“Khai, pasien,” seorang gadis berambut sebahu dan berwajah oriental berjalan memasuki ruang kelas yang sudah hampir kosong sambil melambaikan tangan, berusaha menarik perhatian seorang gadis lain yang masih duduk di bangkunya. Di belakangnya seorang pemuda melangkah mengikuti dengan wajah gugup.
Saat itu sudah menjelang petang. Matahari senja sudah beranjak ke ufuk barat walaupun sinarnya masih menerangi gedung kuliah tua tempat mereka berada. Ruang kelas tersebut masih menyisakan kesederhanaan puluhan tahun yang lalu, dengan papan tulis berwarna hijau disertai meja dan kursi terbuat dari kayu. Hanya deru suara AC dan projector yang terpasang di langit – langit yang mengindikasikan bahwa zaman sudah bergulir ke era informasi.
Gadis yang dituju tampaknya tidak mendengar. Wajahnya tampak serius menatap sederetan kartu bergambar aneh yang tersusun rapi di atas meja di hadapannya. Tangan kanannya bergerak perlahan menuju setumpuk kartu yang masih tertutup.
“Khai, ada yang nyari,” gadis berambut sebahu menghempaskan tubuh rampingnya ke kursi di hadapan meja tempat kartu tersusun sambil berusaha menarik perhatian. “Halo, Khainya ada? Ini Ayana,” sambungnya lagi sambil memajukan wajahnya menutupi kartu.
Khairi, gadis tersebut, mengernyitkan kening. Matanya melotot melihat sahabatnya memaksa memecah konsentrasinya. Setelah beberapa waktu akhirnya wajahnya melembut.
“Ay,” akhirnya dia berkata sambil mendesah, “Kalau aku lagi meramal kan jangan diganggu.”
“Maafkan hambamu ini,” Ayana berdiri sambil tersenyum, dia tahu bahwa Khai tidak mudah marah. “Ini ada anak Arsitek mencari kamu,” sambungnya sambil menunjuk pemuda yang mengikutinya. “Pasien, minta diramal,” lanjutnya lagi.
Khairi menghela nafas, pikiran gadis tersebut masih berada di tempat lain. Kemudian dia mengangguk dan memberi tanda agar pemuda tersebut duduk di tempat Ayana tadi.
“Khairi ya? Salam kenal,” pemuda bertubuh tegap itu berkata sambil duduk, kegugupannya masih cukup jelas terlihat di wajahnya. “Zakky, Arsitek, satu angkatan di atas kalian,” lanjutnya sambil menunjuk diri sendiri. Dia menarik nafas lalu melanjutkan, “Seperti kata mbak Korea tadi ….”
“Jepang, aku ada turunan Jepang bukan Korea,” potong Ayana dengan nada sebal. “Itupun udah kakekku, harusnya nggak kelihatan lagi. Ya kan?” dia menatap ke Khai, meminta dukungan.
“Sama sekali nggak kelihatan,” kata Khai dengan wajah tanpa ekspresi, “Waktu baru kenalan aku kira kamu ada bulenya malah.”
“Itu lebih nggak mungkin lagi,” Ayana menyergah dengan sebal.
Khairi tertawa ringan. Dia sudah biasa dengan kekesalan sahabatnya jika dianggap mirip orang Korea. Hal itu tidak bisa dihindari, wajah Asia Timur Ayana di masa di mana kebudayaan Korea menyebar luas di negara ini memang akan mudah dihubungkan dengan negara tersebut.
“Jadi kak Zakky minta diramal?” Khai mengalihkan perhatiannya kepada pria di depannya. “Tentang apa kak?”
“Jodoh? Karir? Skor Bola?” Ayana yang saat ini bersandar ke meja di sisi jendela menimpali dan bertanya.
“Mmm, gimana ya bilangnya,” Zakky terdiam sejenak lalu menyambung, “Ada hubungan dengan jodoh, tapi bukan itu yang ingin ditanyakan. Buatku jodoh itu di tangan Tuhan, jadi sebaiknya jangan diramal. Lebih baik dijalankan saja, jika usahanya tulus pastilah pada akhirnya ada hasilnya.”
Khai dan Ayana saling melirik, mereka sudah cukup lama bersahabat sehingga mereka dapat saling menebak apa yang ada di pikiran masing – masing. Kakak kelas mereka ini bicaranya panjang tapi belum sampai ke topik yang diinginkan.
“Bakal lama, nih,” bibir Ayana melafalkan kalimat tersebut tanpa suara.
“Ceritanya agak panjang, nggak apa – apa ya,” Zakky menatap ke langit – langit kelas yang mulai menggelap.
“Banget,” Khai menjawab lafalan temannya dengan cara yang sama.
“Jadi ada adik tingkatku, mahasiswa baru, saat pertama ketemu aja aku udah tahu dia itu jodohku,” Zakky menarik nafas panjang dan terdiam lagi. “Namanya Syifa,” lanjutnya sambil tersenyum. Mata pemuda tersebut masih belum beralih dari langit – langit.
“Katanya bukan soal jodoh,” lafal Ayana yang disambut senyum simpul oleh Khairi.
“Aku lagi pedekate dengan dia,” ujar Zakky, “Pendekatan maksudnya, tahu kan?” dia memalingkan wajah dan menatap kedua gadis itu sebelum kembali menatap ke atas.
“Masa nggak tahu,” lafal Ayana dengan wajah sebal.
“Ada apa sih di atas,” balas Khairi sambil ikut menatap ke langit – langit. Candaan ini hampir membuat Ayana tertawa lepas, untunglah dia dapat menahannya
“Seminggu sekali kita ada jadwal yang kelasnya sebelahan, selesainya juga bareng, sekitar jam 5. Jadi aku biasanya terus turun dan ngobrol sampai parkiran,” jelasnya. Saat ini dia sudah mengalihkan pandangannya dari langit – langit, sehingga pembicaraan kedua gadis itu terhenti.
“Senin kemarin sewaktu kami berpisah di parkiran dan aku berjalan ke motorku tiba – tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang,” wajahnya berubah serius, “Aku nggak kenal dia siapa tapi sepertinya satu kampus dengan kita, perempuan. Terus dia bilang begini: ‘Sebaiknya kamu jangan teruskan ke dia, akan ada yang celaka’.”