul masih muda, belum kena rematik kayak Bapak. Hahah.”

***

Selepas mengajar, aku berangkat ke rumah Ahmad, sekitar tiga ratus meter dari sekolah. Aku ke sana bersama dengan siswa-siswaku. Kami berjalan kaki beramai-ramai. Mereka sangat antusias ketika aku bertanya di tengah-tengah mengajar, apa mereka ingin menemaniku ke rumah Ahmad. Mereka sontak bersorai ingin. Hanya dua siswa yang tidak sempat karena orang tua mereka keburu menjemput, memaksa mereka segera bertani.

Sampai di sana, siswa-siswaku langsung berlari naik ke rumah panggung Ahmad, meninggalkanku yang masih berdiri di bawah rumah. Rostia tampak duduk di beranda rumah panggungnya. Wajahnya yang sempat tertunduk lesu mendadak bersinar saat menyadari kedatanganku. Lantas dia bangkit, menerobos kerumunan siswa-siswaku, lalu turun menyambutku. “Pak Samsul?! Mari, Pak, naik.”

“Bagaimana kondisi Ahmad?”

“Sudah baikan, Pak. Cuma masih sering mengeluh, mungkin lukanya masih perih.”

Aku pun naik, mengekori Rostia. Seorang perempuan paruh baya lalu muncul dari dalam rumah, mungkin ibunya Ahmad, berdaster dan menunjukkan dahi yang mengernyit, barangkali bingung dengan siapa yang tiba-tiba mengunjungi rumahnya bersama dengan anak-anak lainnya. Rostia sekonyong memberi penjelasan. “Ini, Pak Samsul, Bu, gurunya Ahmad.”

Perempuan paruh baya itu sudah tersenyum, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang ganjil di balik senyumnya itu seolah-olah dia tidak berharap kemunculanku di sana. Menyampingkan sikap skeptisku, aku buru-buru mengambil tangannya. Kami bersalaman, tapi dia dengan kilat menarik tangannya kembali.

“Ayo masuk, Pak!” Rostia mengajakku, mengalihkan ketidakberesan di antara kami saat itu. Aku pun memilih ikut dengannya. Sementara itu, siswa-siswaku malah tertahan di luar. Aku tidak tahu mengapa mereka tidak ikut masuk. Aku tidak tahu bisikan apa dari ibunya Ahmad yang membuat mereka terpaksa menunggu di beranda rumah.

Rostia menuntunku masuk di kamar pertama sebelah kiri, kamar yang berhadapan dengan ruang tamu mereka. Dan dalam kamar itulah, aku mendapati Ahmad yang terbaring dengan luka di dagunya, lebam di lengan kiri-kanannya, serta luka yang tampaknya cukup parah di bagian sikut kanan yang sudah ditutupi dengan daun binahong tumbuk. Melihatku, Ahmad mencoba bangkit, bahkan dia sudah hampir menyingkapkan sarungnya, tapi aku memintanya untuk tetap terbaring.

“Jangan paksakan dirimu!”

Anak itu tunduk. Dia kembali membaringkan badannya. Rostia kemudian pamit keluar, meninggalkan kami berdua. Saat yang sama, aku mengambil duduk di kursi kecil samping ranjang Ahmad.

“Ibunya Kakak sudah sembuh?” Anak itu melemparkan pertanyaan padaku dengan suara yang riang, tanpa beban, seolah-olah tidak ada luka yang sedang merayapinya. Wajahnya yang bulat itu bahkan dipenuhi dengan senyum yang lebar.

“Sudah, Ahmad. Ibunya Kakak sudah sembuh. Makanya Kakak sudah bisa ke sini. Sekarang, kamu lagi yang sembuh biar bisa kembali belajar di sekolah.”

 Ahmad mendadak kusut. Senyumnya hilang.

Lihat selengkapnya