Terawang

Catalysh
Chapter #2

Firasat

“Mau jeruk, Ay?" tanya Khairi seraya membuka pintu.

Mereka sudah tiba di rumah Khairi yang terletak tidak terlalu jauh dari kampus, paling tidak untuk ukuran Jakarta. Hanya butuh kurang dari satu jam melalui jalan biasa, jika lewat tol bahkan tidak sampai setengah jam. Tapi tentunya sebagai mahasiswa mereka hampir tidak pernah menggunakan jalan tol, kecuali terpaksa, lebih baik uang tolnya dipakai untuk kebutuhan lain.

“Nggak ah, yang kemarin masih ada," tolak Ayana. “Tapi kalau dipikir - pikir lucu ya, rumahmu kan di jalan Jeruk, tapi sepanjang jalan ini cuma rumahmu yang ada pohon jeruknya.”

“Memang jarang sih," Khairi mengakui, “Kata ibuku orang dari kampungnya kalau pindah ke Jakarta pasti akan menanam jeruk kunci, supaya gampang buat cocolan kalau mau makan ikan.”

Khairi menutup pintu perlahan sementara kaca mobil mungil yang digunakan Ayana turun membuka.

“Besok ya," kata keduanya hampir bersamaan.

“Sambil kita bahas mas mas yang mengira kamu orang Korea tadi ya," cengir Khairi menggoda sahabatnya.

“Hah, payah ah orangnya, begitu aja kuatir," tukasnya. “Kalau aku nggak akan aku pedulikan," lanjutnya masih dengan nada kesal.

Khairi hanya tersenyum sambil melambai dengan semangat. Dia berjalan perlahan menuju pagar rumah lalu membukanya. Saat dia melangkah masuk mobil Ayana sudah berjalan menjauhi rumahnya.


*******


“Ibu masak apa?” tanya Khairi sambil mencium tangan ibunya.

“Tumben sudah lapar, tadi ada pasien ya?” ibu Khairi mengelus rambut putrinya. Mereka cukup dekat sehingga sering mendengar cerita anaknya tersebut mengenai kegiatannya di kampus.

Khairi mengangguk sambil berkata, “Iya, Bu, seru deh, nanti aku cerita sambil makan.” Dia memandang ibunya dengan wajah tersenyum dan mata berbinar - binar.

“Ibu senang sih kamu menggunakan meramal untuk mengatasi traumamu. Tapi nggak boleh dianggap terlalu serius atau terlalu percaya juga ya," ujarnya. “Selain itu ayahmu kan agamanya kuat, musyrik katanya, jadi sebaiknya nggak terlalu sering dibahas di rumah.”

“Iya Bu, kan hanya sama Ibu," Khairi menenangkan. “Ayah pulang malam lagi ya?”

“Lagi ada masalah di divisinya, jadi harus turun tangan langsung. Tadi ayah sudah telpon, mungkin jam 9 baru jalan dari kantor," jawab ibunya. “Sana, mandi terus sholat, nanti keburu Isya.”

Khairi membuat tanda ok dengan jarinya sambil tersenyum lalu berjalan ke kamarnya.


*******


“Semoga nggak benar – benar ada yang celaka ya," kata ibu Khairi sambil menyendokkan puding coklat ke piring kecil lalu menyerahkan ke putrinya.

Khairi hanya tersenyum dan menerima piring tersebut. Walaupun dia sudah cukup dewasa ibunya terkadang tetap memaksa untuk melayaninya di meja makan. Khairi memahami hal tersebut dan tidak pernah berusaha menolaknya, semakin usianya bertambah semakin dekat pula waktu di mana dia akan mandiri dan tidak tinggal dengan orang tuanya lagi. Selagi mereka masih bersama, dia dengan sepenuh hati menerima tindakan yang merupakan perwujudan cinta orang tuanya tersebut.

“Yang lucu sebenarnya Ayana, Bu," ujar Khairi sambil menyendok fla kental beraroma vanilla ke piringnya. “Entah kenapa dia benar-benar sewot dengan Kak Zakky itu," lanjutnya.

“Jangan-jangan dia tertarik?” sang ibu menebak sambil tertawa kecil.

“Wah, nggak banget. Nggak mungkin, Bu," Khairi ikut tertawa. Dia sudah selesai meratakan fla ke seluruh permukaan puding. “Aku tahu banget tipenya Ayana, dia suka cowok yang tegas, Kak Zakky kurang cepat mengambil tindakan. Masa kaget terus cewek misterius itu bisa hilang," lanjut Khairi sambil menatap pudingnya seakan makanan tersebut adalah sebuah karya senior.

“Ayo dimakan," kata ibunya, “Atau jangan - jangan tipemu?”

“Bukan juga," jawab Khairi sambil tertawa kecil, dia mulai menyendok puding. “Mudah-mudahan dia tipenya Syifa, incarannya itu, kalau nggak ya kapan-kapan pasti dia akan datang minta diramal dengan incaran barunya lagi. Enak Bu, manisnya pas, coklatnya berasa, dan fla ini kentalnya pas," puji Khairi sambil menikmati pudingnya.

“Ini muji karena pengen dibuatkan lagi ya?" kata ibunya sambil tersenyum.

“Iya," jawab Khairi dengan mimik serius. Kemudian dia tertawa lepas sementara ibunya cuma menggeleng-gelengkan kepala.


*******


Khairi memasuki kamarnya masih sambil tersenyum. Percakapan sejenak dengan ibunya merupakan saat-saat berharga yang selalu dinanti. Setelah trauma yang dia alami, hal yang bagi sementara orang dianggap tidak berarti menjadi harta berharga bagi dirinya. Kenangan bersama keluarga dan orang yang dicintai tidak akan pernah cukup, selama dia masih dia diberi kesempatan, dia akan terus mengumpulkan dan menyimpannya baik-baik di lubuk hati yang terdalam.

Lihat selengkapnya