Pikiranku memasok beban pikiran yang tak kunjung habis. Tidurku pun sudah tak pernah nyenyak lagi sejak kepulangan kami dari rumah Daeng Aco. Berkali-kali aku berusaha tidak memercayai perkataan Daeng Aco mengenai keterlibatan seorang perempuan dalam perkara sakit perutku, perempuan yang tak lain ialah Rostia, tapi aku tetap tidak bisa.
Pertama, Daeng Aco menunjukkanku secara nyata bagaimana dia membuat bola api yang bersarang di dalam perutku keluar menjadi muntahan berwarna cokelat pekat dan merah darah, lantas menjadikan sakitnya yang tak tertahankan hilang begitu saja. Kedua, Daeng Aco menyebut soal makanan dan perempuan. Dua hal yang terlalu dekat dengan Rostia, perempuan satu-satunya—selain ibu, tentunya—yang tak pernah membuatku luput jatuh cinta dengan hasil masakannya.
Pikiranku pun membawaku ke berbagai kemungkinan yang rasanya sangat mungkin terjadi. Rostia, misalnya, mendekatiku bahkan membuatku mencinta karena dia punya udang di balik batu. Dia mencoba menjadi mata untuk ibunya dengan hadir di kehidupanku agar pada saatnya aku terlena, dia bisa beraksi. Dia bisa mengusirku dari Bontojai. Dia bisa menggusur sekolah seperti yang saat ini telah berusaha ibunya lakukan.
Jika kemungkinan itu memang benar adanya, aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia. Maka benar kata orang, cinta itu membutakan. Sehingga satu-satunya cara untuk tahu, aku mesti berangkat ke Bontojai. Aku mesti mendengar kebenaran itu langsung dari bibirnya yang berwarna persik.
***
Aku tiba di SDN Bontojai hampir-hampir menjelang siang. Itu karena ibu. Dia terus-terusan mencegatku pergi. Ibu bilang aku lebih baik tidak lagi berangkat ke Bontojai. Hidupku hanya akan bertambah nelangsa, katanya. Kalau ingin jadi guru, aku bisa mencari sekolah yang ada di Pembangun. Ada dua sekolah dasar di Pembangun. Semuanya tak jauh dari rumah.
“Guru di sini banyak, Bu.” Aku berkilah. “Di sana, mereka lebih membutuhkan Sam.”
“Kalau mereka membutuhkanmu, Samsul, mereka tidak akan membuatmu sakit.”
“Sam akan membuktikannya sendiri, Bu, apa orang sana yang membuat Sam sakit.”
“Ibu tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Samsul,” ibu menarik kalimatnya dengan helaan napas yang berat, “atau jangan-jangan kau sudah jatuh cinta sama perempuan itu, Samsul, siapa namanya, Rostia, ya betul, Rostia. Kau jatuh cinta dengannya, Samsul?”
Aku diam. Aku berhenti menatap mata ibu.
“Sam, sadar! Perempuan itu hampir membuatmu terbunuh.”
“Ibu!” Kuangkat wajahku ke arah ibu. “Sam sudah bilang biar Sam yang membuktikannya sendiri karena Sam masih percaya dia tidak mungkin melakukan itu, Bu.”
Ibu menggeleng-geleng. “Ternyata benar. Kau memang sudah jatuh cinta dengannya, Samsul. Ibu berharap kau segera melupakan cintamu itu.”
Aku menunduk lagi, lebih dalam.
“Kau harusnya sadar, Samsul, ada perempuan yang jauh lebih baik daripada dia. Ada perempuan yang lebih pantas bersamamu. Sukmawati. Dia perempuan yang baik. Dia menyayangi Ibu. Dan Ibu yakin, dia jodoh yang terbaik untukmu.”
Aku tercekat mendengar kalimat ibu. Apa maksudnya dia ingin menjodohkanku dengan Sukmawati? Anak Pak Bustan itu memang perempuan baik hati. Dia selalu menjaga ibu saat aku terpaksa bertahan berlama-lama di Bontojai karena hujan tak mau berhenti lebat dan tebing meluruhkan tanah dan batu ke jalan. Namun, itu bukan berarti aku ingin menikahinya.
“Sam harus pergi sekarang, Bu.” Kuraih ranselku, lalu melangkah keluar. Ibu sempat meneriaku, tapi aku tidak mencoba berbalik. Aku hanya terus pergi ke tempat seharusnya aku pergi. Aku harus menelan kenyataan apapun di sana, walau pahit sekalipun.
***
Seng yang memagari pintu gerbang masih menutup sekolah. Aku terpaksa lewat pada celah-celah kawat kembali, dan motorku juga terpaksa kusimpan di luar pagar. Kali itu, aku tidak lagi melihat siswa-siswa kami yang berhamburan di lapangan. Aku hanya melihat Rudi, siswa kelas 5 yang memakai kaos oblong, sedang memanggul kayu. Dia menatapku sebentar, lalu segera pergi menjauh. Bu Jumrah tampaknya berhasil menghasut warga menarik anak mereka dari sekolah.