Teratai di Atas Bukit

Justang Zealotous
Chapter #7

Berat

Pak Ridwan menugaskanku ke kota. Dia menyuruhku mengurus dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang katanya sudah bisa cair. Dari dana BOS itulah gaji pertamaku disisihkan. Aku senang sekali sebab inilah yang paling kutunggu-tunggu setelah tiga bulan bertahan di Bontojai. Aku berencana menyisihkan gajiku, tentu saja dengan tambahan tabungan yang sudah lama kusimpan, guna memodifikasi motorku agar bisa melewati jalanan yang sulit. Selama tiga bulan itu, aku masih saja sering meninggalkan ibu sendirian di rumah kalau hujan lagi-lagi menderas berhari-hari dan longsor sekali lagi menghadang jalan. Dengan motor modifikasi, aku bisa memutar jalan seperti ucapan Ahmad.

Mengenai Ahmad, aku bersyukur dia bisa kembali bersekolah. Setelah luka-lukanya sembuh, dia segera mengangkat kakinya ke sekolah, meskipun dia kembali harus kabur-kaburan dengan ibunya. Kalau pagi tidak berhasil kabur, dia akan datang padaku di waktu siang, atau bahkan malam hari saat aku sedang tertahan di Bontojai. Anak itu memang punya tekad sekuat baja. Dia pantang mundur hanya karena omelan ibunya.

Jika kau bertanya soal Rostia, kami sudah pacaran. Waktu memang berjalan terlalu cepat buat kami. Sehabis hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Senyum di bibirnya yang berwarna persik selalu membayang-bayang dan membuatku candu. Aku mungkin terlalu berlebihan mengenai hal itu, tapi begitulah adanya. Kembali ke Bontojai, aku langsung menemuinya di kebun belakang sekolah. Dia berkerudung, seperti biasa, juga menggunakan topi jerami. Wajahnya dipenuhi bedak tumbuk. Dia senang aku datang, dan aku lebih senang melihat senyumnya kembali. Aku bukan laki-laki yang romantis dan aku tidak terbiasa menjadi laki-laki yang demikian. Saat dia menawarkan makan siangnya padaku, aku meraihnya sambil berkata, “Mau tidak jadi pacar saya?” Tentu saja dia kaget dengan hal serba mendadak itu. Namun, aku tidak membutuhkan waktu lima menit dan dia sudah berkata mau. Aku segera mengulum senyum di bibirnya yang berwarna persik itu.

Sebelum berangkat ke kota, aku menitipkan ibu pada Sukmawati, anak perempuannya Pak Bustan. Seperti ayahnya, Sukmawati juga baik pada kami. Sayang sekali, dia baru saja kehilangan anak dan suaminya karena kecelakaan. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kota ketika peristiwa nahas itu terjadi. Sebuah truk pasir dengan sopir mengantuk menabrak motor mereka. Ketiganya terlempar. Suami Sukmawati meninggal di tempat akibat leher yang patah. Anaknya yang setahun setengah tidak sadarkan diri dengan darah yang keluar dari hidung dan telinganya sampai tidak cukup sehari di rumah sakit, dia menyusul ayahnya. Sukmawati sendiri baru lepas dari koma setelah seminggu. Butuh waktu yang sangat lama untuknya sembuh dari luka fisik dan batin. Sukmawati sempat depresi berat dan bahkan hampir-hampir gangguan jiwa. Beruntung, Pak Bustan dan istrinya dengan sabar menghadapi Sukmawati sampai perempuan itu benar-benar pulih kembali. Sekarang, dia sudah membantu ayahnya di toko, melupakan luka di hatinya, melupakan kakinya yang harus pincang seumur hidup.

Menjelang malam aku sampai di kota. Perjalanan dari Pembangun ke kota memang membutuhkan waktu tiga jam lebih. Kalau bisa balap, palingan dua setengah jam. Aku sendiri tidak terlalu buru-buru. Biar lambat asal selamat. Di kota aku terus ke rumah orang tuanya Kak Amriani. Selama menikah, Kak Nawir dan Kak Amriani memang masih tinggal di rumah mertuanya. Lagi pula, Kak Amriani merupakan anak tunggal ibu dan ayahnya. Sulit mereka untuk berpisah.

Sebelumnya, aku sudah menelepon Kak Nawir guna memberitahunya perihal keberangkatanku ke kota. Awalnya aku ingin minta dicariin wisma murah yang dekat dari dinas, tapi Kak Nawir justru bilang padaku untuk tinggal di rumah mertuanya saja. Aku sebetulnya berat karena itu pasti merepotkan Kak Nawir yang notabene juga numpang di sana. Namun, Kak Nawir terus memaksa dan setelah kupikir kembali bukanlah masalah yang serius bila tinggal di sana. Palingan sehari atau dua hari aku di kota.

Kak Nawir segera membukakan pagar untukku sesaat aku tiba di rumah mertuanya yang dari depan tampak berlantai dua. Aku memasukkan motorku. Kusimpan di samping sedan hitam yang juga terparkir di sana. Seorang anak kecil umur lima tahun, putra bungsu Kak Nawir, muncul dari dalam rumah dan menyambutku.

“Paman Sam!” serunya.

“Sudah besar rupanya keponakan Paman.”

“Paman Sam mau bermalam di sini?”

“Iye, Nak. Pamanmu mau bermalam di sini. Kamu tidur sama Paman Sam ya!”

