Aku benar-benar terkejut saat sampai di Bontojai, beberapa potong seng dipasang menutup gerbang sekolah. Apa yang sebenar-benarnya telah terjadi selama aku di kota kemarin? Kulihat motor Pak Ridwan terparkir di depan gerbang. Aku pun memarkirkan motorku di samping motornya. Beberapa siswa kami yang baru datang juga tampak bingung. Mereka bertanya-tanya, tapi aku tidak punya jawaban yang mereka ingin. Mereka lalu masuk melewati celah-celah kawat yang memang dipasang untuk dijadikan pagar. Sebab tidak ada jalan lain, aku terpaksa ikut merangkak melalui celah-celah kawat itu.
Buru-buru kulangkahkan kakiku ke kantor. Pak Ridwan sudah di sana. Dia sedang mengubrak-abrik setiap laci lemari. Beberapa tumpukan berkas berhamburan di atas meja, pun di lantai. Pak Ridwan terlihat kelimpungan. Jari-jarinya sibuk mengecek berkas satu-satu setiap kumpulan berkas dikeluarkannya dari dalam lemari. Dia bahkan tidak menyadari kalau aku sudah berdiri di kantor itu.
“Apa yang sudah terjadi, Pak?” Aku bertanya. Dia tidak memandangku demi menanggapi pertanyaan itu. Suaranya keluar begitu saja. Sedang tangannya masih sibuk dengan kertas-kertas. “Bu Jumrah menuntut kembali tanah sekolah,” katanya.
“Bu Jumrah, Ibunya Ahmad?” Aku memperjelas.
“Betul sekali. Sekarang, Bapak lagi cari surat wakafnya. Perasaan Bapak simpan di salah satu laci di lemari ini, tapi Bapak belum mendapatkannya juga, padahal itu satu-satunya bukti mempertahankan tanah sekolah.”
“Jadi, sekolah kita berdiri di tanah wakaf milik Bu Jumrah, dan sekarang dia ingin merebutnya lagi? Begitu, Pak?” Pikiranku ikut berputar-putar mendengar kabar itu.
Pak Ridwan menarik napas kuat-kuat. Dia meletakkan kertas terakhir yang diperiksanya ke atas meja, kemudian duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi. Pak Ridwan terlihat kalut betul. Dengan lemas, dia mulai berkisah. “Berpuluh tahun lalu, bapaknya Bu Jumrah, kakeknya Ahmad, mewakafkan tanahnya demi kepentingan desa. Proses wakaf itu disaksikan olehnya sendiri, Bu Jumrah dan suami, bapakmu, Bapak, kepala desa yang menjabat saat itu dan salah seorang warga. Karena desa bingung ingin membangun apa di atas tanah itu, bapakmu dan Bapak lalu mengusulkan membangun sekolah. Semua setuju. Kami juga menyisihkan sebagian tabungan kami untuk proses pembangunan itu sebelum menghadap ke pemerintah guna mendapatkan persetujuan resmi.”
“Kebun di belakang sekolah masih satu bagian dari tanah yang diwakafkan itu, Pak?”
“Iye, Pak Samsul, masih satu bagian. Tapi selama sekolah berdiri, kami tidak sekalipun mengusik kebun itu karena kami sengaja membiarkannya digunakan keluarga Bu Jumrah buat penghasilan mereka.” Pak Ridwan menghela napas. “Dan ternyata, Bu Jumrah malah menjadikan kebun itu untuk menuntut kembali hak warisnya. Dia bilang kalau seluruh tanah itu termasuk tanah yang sudah diserahkan untuk pembangunan sekolah merupakan miliknya.”
“Kenapa bisa begitu, Pak?”
“Bu Jumrah bilang dia mau memperluas lahan perkebunannya, makanya dia ingin merebut tanah itu kembali, Pak Samsul. Kalau sampai itu terjadi, sekolah harus digusur dan Bapak tidak tahu ke mana lagi sekolah akan berdiri.”
