Ibu tiba-tiba membangunkanku saat angin pengarak pagi baru saja datang. Aneh memang. Dia tidak biasanya membangunkanku sepagi itu. Dia bahkan terkesan tak acuh kalau aku hendak ke Bontojai. Sekali, dia justru membiarkanku bangun teramat siang agar aku terlambat berangkat.
“Apa apa, Bu?” Aku masih seperempat sadar saat mengatakannya. Air liurku pun masih basah.
“Buruan bangun, Samsul! Kalau bangun kesiangan terus, jodohmu nanti nenek-nenek,” kata ibu sambil menepuk-nepuk badanku. Aku terpaksa bangun.
Kusampirkan selimutku, kemudian bangkit. Aku berjalan ke belakang, ke kamar mandi. Tidak lupa kutarik selimut yang menggantung di dinding luar kamar mandi. Lima belas menit mandi, aku keluar, ibu sudah mematut diri di kaca. Dia tidak berdaster seperti biasa, dia mengenakan gaun yang biasa dipakainya kalau berangkat ke hajatan kampung. Ibu semakin membingunkan.
“Kau tak perlu ke Bontojai hari ini, Samsul,” seru ibu, membuatku kian bingung.
“Kenapa, Bu?”
“Kita ke rumah Pak Bustan.”
“Ada acara apa di rumah Pak Bustan, Bu?”
Ibu menatapku lekat. “Kau terlalu banyak tanya, Samsul. Lebih baik kau siap-siap. Ibu tidak enak membuat Pak Bustan menunggu.” Dia lanjut mereparasi gincunya. Aku hanya menggeleng bingung.
Sedang kukancing kemejaku ketika ponselku berdering. Seseorang mengirim pesan singkat. Kutuntaskan kancing kemejaku terlebih dulu, baru kemudian beralih pada pesan singkat itu. Tanganku setengah bergetar saat membuka pesan singkat yang rupanya datang dari Rostia. Aku membacanya dengan dada berdebar.
Sender: Rostia 085255349xxx
Saya tak punya pembelaan apapun atas tuduhanmu, Samsul. Saya hanya perlu bicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Kalau kau datang ke Bontojai hari ini, temui saya di kebun. Saya akan menunggu sampai kau datang.
Jempolku bimbang menekan tombol reply sampai ibu akhirnya berteriak memanggilku. Segera aku taruh ponsel itu di dalam saku celana kainku. Aku menghampiri ibu, tapi pikiranku masih saja enggan hilang dari isi pesan singkat Rostia.
“Bu, tolong jelaskan, kita mau apa di rumah Pak Bustan sepagi ini?” Aku masih menagih penjelasan ibu. Kalau memang tidak terlalu penting buatku, aku bisa menimbang berkali-kali untuk berangkat ke Bontojai setelah mengantar ibu. Jujur. Aku tak bisa tenang memikirkan pesan singkat Rostia. Pesan singkat itu seperti merasuk dalam otakku.
Ibu menarik-buang napasnya. “Baiklah, Samsul. Kita mau mammanu’-manu’1 di rumahnya Pak Bustan hari ini.”
“Mammanu’-manu’?”
“Iye, Samsul. Ibu akan menikahkanmu dengan Sukmawati.”
“APA?” heranku. Ibu seperti baru saja melempar bola sepak ke wajahku.
“Ibu juga sudah bilang sama Jaya dan Nawir. Mereka setuju saja. Mereka hanya minta maaf karena tidak bisa datang bersama kita.”
“Bu, yang akan dinikahkan saya, bukan Kak Jaya sama Kak Nawir. Mengapa Ibu tidak memberitahu saya lebih dulu?”
“Sudahlah, Samsul. Kau terima saja. Ibu yakin Sukmawati jodoh sempurna buatmu.”
“Tapi Samsul tidak mencintainya, Bu.”
“Kau belajar mencintainya.”
“Ibu!” Aku masih tidak percaya ibu akan bertindak tanpa sepengetahuanku, apalagi ini persoalan masa depan aku akan menua dengan siapa.
“Samsul, tidakkah kau dengarkan Ibu sekali saja? Selama ini Ibu tidak pernah melarangmu melakukan apa yang kau mau. Kau ingin kuliah, Ibu tak menolak. Kau ingin mengajar di Bontojai, Ibu juga tak menolak. Sekarang, Ibu mohon, kau dengarkan Ibu! Ibu tahu yang terbaik buatmu.” Ibu menajamkan matanya.
“Minta Sam lakukan apa saja, Bu, tapi jangan yang ini. Sam tidak bisa.”