Teratai di Atas Bukit

Justang Zealotous
Chapter #9

Pekat

Dini hari aku terbangun karena perutku terasa terlilit, panas, dan mual. Aku berlari ke belakang, jongkok di atas jamban, mengejan berkali-kali tapi tidak setitik pun keluar. Memang tidak ada panggilan berak, aku hanya berpikir untuk mengeluarkannya melalui pantatku kalau menguek berkali dari mulutku juga tak pernah mau berhasil. Gagal di jamban, aku kembali ke kamar dengan sempoyongan. Tangan dan kakiku bergetar.

Aku meringkuk di bawah selimut, dan perutku masih seperti diblender. Kutekan keras-keras sambil melenguh sakit sampai ibu datang melihatku. Suara lenguhanku mungkin terlalu keras hingga membangunkannya. Lagi pula, hari masih gelap, suara-suara belum cukup riuh menutupi lenguhanku. Ditambah lagi dengan tangan dan kakiku yang enggan berhenti bergetar. Bahkan aku mulai keringat dingin.

“Belum makan mungkin kau, Sam,” kata Ibu. Dia keluar dari kamarku dan muncul lagi dengan setangkup nasi dan tempe goreng kebiasaannya di atas piring. “Coba kau makan dulu!”

Kubangkitkan badanku perlahan-lahan. Kujumput nasi dan tempe goreng, lalu kutenggelamkan ke dalam mulutku. Aku mengunyahnya sampai lumat. Kuambil lagi sejumput nasi, kutelan lagi. Nasi dan tempe goreng itu habis, perutku masih saja diaduk-aduk. Selepas minum, sesuatu yang aneh rasanya bergoyang-goyang di leherku, lantas pada detik berikutnya, sesuatu itu akhirnya keluar. Menyembur bahkan sebelum aku bangkit dari ranjangku. Berwarna cokelat pekat, berair, bercampur nasi yang sudah seperti bubur.

Ibu panik dan perutku bertambah sakit. Kupikir setelah muntah, perasaanku akan lebih tenteram, tapi nyatanya tidak, perasaanku kian tidak enak. Aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi dengan diriku. Aku tidak ingin berak, juga tidak lapar. Namun, kondisinya seperti itu. Sesuatu yang panas dan menyakitkan seolah tumbuh di dalam perutku. Telapak tangan dan kakiku basah, dan masih menggeletar. Parahnya, dadaku ikut berdebar sampai sesak. Aku jadi sulit mengontrol napasku sendiri.

“Nanti Ibu antar ke puskesmas, Sam,” kata ibu selesai mengelap hasil muntahanku yang muncrat ke mana-mana, termasuk di selimut, di seprei, dan di lantai. Selimut dan seprei dia tanggalkan, berencana akan dicucinya.

Aku hanya mengangguk pada Ibu. Perutku sudah teramat sakit untuk mengeluarkan suara selain keluhan. Sementara senandungan alquran mulai mengalun dari pengeras suara masjid. Ibu bersiap-siap bertandang ke sana. Ibu memang biasa subuhan berjamaah. Aku sering menemaninya, tapi dini hari itu aku terlalu sakit demi sekadar berjalan. Aku hanya minta pada ibu doa kesembuhannya, kesembuhan yang tak pernah datang selain dari Tuhan.

***

Pagi sekali ibu meneriaki Pak Saddang, tetangga kami, demi mengantarku ke puskesmas dengan motornya. Pak Saddang yang sejatinya bekerja di bengkel dekat puskesmas setuju saja. Dia segera membawaku bersama motornya. Sementara itu, ibu akan menyusulku dengan berjalan kaki. Puskesmas itu memang tidak terlalu jauh dari rumah kami, hanya di ujung jalan sebelum persimpangan pertama.

Tiba di puskesmas, aku disuruh menunggu lagi. Puang Baso, satu-satunya dokter puskesmas belum datang, padahal perutku sudah kadung sakitnya. Ibu yang akhirnya muncul setelah berjalan kaki dari rumah ke puskesmas mencak-mencak. Sudah kubilangi ibu untuk sabar, tapi dia tetap saja mengomel pada penjaga rumah sakit yang tak bisa berbuat apa-apa.

“Kau punya nomornya Puang Baso? Hubungi cepat! Ada pasiennya di sini.” Wajah ibu merah padam. Laki-laki penjaga rumah sakit itu mengangguk sambil menunduk. Puang Baso memang sering telat. Waktu ibu sakit, dia pun telat berjam-jam setelah kami berusaha menghubunginya. Puang Baso memang bukan orang Pembangun asli. Dia datang dari desa sebelah. Kadang dia pulang, kadang juga menginap di rumah keluarganya yang di sini.

Hampir setengah jam aku meradang di ruang tunggu puskesmas yang di luar. Puang Baso belum juga menampakkan diri. Sedang peluhku makin banyak bercucuran. Membasahi kening hingga tengkuk leherku. Perutku juga kian panas dan bahkan seperti mendidih. Aku berkali-kali menekannya, tapi tetap saja sakitnya enggan reda. Ibu makin gelisah. Dia berdiri, mengedarkan pandangan ke kanan-kiri jalan, berharap Puang Baso menunjukkan wajahnya bersama motornya, lalu duduk kembali, lalu berdiri lagi dan terus melakukan hal yang sama.

Dan akhirnya setengah jam itu lewat, Puang Baso datang. Ibu sekonyong-konyong mencegatnya sebelum langkahnya mencapai pintu masuk. “Puang, anakku, Puang,” kata ibu. Suaranya parau.

“Ada apa, Bu?”

“Sakit sekali perutnya, Puang. Baru sering muntah-muntah.”

“Kita periksa di dalam,” ujar Puang Baso.

Ibu segera memapahku masuk ke puskesmas. Dia memapahku sambil menutup hidungnya. Ibu memang tidak suka bau puskesmas. Bikin mual, katanya. Puang Baso lalu membawa kami ke ruangannya. Dia menyuruhku baring di atas brankar di ruangan itu. Mula-mula dia mengeluarkan sebuah alat yang dia lekatkan ke lengan atasku. Alat itu mengembung ketika dia menekan sesuatu.

“110/80,” katanya, melihat angka di alat itu.

Dia mengeluarkan lagi alat yang lain. Sebuah stetoskop. Satu-satunya alat dokter, selain jarum suntik tentunya, yang kutahu. Dia memasang bagian dari stetoskop itu ke telinganya, sementara bagian yang lain berbentuk lingkaran dia lekatkan ke perutku. Keningnya setengah berkerut.

“Apa yang sudah kau makan?” tanyanya.

“Tadi pagi nasi sama tempe goreng, buatan ibu, itupun langsung dimuntahin lagi.”

“Selain itu?”

“Tadi malam nasi sama tempe goreng juga, masih buatan ibu.”

Puang Baso mendesah. “Saya tidak mengerti. Semua normal. Tidak ada yang bermasalah setelah saya periksa.”

Lihat selengkapnya