Pak Ridwan menggaruk kepalanya. Dia pasti pusing memikirkan semua itu. Sekolah yang sudah dibangunnya bertahun-tahun bersama bapak, di akhir-akhir masa baktinya, dia mesti menelan kekecewaan membayangkan sekolah di Bontojai tinggal sejarah.
“Bapak bingung, Pak Samsul,” kata Pak Ridwan di tengah kekalutannya, “bertahun-tahun sekolah ini berdiri, tidak pernah ada masalah serunyam ini. Masalah kami hanya seputar kurangnya tenaga pengajar, administrasi yang kadang tidak beres, atau kami kehilangan siswa satu per satu, tapi masalah itu selalu bisa teratasi dengan mudah. Hubungan kami dengan keluarga Bu Jumrah pun baik-baik saja. Tidak pernah ada sekat dan saling campur kebun dengan sekolah. Anaknya saja disekolahkan di sini. Bapak betul-betul bingung. Sekarang, dia malah memasang sekat di antara kami.”
“Tidak ada cara lain, Pak, mempertahankan tanah itu?”
“Andai saksi hidup itu masih ada, selain Bapak sama Bu Jumrah, kita punya pegangan yang kuat, Pak Samsul. Sayangnya, yang tersisa cuma saksi matinya, surat wakaf itu, yang sekarang entah ke mana. Bapak cari-cari di rumah, tidak ada, begitu pula di sekolah. Bapak curiga surat itu tercecer waktu proses renovasi kemarin.”
Pak Ridwan kembali menggaruk kepalanya. Kini, dia menggunakan kedua tangannya sekaligus. Dia pasti sudah berada di tingkat paling membingungkan. Aku merasa sedih melihatnya. Sekolah ini sekolah bapakku, dan sekarang sekolahku juga. Aku tidak menyangka hasratku melanjutkan bapak membangun generasi bakal musnah begitu saja.
“Ah iya, Pak Samsul, hari ini kamu ambil semua kelas. Bapak mau pulang dulu. Bapak mau memeriksa lemari-lemari Bapak di rumah lagi. Bapak takut ada lemari yang tertinggal yang belum sempat Bapak periksa.”
Aku mengangguk. Pak Ridwan bangkit dari duduknya. Dia mengambil tasnya yang diletakkan di meja, lalu melangkah ke luar. Langkahnya belum sempat mencapai pintu, aku baru ingat soal dana BOS yang sudah kuambil. Aku buru-buru menahan langkahnya, dia menoleh. “Ini, Pak, dana BOS yang kemarin sudah kuambil,” kataku seraya menyerahkan dana BOS di dalam amplop itu.
“Terima kasih, Pak Samsul. Harusnya Bapak menemanimu ke kota, tapi badan Bapak lagi tidak enak kemarin. Bapak juga tidak bisa tidur seperti sesuatu yang besar akan terjadi. Ternyata sesuatu yang besar itu terjadi hari ini. Untuk gajimu, Bapak sudah buatkan ampra, tapi Pak Samsul terima baru besok hari. Tidak masalah, Pak Samsul?”
“Iye, Pak, tidak apa-apa. Semoga masalah tanah wakaf ini cepat selesai.”
“Amin.” Laki-laki dengan perut tambun itu lalu bergegas pergi tanpa berucap salam. Kepalanya pasti teramat pening memikirkan semua masalah yang menghunjamnya.
Aku hendak ke kelas ketika mataku dialihkan sama kertas ampra di atas meja. Kulebarkan kemudian kelopak mataku memandangi kertas itu dari kolom atas sampai kolom bawah. Aku cukup terkesiap mengetahui gaji yang akan kuterima hanya Rp 150.000 dalam masa kerjaku selama tiga bulan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya biaya mengambil uang itu ternyata lebih besar daripada gajiku sendiri. Kurenungi kembali demi bersyukur. Tidak ada yang lebih baik ketimbang bersyukur. Selanjutnya, aku langsung mengambil langkah ke kelas. Kugabungkan mereka semua dalam satu ruangan dan kami belajar bersama. Hari itu, Ahmad tidak datang lagi. Dia pasti gagal kabur, atau mungkin ibunya memasang seng juga untuk kakinya.
***