Anak kecil itu menggeleng. Pipinya yang tembam menggoyang-goyang. “Paman Sam, Paman Jaya juga tinggal di sini loh. Sudah lama sekali.”

Aku terkejut mendengar Kak Jaya rupanya tinggal di rumah mertuanya Kak Nawir selama di kota. Aku menatap Kak Nawir, dan kakak sulungku itu hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.

“Arsil, antar pamanmu ke dalam! Ayah mau keluar dulu sebentar.”

“Siap, Ayah. Ayo, Paman!”

Aku membopong tas ranselku ke dalam rumah bersama Arsil. Anak itu terus berbicara selama kami berjalan masuk. Saat di dalam, Kak Jaya memang benar-benar di sana. Dia duduk di sofa sambil mengutak-atik ponselnya. Melihatku datang, dia masih saja menunjukkan ketidaksukaannya. Aku mencoba tidak peduli. Di area tengah, aku melihat Kak Rahma sedang bermain dengan Serli di atas karpet yang membentang panjang, yang menghadap ke lemari. Di sampingnya, Arga, putra sulung Kak Nawir, sedang tiduran sambil menonton TV.

Kak Amriani yang baru datang dari ruang belakang tampak senang saat melihatku datang. Dia pun menunjukkan kamar untukku yang berada di lantai tiga. Kalau dari luar, rumah itu tampak berlantai dua, tapi di dalam, ada lantai mini yang berisi satu kamar, sebelum masuk ke lantai paling atas. Di sana ada tiga kamar dan satu kakus yang berada di luar. Dua kamar masing-masing tertulis nama penghuninya di pintu, Arsil dan Arga, sedangkan satu kamar lainnya barangkali kamar tamu tanpa tulisan apapun di pintunya. Aku pikir Kak Amriani akan membawaku ke kamar tamu itu, nyatanya dia malah membukakan pintu kamar Arsil untukku.

“Arsil bagaimana, Kak?”

“Nanti dia tidur sama kakaknya, atau palingan tidur sama Kakak.”

Aku mengangguk paham.

“Ya sudah, Kakak tinggal dulu. Kamu istirahat saja di dalam. Pasti capek sekali habis perjalanan jauh.”

“Iye, Kak. Terima kasih.”

Kak Amriani tersenyum sebelum membiarkanku sendiri di kamar itu. Tas ranselku kemudian kuletakkan di samping tempat tidur yang cukup satu orang itu. Lalu, terbaring. Aku betul-betul letih perjalanan, membaringkan badanku sejenak mungkin bisa memulihkan pegal-pegal di badanku.

Magrib usai saat seseorang mengetuk pintu kamar itu. Aku bergegas membukanya, dan ternyata Kak Nawir. Dia menyuruhku turun makan malam. Sebelum turun, aku menahan Kak Nawir dengan pertanyaan. “Kak Jaya kerja apa, Kak, selama di kota?”

“Tidak tahu, Sam. Setiap pagi dia keluar rumah dan baru pulang sore-sore. Setiap ditanya dari mana, kerja apa, jawabannya selalu tak pernah jelas. Saya juga malas bertanya terus.”

Aku tidak mengerti lagi bagaimana Kak Jaya berpikir. Dia tidak mau direpotkan, tapi justru merepotkan orang lain, walaupun kakak sendiri. Apa dia tidak mengerti dengan sikap tidak enakannya Kak Nawir? Kak Nawir bisa beruntung hidup serba kecukupan karena bergantung pada nasib baik mertuanya. Andai mertuanya bukan golongan atas, Kak Nawir akan berjuang mati-matian untuk menghidupkan istri dan anak-anaknya. Walaupun begitu, Kak Nawir merasa keuntungan yang didapatkannya menjadi beban di pundaknya. Kak Nawir sering bercerita kalau dia selalu minder dengan kehidupan istrinya seolah-olah dia tidak pantas bersanding dengan perempuan cantik nan kaya itu.

Kak Nawir memang menikah dengan Kak Amriani karena balas jasa Pak Amir, mertuanya. Waktu itu, Pak Amir dirampok di depan sebuah minimarket kecamatan. Kak Nawir yang sejatinya melanjutkan sekolah di kecamatan, baru pulang sekolah, melihat tas Pak Amir yang ditarik si perampok yang berkendara motor. Perampok itu berhasil merampas tas Pak Amir. Dengan berani, Kak Nawir melempar si perampok dengan sebuah bambu yang cukup besar. Bambu itu mengenai kepala si perampok dan membuatnya oleng sampai terjatuh. Kak Nawir lalu berteriak mengundang orang-orang menghajar si perampok dengan membabi buta. Kak Nawir lalu mengambil tas yang dirampas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Pak Amir.

Pak Amir berterima kasih berkali-kali atas keberanian Kak Nawir. Sejak itulah, Kak Nawir sering dianggap Pak Amir anak sendiri. Pak Amir bahkan membiayai sekolah Kak Nawir sampai lulus SMA. Setahun Kak Nawir lulus, Pak Amir berencana menikahkannya dengan putri semata wayangnya. Pak Amir mendatangi ibu sama bapak, memohon restu mereka. Ibu sama bapak setuju saja. Kak Nawir dan Kak Amriani pun menikah. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki. Sedang Kak Nawir diberikan jabatan yang cukup tinggi di perusahaan impor ekspor barang milik Pak Amir sebagai manager marketing.

Lihat selengkapnya