Aku bahagia Pak Ridwan berhasil mendapatkan hak atas tanah kembali di mana sekolah bertahun-tahun telah berdiri, menelurkan beragam anak yang akhirnya sukses jadi seseorang sampai anak yang tetap memilih untuk berada di garis tangannya sebagai seorang petani desa. Aku bahagia pada sisa pengabdian Pak Ridwan, dia sekali lagi bisa melihat anak-anak lulus dari sekolah itu. Aku hanya sangsi setelah Pak Ridwan memasuki purna baktinya, sekolah itu akan tetap bangkit atau akhirnya mati.
“Bapak percaya kau akan jadi penerus mendiang bapakmu, Pak Samsul. Kau yang akan memimpin sekolah ini setelah Bapak pensiun,” kata Pak Ridwan.
“Sendirian?” Aku masih di tengah bimbangku sendiri.
“Tidakkah kau pikir sebelum kau datang, Pak Samsul? Bapak juga sendirian.”
“Tapi Bapak ini orang hebat. Saya? Masih kayak ulat bulu yang baru menetas dari telurnya.”
“Kerja keras, Pak Samsul, maka kau akan terbang seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya.” Pak Ridwan menepuk-nepuk pundakku. “Intinya, kau percaya sama dirimu, Pak Samsul, kau akan jadi orang yang lebih hebat daripada Bapak.”
“Terima kasih banyak, Pak.”
Begitulah kami mengobrol seakan tidak ada lagi hari esok. Padahal hari itu kami baru mempersiapkan acara perpisahan untuk siswa-siswa kami yang kelas enam. Acaranya bukan acara yang besar. Kami hanya mengundang para orang tua. Orang tua siswa yang bukan hanya dari kelas enam, tapi juga kelas bawah, pun warga Bontojai lainnya. Kami sengaja mengajak mereka datang demi menunjukkan seperti apa gambaran pendidikan itu. Bahwa, pendidikan itu bukan sekadar belajar membaca dan hitung-hitungan, tapi juga belajar bagaimana menjadi manusia.
Aku bahagia motorku sudah selesai kumodifikasi. Bukan gajiku yang kupakai sebab semua gaji pertama yang kuterima dari sekolah kuserahkan sama ibu. Mungkin nominalnya tidaklah besar, tapi paling tidak aku bahagia ibu juga bahagia menerimanya. Motor itu dimodifikasi setelah aku meminjam uang dari Kak Nawir.
“Nanti saya kembalikan, Kak, kalau uang saya sudah cukup,” janjiku.
“Berapa yang kau minta?”
“Tiga ratus ribu saja, Kak.”
“Nanti Kakak transfer.”
“Terima kasih, Kak.”
“Iye. Kau sama Ibu baik-baik di sana.”
“Kakak juga. Salam sama Kak Jaya.”
Aku turun ke Kecamatan, niatnya untuk mengecek transferan Kak Nawir di ATM. Setelah dicek, aku cukup terkejut. Transferan yang masuk ternyata lima ratus ribu. Segera kutelepon Kak Nawir, tidak diangkatnya juga. Aku pun mengirimkan pesan singkat padanya, bertanya apa mungkin dia salah kirim. Setengah jam dia membalasnya.
Sender: Kak Nawir 085340900xxx
Tidak salah kirim, Sam. Itu dikirim sama Jaya. Hasil manggungnya dari kafe ke kafe. Kau tidak usah kembalikan, katanya. Salam balik dari Jaya.
Aku bahagia Kak Jaya menemukan teratainya. Sesuatu yang memang seharusnya dia dapatkan dari dulu sebab kukatakan bahwa hidup itu ialah ketika kita sudah melakukan apa yang paling dalam pada hasrat kita. Kak Jaya telah hidup. Beberapa waktu lalu pun aku dapat kabar kalau Kak Jaya sekarang tinggal bertiga dengan keluarga kecilnya di sebuah kontrakan sederhana di kota.
Dan hal yang paling mengejutkan ialah ketika kudengar kalau Kak Nawir meninggalkan perusahaan mertuanya. Dia membangun perusahaannya sendiri berbekal pengalaman yang telah didapatkannya. Sebuah perusahaan yang dimulai dari bisnis kecil-kecilan. Bisnis katering. Kak Amriani pintar masak, begitu pula Kak Nawir. Kak Nawir bahkan dulu sering bilang kalau suatu waktu nanti dia akan menjadi seorang koki ternama. Bersyukur, dia berhasil hidup dengan menjadi koki untuk perusahaannya sendiri.
Keluar dari perusahaan lalu membangun perusahaan sendiri bukan perkara mudah buat Kak Nawir. Dia mesti beradu mulut dengan mertuanya lebih dulu. Namun, setelah berulang kali Kak Nawir meyakinkan mertuanya, mertuanya akhirnya setuju. Mertuanya sebenarnya hendak memberikan bantuan kepada Kak Nawir saat memulai bisnisnya, tapi Kak Nawir menolak. Kak Nawir ingin membangun perusahaannya sendiri dengan tangannya sendiri, atau bersama dengan tangan istrinya. Kak Amriani sangat mendukung.
Hal yang saat ini Kak Nawir perjuangkan, katanya, ialah membangun rumahnya sendiri. Sewaktu nanti dia ingin membeli rumahnya sendiri, lalu membopong keluarga kecilnya ke sana. Itu mungkin memerlukan waktu yang panjang, tapi Kak Nawir tak akan pernah putus asa. Dia berusaha tetap yakin kalau dia pasti bisa.
Aku bahagia ibu tidak lagi-lagi memaksaku menikah dengan Sukmawati. Kubilang, dia memang perempuan yang manis dan baik hati, tapi aku belum mencintainya dan aku belum bisa belajar untuk mencintainya. Sebab aku sedang belajar melupakan seseorang yang pernah hadir dalam hatiku. Rostia. Aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya sejak kami bertemu di kebun hati itu. Aku bahkan ragu kalau dia masih tinggal di Bontojai, atau sudah pergi seperti inginnya.
Aku sempat bicara dengan Ahmad sebelum perpisahan kelulusannya. Anak itu. Yah, dia masih sekolah di SDN Bontojai bahkan setelah perkara hak atas tanah, dan dia sebentar lagi akan lulus. Ibunya barangkali jemu melarangnya sekolah. Ahmad memang keras kepala. Dia tidak mau berhenti berjuang sebelum mendapatkan apa yang dia ingin, termasuk harus kucing-kucingan dengan ibunya.
“Akhirnya sebentar lagi kamu lulus juga dari sekolah ini, Ahmad.”
“Iye, Kak. Itu juga berkat Kakak.”
“Saya tidak melakukan apa-apa untukmu, Ahmad, kaulah yang menjadi pejuang untuk dirimu sendiri. Kaulah anak hebat itu.”